Friday, March 28, 2008
Tuesday, March 25, 2008
“Who Speaks for Islam?”
By Rami G. Khouri
WASHINGTON, DC -- Every few years a book is published that has the potential to change perceptions of millions of people, and, by doing so, perhaps to change policies of governments for the better. I believe that just such a book is the one being published in a few weeks entitled Who Speaks for Islam, co-authored by John L. Esposito of Georgetown University, and Dalia Mogahed of the Gallup Center for Muslim Studies.
This book analyzes the results of a global sample survey of one billion Muslims carried out in recent years, representing more than 90 percent of all Muslims in the world. It is published by Gallup Press, and comes out at a time when there is urgent and increasing need for more accuracy and breadth in dealing with the tensions, conflicts and misperceptions that plague relations between many in the United States and Muslim-majority societies.
The reasons for my enthusiastic advance praise for this volume are not only the depth of its contents, the clarity of its conclusions, and the fact that it is a fast and absorbing read. Its primary compelling strength is the sharp insights it offers into the thinking of Muslims around the world, painting a very different view of Muslims and Islam than the one projected in popular culture or public politics in the United States.
It has been a painful experience to read this book and chat with the authors, while simultaneously following political coverage on American television during my current trip to the United States. President George W. Bush may have cooled down his wild rhetoric about “Islamofascists,” but Republican presidential contender John McCain and others have filled the vacuum with their constant references to "Islamic extremism" being the threat of the century and the defining issue of our times. Mainstream cable television, local newspapers, and public affairs radio make things even worse by referring to Islam and to Muslims primarily in the context of violence, warfare, fanaticism, or anti-Americanism.
So it is refreshing and useful for more sensible American relations with Muslims and their cultures that this book provides a clear, emphatic antidote to the fear, racism, and anger that still drive many Americans’ attitudes to Muslims and Islam. The need to redress the situation of imbalanced and tense U.S.-Islamic relations was most poignantly reflected in a point the authors made when I had a chance to chat with them recently:
When Americans were polled and asked what they admired about Islam, 57 percent said “nothing” or “I don’t know,” while a majority of Muslims around the world easily named several specific things they admired about the United States, including its democracy, technology and liberty -- the same things that Americans say they admire about their democracy. Muslims listed the key elements of the democracy they desired as freedom of speech, religion and assembly.
The survey and book offer a number of important insights that are based on intensive field research, not preconceptions distorted by political violence, and by politicians who deliberately play on people’s fears and ignorance.
What was the single most important conclusion the authors drew from their work?
“The conflict between the Muslim and Western communities is far from inevitable. It is more about policy than principles.” They add a critical thought, though: “However, until and unless decision-makers listen directly to the people and gain an accurate understanding of this conflict, extremists on all sides will continue to gain ground.”
The book is rich in detailed findings and analyses. Here are some of its key conclusions, as summarized by the authors:
"Muslims differentiate between different Western countries, criticizing or celebrating them on the basis of their politics, not their religion or culture. The vast majority of Muslims who are asked about their future dreams speak usually of getting a good job, not engaging in violent acts. Muslims and Americans are equally likely to reject attacks on civilians as morally unjustified. Those who condone acts of terrorism are a minority and are no more likely to be religious than the rest of the population. What Muslims say they least admire about the West is its perceived moral decay and breakdown of traditional values -- the same responses given by Americans. Muslim women want equal rights and religion in their societies. Muslims are most offended by Western disrespect for Islam and Muslims. Majorities of Muslims want religion to be a source of laws, but they do not want religious leaders to play a direct role in governance or crafting a constitution."
This kind of polling and analysis should be tremendously important for political leaders in both Muslim and Western societies. It sketches the personal values and political sentiments of a vast majority of men and women who can be mobilized on the basis of their real sentiments anchored in justice, democracy, and respect for religious and social norms -- not their imagined adherence to violence and extremism.
[ “Who Speaks for Islam?” is available at Amazon.]
-- Rami G. Khouri is Editor-at-large of The Daily Star, and Director of the Issam Fares Institute for Public Policy and International Affairs at the American University of Beirut, in Beirut, Lebanon.
"Siapa yang Berbicara untuk Islam?"
Saturday, 15 March 2008 | |
oleh John L. Esposito dan Dalia Mogahed Ektrimis dan teroris sudah terlalu sering memonopoli liputan media dan demikianlah pesan yang keluar dari dunia Islam. Tapi apa yang sesungguhnya diyakini, dipikirkan dan dirasakan oleh mayoritas besar Muslim aliran utama? Apa harapan, ketakutan, dan kemarahan mereka? Mengapa anti-Amerikanisme yang kokoh tampaknya merembet ke dunia Muslim? Apakah itu pertanda adanya benturan budaya – apakah mereka membenci siapa kita? Atau apa yang kita lakukan? Daripada mendengarkan para ekstrimis atau sekadar mengandalkan pada opini beberapa cendekiawan saja, mengapa tidak memberikan suara pada mayoritas diam? Kami menanyakan umat Islam di seluruh dunia apa yang sesungguhnya mereka pikirkan, dan menemukan bahwa ketika kami membiarkan data memimpin wacana, maka terungkaplah sejumlah wawasan. Penemuan terpenting dari riset kami adalah: konflik antara komunitas Muslim dan Barat jauh dari tak terelakkan. Hal itu lebih ke masalah kebijakan ketimbang prinsip. Bagaimanapun, sampai dan kecuali para pembuat kebijakan mendengarkan mereka secara langsung dan memperoleh pemahaman yang akurat tentang konflik ini, para ekstrimis di semua pihak akan terus menguat. Who Speaks for Islam? What a Billion Muslims Really Think berdasarkan pada riset selama enam tahun dan lebih dari 50.000 wawancara yang mewakili 1,3 juta Muslim, yang tinggal di lebih dari 35 negara berpenduduk mayoritas Muslim atau memiliki populasi Muslim yang cukup besar. Mewakili lebih dari 90% komunitas Muslim dunia, poling ini adalah studi terbesar dan paling komprehensif dibandingkan studi sejenisnya. Hasilnya menentang kebijaksanaan konvensional dan konflik global yang tak terelakkan – bahkan ketika peperangan di Irak dan Afghanistan berlanjut. Studi ini mengungkapkan beberapa penemuan yang mengejutkan. Studi menunjukkan bahwa Muslim dan orang Amerika sama-sama menolak penyerangan terhadap masyarakat sipil dan menganggap hal itu tidak dapat dibenarkan secara moral. Mereka yang memilih kekerasan dan ekstrimisme didorong oleh politik, bukan kemiskinan atau ketaatan. Nyatanya, dari 7 persen renponden yang meyakini bahwa 9/11 bisa dibenarkan, tak satu pun dari mereka yang membenci kebebasan kita; malah, mereka menginginkan kebebasan kita. Namun, mereka percaya bahwa Amerika, dan Barat pada umumnya, menerapkan standar ganda dan menghalangi Muslim menentukan masa depan mereka sendiri. Kita secara terus-menerus dibombardir dengan gambar-gambar remaja Muslim yang marah sedang berdemonstrasi atau berlatih di kamp-kamp Al Qaeda. Namun studi ini menunjukkan bahwa mayoritas besar pemuda Muslim tidak bermimpi untuk pergi berperang; mereka bermimpi untuk mendapat pekerjaan. Demikian pula, ketika ditanya tentang harapan mereka untuk masa depan, umat Muslim dari segala usia mengatakan bahwa mereka menginginkan pekerjaan dan keamanan yang lebih baik, bukan konflik dan kekerasan. Penemuan ini juga mengungkapkan bahwa Muslim di seluruh dunia tidak menginginkan sekularisme maupun teokrasi. Mereka menginginkan kebebasan, hak, dan demokratisasi. Namun, pada saat yang sama, mereka mengklaim bahwa masyarakat seharusnya dibangun di atas nilai-nilai Islam dan bahwa syariah seharusnya menjadi sumber hukum. Singkatnya, mayoritas wanita dan pria Muslim menginginkan hak dan agama, dan mereka tidak melihat keduanya saling terpisah. Barat akan senang mengetahui bahwa sembilan dari sepuluh Muslim adalah moderat – kabar baik bagi mereka yang optimis tentang ko-eksistensi. Umat Muslim mengatakan bahwa hal terpenting yang bisa dilakukan orang Barat untuk meningkatkan hubungan dengan masyarakat mereka adalah mengubah pandangan negatif mereka terhadap Muslim, menghargai Islam, dan mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan luar negeri mereka. Kabar yang kurang menggembirakan adalah bahwa ada sejumlah besar Muslim yang radikal secara politik (7 persen yang tadi disebutkan, yang mewakili sekitar 91 juta orang) yang bisa didorong untuk mendukung atau melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Tantangan bagi masyarakat Barat hanya akan berkembang sepanjang masyarakat Muslim ini terus merasa didominasi dan diabaikan secara politik. ### * John L. Esposito adalah seorang profesor di Universitas Georgetown dan Direktur Prince Alwaleed Bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding. Dalia Mogahed adalah seorang Analis Senior Gallup dan Direktur Eksekutif Gallup Center for Muslim Studies. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan pertama kali dicetak di Pittsburgh Post Gazette. |
“Who Speaks for Islam?”
By Rami G. Khouri
WASHINGTON, DC -- Every few years a book is published that has the potential to change perceptions of millions of people, and, by doing so, perhaps to change policies of governments for the better. I believe that just such a book is the one being published in a few weeks entitled Who Speaks for Islam, co-authored by John L. Esposito of Georgetown University, and Dalia Mogahed of the Gallup Center for Muslim Studies.
This book analyzes the results of a global sample survey of one billion Muslims carried out in recent years, representing more than 90 percent of all Muslims in the world. It is published by Gallup Press, and comes out at a time when there is urgent and increasing need for more accuracy and breadth in dealing with the tensions, conflicts and misperceptions that plague relations between many in the United States and Muslim-majority societies.
The reasons for my enthusiastic advance praise for this volume are not only the depth of its contents, the clarity of its conclusions, and the fact that it is a fast and absorbing read. Its primary compelling strength is the sharp insights it offers into the thinking of Muslims around the world, painting a very different view of Muslims and Islam than the one projected in popular culture or public politics in the United States.
It has been a painful experience to read this book and chat with the authors, while simultaneously following political coverage on American television during my current trip to the United States. President George W. Bush may have cooled down his wild rhetoric about “Islamofascists,” but Republican presidential contender John McCain and others have filled the vacuum with their constant references to "Islamic extremism" being the threat of the century and the defining issue of our times. Mainstream cable television, local newspapers, and public affairs radio make things even worse by referring to Islam and to Muslims primarily in the context of violence, warfare, fanaticism, or anti-Americanism.
So it is refreshing and useful for more sensible American relations with Muslims and their cultures that this book provides a clear, emphatic antidote to the fear, racism, and anger that still drive many Americans’ attitudes to Muslims and Islam. The need to redress the situation of imbalanced and tense U.S.-Islamic relations was most poignantly reflected in a point the authors made when I had a chance to chat with them recently:
When Americans were polled and asked what they admired about Islam, 57 percent said “nothing” or “I don’t know,” while a majority of Muslims around the world easily named several specific things they admired about the United States, including its democracy, technology and liberty -- the same things that Americans say they admire about their democracy. Muslims listed the key elements of the democracy they desired as freedom of speech, religion and assembly.
The survey and book offer a number of important insights that are based on intensive field research, not preconceptions distorted by political violence, and by politicians who deliberately play on people’s fears and ignorance.
What was the single most important conclusion the authors drew from their work?
“The conflict between the Muslim and Western communities is far from inevitable. It is more about policy than principles.” They add a critical thought, though: “However, until and unless decision-makers listen directly to the people and gain an accurate understanding of this conflict, extremists on all sides will continue to gain ground.”
The book is rich in detailed findings and analyses. Here are some of its key conclusions, as summarized by the authors:
"Muslims differentiate between different Western countries, criticizing or celebrating them on the basis of their politics, not their religion or culture. The vast majority of Muslims who are asked about their future dreams speak usually of getting a good job, not engaging in violent acts. Muslims and Americans are equally likely to reject attacks on civilians as morally unjustified. Those who condone acts of terrorism are a minority and are no more likely to be religious than the rest of the population. What Muslims say they least admire about the West is its perceived moral decay and breakdown of traditional values -- the same responses given by Americans. Muslim women want equal rights and religion in their societies. Muslims are most offended by Western disrespect for Islam and Muslims. Majorities of Muslims want religion to be a source of laws, but they do not want religious leaders to play a direct role in governance or crafting a constitution."
This kind of polling and analysis should be tremendously important for political leaders in both Muslim and Western societies. It sketches the personal values and political sentiments of a vast majority of men and women who can be mobilized on the basis of their real sentiments anchored in justice, democracy, and respect for religious and social norms -- not their imagined adherence to violence and extremism.
[ “Who Speaks for Islam?” is available at Amazon.]
-- Rami G. Khouri is Editor-at-large of The Daily Star, and Director of the Issam Fares Institute for Public Policy and International Affairs at the American University of Beirut, in Beirut, Lebanon.
"Siapa yang Berbicara untuk Islam?"
Saturday, 15 March 2008 | |
oleh John L. Esposito dan Dalia Mogahed Ektrimis dan teroris sudah terlalu sering memonopoli liputan media dan demikianlah pesan yang keluar dari dunia Islam. Tapi apa yang sesungguhnya diyakini, dipikirkan dan dirasakan oleh mayoritas besar Muslim aliran utama? Apa harapan, ketakutan, dan kemarahan mereka? Mengapa anti-Amerikanisme yang kokoh tampaknya merembet ke dunia Muslim? Apakah itu pertanda adanya benturan budaya – apakah mereka membenci siapa kita? Atau apa yang kita lakukan? Daripada mendengarkan para ekstrimis atau sekadar mengandalkan pada opini beberapa cendekiawan saja, mengapa tidak memberikan suara pada mayoritas diam? Kami menanyakan umat Islam di seluruh dunia apa yang sesungguhnya mereka pikirkan, dan menemukan bahwa ketika kami membiarkan data memimpin wacana, maka terungkaplah sejumlah wawasan. Penemuan terpenting dari riset kami adalah: konflik antara komunitas Muslim dan Barat jauh dari tak terelakkan. Hal itu lebih ke masalah kebijakan ketimbang prinsip. Bagaimanapun, sampai dan kecuali para pembuat kebijakan mendengarkan mereka secara langsung dan memperoleh pemahaman yang akurat tentang konflik ini, para ekstrimis di semua pihak akan terus menguat. Who Speaks for Islam? What a Billion Muslims Really Think berdasarkan pada riset selama enam tahun dan lebih dari 50.000 wawancara yang mewakili 1,3 juta Muslim, yang tinggal di lebih dari 35 negara berpenduduk mayoritas Muslim atau memiliki populasi Muslim yang cukup besar. Mewakili lebih dari 90% komunitas Muslim dunia, poling ini adalah studi terbesar dan paling komprehensif dibandingkan studi sejenisnya. Hasilnya menentang kebijaksanaan konvensional dan konflik global yang tak terelakkan – bahkan ketika peperangan di Irak dan Afghanistan berlanjut. Studi ini mengungkapkan beberapa penemuan yang mengejutkan. Studi menunjukkan bahwa Muslim dan orang Amerika sama-sama menolak penyerangan terhadap masyarakat sipil dan menganggap hal itu tidak dapat dibenarkan secara moral. Mereka yang memilih kekerasan dan ekstrimisme didorong oleh politik, bukan kemiskinan atau ketaatan. Nyatanya, dari 7 persen renponden yang meyakini bahwa 9/11 bisa dibenarkan, tak satu pun dari mereka yang membenci kebebasan kita; malah, mereka menginginkan kebebasan kita. Namun, mereka percaya bahwa Amerika, dan Barat pada umumnya, menerapkan standar ganda dan menghalangi Muslim menentukan masa depan mereka sendiri. Kita secara terus-menerus dibombardir dengan gambar-gambar remaja Muslim yang marah sedang berdemonstrasi atau berlatih di kamp-kamp Al Qaeda. Namun studi ini menunjukkan bahwa mayoritas besar pemuda Muslim tidak bermimpi untuk pergi berperang; mereka bermimpi untuk mendapat pekerjaan. Demikian pula, ketika ditanya tentang harapan mereka untuk masa depan, umat Muslim dari segala usia mengatakan bahwa mereka menginginkan pekerjaan dan keamanan yang lebih baik, bukan konflik dan kekerasan. Penemuan ini juga mengungkapkan bahwa Muslim di seluruh dunia tidak menginginkan sekularisme maupun teokrasi. Mereka menginginkan kebebasan, hak, dan demokratisasi. Namun, pada saat yang sama, mereka mengklaim bahwa masyarakat seharusnya dibangun di atas nilai-nilai Islam dan bahwa syariah seharusnya menjadi sumber hukum. Singkatnya, mayoritas wanita dan pria Muslim menginginkan hak dan agama, dan mereka tidak melihat keduanya saling terpisah. Barat akan senang mengetahui bahwa sembilan dari sepuluh Muslim adalah moderat – kabar baik bagi mereka yang optimis tentang ko-eksistensi. Umat Muslim mengatakan bahwa hal terpenting yang bisa dilakukan orang Barat untuk meningkatkan hubungan dengan masyarakat mereka adalah mengubah pandangan negatif mereka terhadap Muslim, menghargai Islam, dan mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan luar negeri mereka. Kabar yang kurang menggembirakan adalah bahwa ada sejumlah besar Muslim yang radikal secara politik (7 persen yang tadi disebutkan, yang mewakili sekitar 91 juta orang) yang bisa didorong untuk mendukung atau melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Tantangan bagi masyarakat Barat hanya akan berkembang sepanjang masyarakat Muslim ini terus merasa didominasi dan diabaikan secara politik. ### * John L. Esposito adalah seorang profesor di Universitas Georgetown dan Direktur Prince Alwaleed Bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding. Dalia Mogahed adalah seorang Analis Senior Gallup dan Direktur Eksekutif Gallup Center for Muslim Studies. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews) dan pertama kali dicetak di Pittsburgh Post Gazette. |
Friday, March 21, 2008
MeNkEs: SeBeNaRnYa AmErikA PaLiNg TaKuT kAuM MuSLiM, TaPi KiTa TaKuT DuLuAn
“Saya ingin merubah penindasan negara-negara maju kepada negara dunia ketiga yang notabene rakyatnya orang muslim. Hegemoni itu tidak menguntungkan siapa pun juga. Maka, inilah saatnya untuk berubah,” lanjutnya menjelaskan keinginannya dibalik perjuangan selama ini menuntut mekanisme sistem virus sharing lebih adil yang ditulis dalam sebuah buku berjudul “Saatnya Dunia Berubah; Tangan Tuhan di Balik Flu Burung”.
Menkes yang anak seorang kiai ini mengaku awalnya tidak menduga penentangan terhadap dirinya sebesar yang diterimanya saat ini. Bolak-balik perwakilan WHO dan pemerintah Amerika Serikat datang melobi dan memintanya untuk menghentikan perlawanannya. Namun, karena sikap ibu menteri yang tidak mau kompromi itu maka akhirnya WHO mengabulkan apa yang diinginkannya.
Menyinggung soal common enemy berupa globalisasi yang dipaksakan oleh negara-negara Barat, Siti Fadilah menanggapi, “Tatanan globalisasi yang seperti sekarang ini adalah globalisasi yang hegemonik. Globalisasi negara kuat menindas negara yang tidak kuat. Ini tidak sehat untuk dunia. Maka solusinya harus adil, harus transparan dan harus setara.”
Menkes menambahkan penjajahan berbentuk globalisasi ini sudah masuk secara total dalam bidang kesehatan, pendidikan dan ekonomi negeri kita. Hal ini tidak bisa dilepas dari ideologi kapitalistik. Oleh karenanya perlawanan harus dilakukan secara ideologis pula. Dan umat Islam punya senjata yang luar biasa. “Sebetulnya ideologi Islam yang paling lengkap,” tegasnya.
Seorang peserta diskusi kemudian berkomentar, “Kalau satu menteri saja ditakuti oleh Amerika, apalagi kalau kita semua berani menghadapi Amerika!” Disambut gemuruh takbir, Allahu akbar!!!
SiTi FaDiLaH: IdEOLoGi IsLaM PaLiNg LeNgkAp
Siti Fadilah kemudian menceritakan bagaimana selama 50 tahun lebih negara-negara di dunia dipaksa mengirimkan virusnya ke WHO. Ternyata virus itu oleh WHO diberikan kepada Amerika Serikat. Fatalnya lagi, laboratorium itu berada di bawah Departemen Pertahanan AS yang selama ini dikenal sebagai pembuat senjata kimia. Makanya, bukan tidak mungkin itu bisa menjadi senjata biologi.
Karenanya, Siti Fadilah menentang keras mekanisme yang dikembangkan WHO yang selama ini menindas negara-negara dunia ketiga. Mekanisme itu mengharuskan setiap negara mengirimkan virusnya ke WHO dengan tanpa mengetahui diapakan virus-virus itu. Belakangan terbongkar bahwa virus itu ternyata dijual kepada perusahaan-perusahaan vaksin di negara maju. Negara pengirim tak dapat kompensasi apa-apa bahkan harus membeli vaksin dengan harga yang sangat mahal.
Upaya Menkes ini menggentarkan dunia. Sehingga ia mendapat julukan orang tidak waras, setelah sebelumnya julukan itu diarahkan kepada Presiden Iran, Ahmadinejad oleh
Ia mengakui apa yang dilakukan itu sangat sensitif. Namun ia tidak tahan melihat ketidakadilan yang ditunjukkan oleh lembaga besar kesehatan itu. Maka, ia pun menulis buku berjudul “Saatnya Dunia Berubah. Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung”. ‘’Kalau ini berguna untuk umat, kenapa tidak?’’ katanya terbata-bata sambil menangis.
Siti Fadilah mengungkapkan selama ini orang-orang
Orang asing, lanjutnya, seolah-olah mau membantu. Padahal apa yang mereka lakukan sangat berbahaya bagi kehidupan umat manusia. Karenanya, ia menegaskan, ‘’Janganlah kita pernah mengharapkan pertolongan dari orang lain. Kita berharap pertolongan dari Allah saja.” Selain itu, ia berpesan: ‘’Kalau melakukan sesuatu di jalan Allah, janganlah ragu-ragu.”
Joserizal Jurnalis, Ketua Presidium Mer-C mengatakan selama ini dunia penuh ketidakadilan. ‘’Kalau masalah virus saja, dahsyatnya begitu rupa, bagaimana dengan persoalan lainnya?’’ Banyak negara yang mayoritas Muslim dipaksa membeli vaksin dari negara-negara maju, dan dilarang membeli dari negeri-negeri Muslim.
Direktur An Nashr Institute Munarman, mengatakan apa yang dilakukan oleh Amerika merupakan bagian dari upaya menguasai dunia dengan ideologi kapitalisnya. Lembaga-lembaga internasionl merupakan bagian dari upaya penjajahan itu. Sayangnya, banyak pemimpin di negeri-negeri Muslim tidak sadar itu. Malah mereka ingin dianggap bagian dari sistem internasional (tata dunia baru) tersebut.
Padahal, sistem tersebut, menurut Farid Wadjdi dari HTI, sengaja diciptakan oleh Barat untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin. Ia mengutip pendapat Syeikh Taqyuddin An Nabhani bahwa ada tiga malapetaka yang melanda dunia yakni munculnya keluarga internasional (PBB dan UU Internasional), cengkeraman dan dominasi Negara adidaya, serta imperialisme dan monopoli. ‘’PBB merupakan alat penjajahan. Sejak awal pembentukannya sudah batil karena bertujuan untuk menjajah kaum Muslim,’’ tandasnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, saat ini dunia butuh alternatif sistem. Komunis sudah hancur. Kapitalis, kondisinya seperti sekarang. Satu-satunya pilihan adalah sistem Islam yakni tegaknya syariah Allah di muka bumi dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.
Wednesday, March 12, 2008
HoW To AvOiD SiNs?
I believe that every muslim has his own tips to avoid commiting sins.So do i.i took this when i attended a majelis ta'lim.This very short lesson may be not so special in words but it is so for me.
Here is my 5 tips to avoid sins:
1.Do sins but do it out of Allah's sight
2.Do sins but do it beyond Allah's earth
3.Do sins but take nothing from Allah's rizq
4.Do sins but as izrail comes to take your soul,turn him down and say,'not now please'
5.Do sins but as Allah judges you wrong then put you into hellfire on judgement day,beg down and say,'Lord,condone me'
Notwithstanding the words 'nobody's faultless' and different tips to avoid sins,as muslims,we shall remember that the only reason for us to avoid sins is the fear of Allah.Shall we be pleased even just 'a moment' to see Allah furious and be put into hellfire?the seconds,minutes,hours,days,weeks,months,years...on hereafter are counted by Allah disparately from those in this world.
That is my 5 tips above.What's yours?
Monday, March 10, 2008
European colonialists conspired to destroy the Khilafah state
A few months after the destruction of the Khilafah on 24th July, Turkey’s independence was officially recognised with the signing of the Lausanne Treaty. Britain and its allies withdrew all their troops that had occupied Turkey since the end of the First World War. In response to this, protests were made in the House of Commons to the British Foreign Secretary Lord Curzon, for recognising Turkey’s independence. Lord Curzon replied, “The situation now is that Turkey is dead and will never rise again, because we have destroyed its moral strength, the Caliphate and Islam.”
As admitted by Lord Curzon, Britain along with France played a pivotal role in destroying the Khilafah and carving up the Muslim lands between them. Their plans against the Khilafah were not just a reaction to the Khilafah siding with Germany in World War I. These plans were set in motion hundreds of years ago finally coming to fruition when the Uthmani Khilafah began to rapidly decline in the mid eighteenth century.
The first attempt at destroying the unity of Islam came in the 11th century when Pope Urban II launched the first crusade to occupy Al-Quds. After 200 years of occupation the crusaders were finally defeated at the hands of Salahudeen Ayyubi. In the 15th century Constantinople was conquered and the last stronghold of the Byzantine Empire defeated. Then in the 16th century the Islamic State swept across southern and eastern Europe carrying Islam to its peoples. Consequently millions of people in Albania, Yugoslavia, Bulgaria and other countries embraced Islam. After the siege of Vienna in 1529 Europe formed alliances to stop the Khilafah’s expansion in to Europe. It was at this point the crusaders animosity towards Islam and the Khilafah was revived and plans were hatched to deal with this “Oriental Problem” as it became known.
Count Henri Decastri, a French author wrote in his book entitled ‘Islam’ in 1896:
“I cannot imagine what the Muslims would say if they heard the tales of the mediaeval ages and understood what the Christian orators used to say in their hymns; all our hymns even those which emerged before the 12th century emanated from one concept which was the cause of the crusades, these hymns were filled with hatred towards the Muslims due to the total ignorance of their religion. As a result of those hymns and songs, hatred against that religion became fixed in people’s minds, and the erroneous ideas deeply rooted, some of which are still carried nowadays. Everyone used to regard the Muslims as polytheists, disbelievers, idol worshippers and apostates.”
After their defeat the crusaders realised that the cause of Muslims strength and resolve was the Islamic Aqeeda. As long as Muslims were strongly attached to Islam and the Qur’an the Khilafah could never be destroyed. This is why at the end of the 16th century they established the first missionary centre in Malta and made it their headquarters for launching a missionary onslaught against the Muslim world. This was the beginning of western culture entering the Muslim world by British, French and American missionaries.
These missionaries worked under the guise of educational and scientific institutions. Initially their effect on the Muslims was minimal. But during the 18th and 19th centuries when decline had set in to the Khilafah the missionaries managed to exploit weaknesses in the state and spread corrupted concepts to the people. In the 19th century Beirut became the centre for missionary activity. During this time the missionaries exploited civil strife between Christians and Druze and later Christians and Muslims, with Britain siding with the Druze and France siding with the Christian Maronites.
The missionaries had two main objectives during this time.
1. To separate the Arabs from the Uthmani state
2. To alienate the Muslims from the bond of Islam
In 1875 the “Secret Association” was formed in Beirut in an attempt to encourage Arab nationalism among the people. Through declarations and leaflets it called for the political independence of the Arabs, especially those in Syria and Lebanon. Those in charge repeatedly accused Turkey in their literature of snatching the Islamic Khilafah from the Arabs, violating the Islamic Shari’ah, and abusing the Deen.
These seeds of Arab nationalism came to fruition in 1916 when Britain ordered its agent Sharif Hussein of Mecca to launch the Arab Revolt against the Uthmani Khilafah. This revolt was successful in dividing the Arab lands from the Khilafah and placing them under British and French mandates.
At the same time nationalism was being incited among the Turks. The Young Turks movement was established in 1889 on the basis of Turkish nationalism and achieved power in 1908 after ousting Khaleefah Abdul-Hamid II. The traitor Mustafa Kemal who went on to abolish the Khilafah was a member of the Young Turks. This is why Mustafa Kemal later said: “Was it not because of the Khilafah, Islam and the clergy that the Turkish peasants fought and died for five centuries? It is high time Turkey looked after her own interests and ignored the Indians and the Arabs. Turkey should rid itself of leading the Muslims.”
Alongside the missionary activities Britain and France along with Russia began to directly colonise many parts of the Muslim world. This started during the mid eighteenth century when in 1768 Catherine II of Russia fought the Khilafah and successfully occupied the lands of Southern Ukraine, Northern Caucasus, and Crimea which became incorporated in to the Russian Empire. France attacked Egypt and Britain began its occupation of India. In the 19th century France occupied North Africa and Britain occupied Egypt, Sudan and India. Gradually, the lands of the Khilafah were receding until the end of the 1st world war when all that was left was Turkey, which was occupied by allied troops under the command of a British general named Charles Harrington.
The division of the lands of the Khilafah was a deliberate agreement hatched by Britain and France in 1916 in the secret agreement known as Sykes-Picot. This plan was negotiated between French diplomat François Georges-Picot and British diplomatic advisor Mark Sykes. Under the agreement Britain was allocated control of Jordan, Iraq and a small area around Haifa. France was allocated control of South-eastern Turkey, Northern Iraq, Syria and Lebanon. The controlling powers were left free to decide on state boundaries within these areas. The Middle Eastern map today is the legacy of Sykes-Picot with the borders matching Mr Sykes and Mr Picot’s lines drawn using a ruler over the former lands of the Khilafah.
In the years preceeding the destruction of the Khilafah, Britain played the most important role through nurturing its agent Mustafa Kemal. Through a number of political maneuvers aided by Britain, Mustafa Kemal was able to establish himself as an authority within Turkey. In 1922, the Lausanne conference was organised by the British foreign Secretary Lord Curzon to discuss Turkey’s independence. Turkey at that time was under the occupation of the allied forces with the institution of the Khilafah existing in all but name. During this conference Lord Curzon stipulated four conditions prior to recognising the independence of Turkey. These conditions were:
1. The total abolishment of the Khilafah
2. The expulsion of the Khalifah beyond the borders
3. The confiscation of its assets
4. Declaration that Turkey become a secular state
The success of the conference rested on the fulfilment of these four conditions. However, even with such foreign pressure many Muslims within Turkey still cherished the idea of Khilafah, which had served Islam so well for so many centuries and found it inconceivable that it could ever be abolished. Hence, Lord Curzon failed to secure these conditions and the conference wound up in failure. Yet, the cunning Lord Curzon on behalf of Britain did not give up. On the 3rd March 1924 Mustafa Kemal using force and terrorising his political opponents managed to push through the Abolition bill that would see the institution of Khilafah officially abolished.
For the colonialists powers destroying the Khilafah was not enough. They wanted to ensure that the Khilafah could never arise again among the Muslims.
Lord Curzon said, "We must put an end to anything which brings about any Islamic unity between the sons of the Muslims. As we have already succeeded in finishing off the Caliphate, so we must ensure that there will never arise again unity for the Muslims, whether it be intellectual or cultural unity."
Therefore, they placed a number of obstacles in the path of re-establishing the Khilafah such as:
1. The introduction of the non-Islamic concepts in the Islamic world such as patriotism, nationalism, socialism and secularism and the colonialists encouragement of political movements based on these ideas
2. The presence of educational curriculum set up by the colonial powers, which have remained in tact for 80 years, that made the majority of the graduated young people and those in the educational institutions proceed in a direction contradictory to Islam
3. The economic strangulation of the Muslim world by western governments and companies such that the people live in abject poverty and are forced to focus solely upon feeding themselves and their families whilst turning away from the true role of the colonialists
4. The deliberate legacy of dividing the Muslim world around contentious borders and territories such that Muslims would permanently be engaged in petty issues
5. The creation of organisations such as the Arab League and later the Organisation of Islamic countries (OIC) that diluted the bonds of Islam, continued the disunity of the Muslim world whilst failing miserably to solve any problem or issue
6. The imposition of a foreign state, Israel, into the heart of the Muslim world that would spearhead the western powers assault upon defenceless Muslims while perpetuating the myth of Muslim inferiority
7. The presence in the Muslim countries of tyrant rulers whose allegiance is to their western masters; whom oppress and torture the Ummah; they are not from the Ummah and hate the Ummah just as much as the Ummah hates them
Despite these obstacles and the plots and plans of the colonialists the re-establishment of the Khilafah is once again a reality for the Muslim world. We must take this opportunity on the anniversary of the destruction of the Khilafah to reflect on the current situation of the Muslims and ensure that only by working to bring back the Khilafah can we truly achieve success in this life and the next.
Friday, March 7, 2008
TiGa HaRi TiDak MaKan, IBu dan ANak TeWas
Selain mereka berdua, anak bungsu yang berusia empat tahun, Aco, terpaksa dilarikan ke rumah sakit saat pingsan akibat dehidrasi dan kurang gizi.
Anak sulung pasangan Basse, Salma, sembilan tahun, mengatakan kadang ia dan keluarga tidak makan seharian. Kalaupun makan, biasanya lauknya
Menurut Salma, yang berada di rumah sakit menunggui adiknya, tiga hari keluarga ini kehabisan beras dan tidak bisa makan. Tiga hari terakhir ini pula ibunya tidak sehat dan pada Kamis malam, muntah dengan bau menyengat. Jumat pagi, Salma dan ketiga adiknya makan nasi disiram air putih tapi ibunya tidak ikut makan. [tmp]
Tuesday, March 4, 2008
PrAGMaTiSmE pOLuGri InDoNeSiA
Beberapa waktu lalu,pemerintah RI melalui depkeu melakukan kebijaksanaan kontroversial. Depkeu berencana memangkas anggaran pertahanan RI sebesar 15%. Rencana ini menuai kontroversi karena akan menghambat reformasi di tubuh TNI dan peremajaan peralatan militer TNI.
Pada waktu yang sama,presiden SBY menerima kunjungan menhan AS,Robert Gates. Pertemuan itu membahas tiga diantaranya : harmonisasi hubungan militer AS-Indonesia (termasuk pembelian 6 pesawat tempur AS F-16 senilai 30 juta $ dalam jangka waktu 5 tahun mulai tahun depan),isu terorisme,dan komitmen Indonesia terhadap perjanjian antara kedua negara.
Selain agenda lain yang dibicarakan,wajar juga muncul pertanyaan, 'apa kaitan pemangkasan anggaran pertahanan RI dengan kunjungan menhan AS?'
PRAGMATISME POLUGRI INDONESIA
Pertanyaan diatas mungkin tidak sesederhana yang kita duga dengan realitas percaturan politik luar negeri (polugri) Indonesia. Bukan pertama bahkan berulang kali negeri kita didikte oleh pemerintah AS maupun pemerintah negara-negara besar lainnya. Ketika presiden Rusia Vladmir Putin berkunjung ke Indonesia,muncul pertanyaan, 'akankah Indonesia berkiblat ke Rusia?'. Pasalnya,seak September 2007,presiden SBY menjalin hubungan intensif dengan Rusia. Dugaan ini dibantah oleh jubir presiden Dino Patti Jalal. Menurut Dino, hubungan Rusia-Indonesia adalah dalam rangka politik keseimbangan (ekuilibrium). "Presiden selalu mengatakan ekuilibrium,tapi ada istilah lain yang digunakan oleh presiden : 'all forum policy' yang artinya : semua orang kita temani dan dari semua orang,kita petik manfaat dari kemitraan atau partnership",tegas Dino.
Pendapat berbeda datang dari ketua Lajnah Siyasiyah HTI, MR Kurnia. Menurutnya, pernyataan Dino Patti Jalal sejatinya menunjukkan sikap pragmatis pemerintah dalam polugri-nya. "Melalui paradigma ini, wajar belaka,apapun dilabrak,yang penting semua pihak ditemani asal ada manfaatnya",ujarnya. MR Kurnia mengkritisi manfaat apa yang diperoleh dari partnership yang dijalin pemerintah dengan pemerintah asing. Selama ini,hubungan luar negeri Indonesia dengan negara asing terutama negara-negara besar justru lebih banyak merugikan daripada menguntungkan rakyat Indonesia. Disintegrasi Timor Timur adalah bukti nyata kegagalan polugri Indonesia. Pada waktu itu,pemerintah Indonesia hanya tunduk pada kebijakan PBB dan tekanan asing yang mengakibatkan Timor Timur lepas dari NKRI setelah diadakan referendum. Hal senada diungkapkan oleh Budi Mulyana, staf pengajar hubungan internasional UNIKOM Bandung. Indonesia lebih banyak dirugikan tidak hanya secara politis tapi juga ekonomis. Budi mencontohkan lepasnya blok Cepu dari Indonesia setelah mendapat tekanan dari pemerintah AS. Bukan suatu kebetulan, ketika terjadi perundingan alot blok Cepu, petinggi AS seperti menlu AS kala itu, Condoleeza Rice (14-15 Mei 2006) dan menhan AS kala itu, Donald Rumsfeld (6 Juni 2006) segera berkunjung ke Indonesia.
Kasus perjanjian DCA Singapura-Indonesia adalah contoh lain meskipun akhirnya dibatalkan. Awalnya, pemerintah bersikeras merealisasikan perjanjian tersebut meskipun amat merugikan terutama aspek pertahanan dan keamanan. Perjanjian DCA membuka peluang bagi Singapura dan AS untuk bebas keluar masuk wilayah NKRI.
Kini perjanjian yang mengancam aspek pertahanan dan kemanan serta ekonomi juga sedang dan akan terus berlangsung. Dengan kunjungan menhan AS, dalam bidang pertahanan, AS dan Indonesia sepakat menjalin kerjasama militer dan memerangi para teroris dalam rangka 'war on terrorism' selain membahas persoalan selat Malaka. Dalam bidang ekonomi, kunjungan menhan AS terkait erat dengan rencana pemerintah RI membatalkan perjanjian Exxon mobil dengan AS. Tentu hal ini amat merisaukan pemerintah AS.
Lalu, dimana peran politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif? Melihat ketergantungan Indonesia pada kepentingan asing, ternyata politik luar negeri Indonesia tidak bebas-aktif.
POLUGRI BEBAS AKTIF? POLUGRI KHILAFAH
Kondisi politik luar negeri Indonesia sangat memprihatinkan. Padahal, jika pemerintah berani menolak untuk 'say no' kepada kebijakan pemerintah asing yang merugikan rakyat dan bangsa sendiri, niscaya 'Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman'. Umat,sadar atau tidak,kini mendambakan pemimpin seberani dan setegas Sultan Abdul Hamid II yang dengan tegas menolak upaya Theodore Hertzel, pemimpin zionis yahudi, untuk mendirikan negara Israel di bumi Palestina. Namun, kini tak ada satu pun pemimpin di dunia yang berani menolak bahkan mereka bermanis muka dengan melayani nafsu para imperialis yang beramai-ramai menjarah sumber daya alam dan mengancam kedaulatan negeri-negeri islam. Sikap ini diakibatkan paradigma polugri yang keliru : all forum policy : semua orang kita temani dan dari semua orang kita petik manfaat dari kemitraan atau partnership. Akibatnya, kita salah menilai siapa kawan dan lawan. Penjajah kita jadikan kawan dan teman kita jadikan lawan.
Kini sudah saatnya pemerintah mengembalikan polugrinya yang bebas aktif dan tidak tergantung pada kepentingan asing,serta mencintai rakyatnya dengan berani menolak segala bentuk perjanjian internasional yang merugikan rakyat dan bangsa sendiri.
Namun ketegasan dan independensi polugri pemerintah semacam ini sulit direalisasikan kecuali dalam naungan daulah khilafah islam yang menerapkan syariah Islam kaffah (total). Polugri pemerintah yang bebas aktif telah dibuktikan dalam sejarah oleh daulah (khilafah) Islam selama 13 abad. Kini tak ada salahnya bahkan wajib bagi kita untuk mencobanya kembali.
Sunday, March 2, 2008
LAPINDO:BukTi KeZaLiMaN pEmErinTaH
Kesimpulan pemerintah melalui TP2LS-DPR RI bertolak belakang dengan kesimpulan pengadilan dan pakar pertambangan dari perguruan tinggi ternama di Indonesia maupun luar negeri.Menurut Walhi(www.walhi.or.id,19/2),Kersam Sumanta,mantan direktorat eksplorasi dan produksi BPPKA-Pertamina yang juga mantan anggota timnas penanggulangan lumpur lapindo,menyatakan bahwa ada unsur kekeliruan manusia yang menyimpang dari standar operasional teknik pengeboran hingga mengakibatkan terjadinya semburan lumpur panas.Mantan ketua ikatan ahli geologi Indonesia Andang Bachtiar,Senin(18/2),di Malang,juga menegaskan bahwa semburan lumpur panas di kabupaten Sidoarjo ,Jawa Timur,adalah akibat kelalaian PT Lapindo Brantas Inc.Ia menolak peristiwa itu disebut sebagai bencana alam.Kesimpulan TP2LS-DPR RI tersebut jelas akan semakin mengamankan tanggung jawab PT Lapindo dan melepaskan tangan pemerintah untuk melakukan intervensi lebih dalam.
LAPINDO: BUKTI KEZALIMAN PEMERINTAH
Sejak pertama kali meluap pada 29 Mei 2006,banjir Lapindo telah merusak banyak fasilitas masyarakat.Menurut berbagai sumber data di lapangan,hingga saat ini jumlah bangunan yang terendam banjir lumpur panas meliputi 10.426 tempat tinggal,33 sekolah,dan 31 pabrik.Lahan sawah untuk tebu yang terendam mencapai 64,02 ha.Sawah untuk tanaman padi yang terendam mencapai 482,65 ha.Banjir lumpur panas juga memaksa ratusan ribu warga kehilangan mata pencaharian dan mengalami nasib yang tak jelas.
Aneh tapi nyata.Penanganan pemerintah dan DPR terhadap masalah serius ini justru mengabaikan kepenringan korban.Pengabaian tersebut dapat terlihat sebagai berikut:
Pertama,penanganan pemerintah terhadap korban lumpur lapindo diatur dalam peraturan presiden(perpres) No 14 tahun 2007 tentang badan penanggulangan lumpur Sidoarjo(BPLS).Tapi perpres tersebut justru memihak PT Lapindo.Misalnya,perpres ini hanya membatasi kewajiban dan tanggung jawab Lapindo pada peta terdampak sesuai dengan kondisi pada tahun 2007.Padahal area yang terendam banjir lumpur panas terus meluas hingga kini.Akibatnya,berdasarkan perpres tersebut,Lapindo hanya bertanggung jawab terhadap sekitar 23.301 jiwa dari 4 desa/kelurahan yang termasuk dalam peta terdampak.Adapun lebih dari 40 ribu jiwa yang lahan dan tempat tinggalnya terendam lumpur, dianggap sudah diluar tanggung jawab Lapindo karena area mereka berada diluar area peta terdampak dalam perpres tersebut.
perpres juga menetapkan pembayaran ganti rugi melalui mekanisme jual beli kepada korban dilakukan secara bertahap.20% uang ganti rugi dibayar di muka dan 80% sisanya dibayarkan kurang lebih setelah dua tahun.Hingga saat ini,proses pembayaran 80% sisa ganti rugi itu masih belum jelas.
Perpres juga mengubah kewajiban Lapindo memberikan ganti rugi kepada korban menjadi masalah keperdataan jual beli tanah dengan harga yang ditentukan oleh Lapindo.
Warga korban Lapindo telah mengajukan uji material perpres No 14 tersebut kepada mahkamah agung(MA) pada Januari 2008.Mereka menuntut agar perpres tersebut dibatalkan karena pembayaran ganti rugi kepada korban menggunakan proses jual beli secara tidak tunai.Cara ini sama sekali merugikan korban bahkan menguntungkan Lapindo.Namun mahkamah agung setali tiga uang dengan TP2LS-DPR RI dan pemerintah.MA sejalan dengan pemerintah untuk menjaga kepentingan Lapindo.MA menolak pengajuan uji material perpres tersebut.
Kedua,DPR yang seharusnya menjadi dewan perwakilan yang membela kepentingan rakyat justru tidak berpihak pada rakyat,dalam hal ini pihak korban.Sejak awal tahun 2007,dpr telah mengancam akan melakukan hak interpelasi kepada pemerintah terkait pola penanganan lumpur Lapindo.Namun hingga kini,ancaman hak interpelasi itu hanya gertak sambal alias omong kosong.Buktinya,TP2LS-DPR RI sepakat bahwa semburan lumpur panas Lapindo merupakan bencana alam bukan akibat ulah tangan manusia.
Kini jelas,TP2LS bentukan DPR tersebut bekerja untuk siapa:bukan untuk mengawasi penanggulangan Lumpur Sidoarjo oleh PT Lapindo yang menyengsarakan rakyat tapi untuk memuaskan nafsu pemerintah,DPR dan Lapindo.
Inilah wajah pemerintahan kita.Gambaran ini menguatkan keyakinan kita bahwa pemerintah sedang menjalankan sistem politik dan ekonomi kotor yang dikendalikan oleh para kapitalis,sang pemilik modal.Keadilan bagi rakyat mampu diperjual belikan dengan kapital yang dimiliki sang pemilik modal.Itulah trik dan intrik politik dan ekonomi neo kapitalisme.Alhasil,tak ada keadilan sejati untuk rakyat.Sangat zalim!
ISLAM:HAPUSKAN KEZALIMAN!
Setiap manusia membenci kezaliman dan mendambakan keadilan.Oleh karena itu,islam mengharamkan tindakan zalim atas sesama manusia.Termasuk kezaliman penguasa yang berjanji mengemban amanat yang dititahkan Allah padanya untuk mengayomi urusan rakyatnya.
Secara khusus,Rasulullah SAW telah berdoa kepada Allah SWT agar membalas para penguasa yang berlaku zalim kepada rakyatnya:
"yaa Allah,siapa saja yang telah diangkat untuk mengurus urusan umatku,kemudian dia mempersulitnya,maka persulitlah dia"(HR Muslim)
Segala bentuk kezaliman dalam aspek ppolitik,ekonomi,pendidikan,sosial,dan sebagainya,pada hakikatnya tidak hanya disebabkan oleh tindakan zalim individual penguasa.Lebih dari itu,kezaliman sang penguasa itu lebih banyak diakibatkan oleh kerusakan sistem dan jalan hidup (way of life) yang sekuler liberal kapitalis saat ini.Oleh karena itu,siapapun yang menjadi pemimpin dalam sistem hidup semacam ini niscaya tak akan berdaya kecuali ikut berbuat zalim.
Allah telah mengingatkan:
"siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut apa (wahyu) yang Allah turunkan,mereka itu adalah orang-orang yang zalim"(Qs.al maidah:45)
Ketidakadilan/kezaliman yang sedang dirasakan korban lumpur panas Lapindo merupaka dampak dari kezaliman sistem hidup sekuler-liberal dan kalitalis.tak ada keadilan sejati bagi rakyat dalam sistem hidup semacam ini.
Bagi para pencari dan pendamba keadilan sejati,hukum Allah-lah tempat kita bertanya,'apa dan dimana keadilan itu?'.Maka hukum Allah akan menjawab,'apakah hukum jahiliyah yang kalian kehendaki?siapakah yang lebih baik hukumnya daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?'(Qs.al maidah:50)
Dengan berupaya menegakkan kembali daulah khilafah islamiyah yang menerapkan hukum Allah,yakni syariah islam kaffah,keadilan tidak hanya akan ditegakkan oleh Allah di yaumil hisab tapi juga di dunia.Karena Islam membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia,muslim dan non muslim.Dan muslim manapun yang memimpin dalam naungan daulah khilafah,ia akan terdidik oleh sistem hidup islam untuk berlaku adil dan tidak zalim pada rakyatnya.
Saturday, March 1, 2008
SudaHkah Aku BeRiMan?
1.tak ada toleransi dengan sifat terjajah(malas,ga pe-de,pesimis,utopis,kurang inisiatif,suka menunda alias tak bersegera raih pahala dan surga dengan amal shalih dan jauhi neraka dengan hindari dosa)
2.tak ada toleransi dengan sekulerisme dalam diri(jangan merasa belum ada atsar tatsqif dalam hidup tapi hargai ilmu dengan terapkan thoriqah islam fii darsi)
3.cintaku pada Allah dan rasul adalah cinta yang benar jika kubuktikan dengan perbuatanku yang melebihi cintaku pada dunia.jika bukan cinta yang benar,Qs at taubah:24 akan menjawabnya.
4.selalu ada upaya diri jadi lebih baik dari kemarin.eksplorasi kelebihan sebagai potensi pemberdayaan diri dan eliminasi kekurangan yang akibatkan kegagalan dalam pengembangan diri dan da'wah islam.jika aku kurang dalam:
*tsaqafah islam,sudahkah aku lakukan dirasah fardiyah dengan baca literature islam dan berusaha memahaminya dengan diskusi bersama teman?
*bahasa arab,sudahkah aku belajar bahasa arab,bahasa persatuan islam dan umat islam?
*interaksi,sudahkah aku jadikan interaksi islam sebagai hobi?
*baca dan tulis,sudahkah aku jadikan membaca dan menulis sebagai hobi?
*ikuti fakta,sudahkah aku jadikan ikuti fakta sebagai hobi?
P.S jika aku jadikan interaksi,baca dan tulis,ikuti fakta sebagai hobi,da'wah islam bukan beban tapi tanggung jawab yang memang selayaknya diemban seorang muslim karena Allah.sudahkah aku jadikan da'wah sebagai poros hidupku?sudahkah islam sebagai way of life dan mabda mengkristal dalam hidupku?
*manajemen waktu,sudahkah aku jadi manajer waktu yang baik dalam kegiatanku di dalam rumah(domestik)dan diluar rumah(publik)?sudahkah aku sempurnakan kewajibanku sebagai seorang anak bagi orang tua atau seorang istri bagi suami dan ibu bagi anak?sudahkan aku sempurnakan kewajibanku sebagai seorang muslimah untuk berda'wah?sudahkan aku kerjakan PR da'wah islam-ku?
*de el el,sudahkah aku reformasi jika tak dikatakan revolusi kekuranganku?
5.'dan tiadalah kehidupan dunia ini kecuali main-main dan senda gurau belaka.dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang bertakwa.maka tidakkah kamu memahaminya?'(Qs.6:32)sudahkah aku jadikan dunia tempat singgah~bukan tujuan~dan rendah dalam pandanganku,sebagaimana dalam pandangan Allah?
sudahkah aku jadikan kampung akhirat sebagai tujuan akhir hidupku?sudah,sedang dan akan beramal sholih apa saja untuk rain tujuan akhir hidupku?
6.tujuan harakah islam untuk melangsungkan kembali kehidupan islam adalah tujuan mulia dan aktivitas da'wah untuk raih tujuan itu adalah aktivitas mulia yang diwariskan para nabi dan pengikutnya.taqarrub ilallah mutlak dilakukan.sempurnakan amal wajib,perbanyak amal sunnah dan zikrullah agar pertolongan Allah semakin dekat,"apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum tiba padamu ujian sebagaimana terjadi pada umat islam sebelum kamu?mereka menderita kemiskinan dan kesengsaraan sehingga rasul beserta orang-orang beriman bertanya,'bilakah datang pertolongan Allah'?".penderitaan,kemiskinan,dan kesengsaraan tidak serta merta selalu menyertai pengorbanan seorang muslim untuk Allah,tapi sudahkan aku optimal dalam berkorban pikiran,harta,atau apapun yang bisa kuberikan untuk kebesaran Allah dan islam?sudahkah aku berkorban sebagaimana saudara-saudaraku diluar sana berkorban hingga mereka harus diburu,dipenjara,bahkan dibunuh hanya karena apa yang mereka pikirkan dan lakukan demi 'laa illaha ilallah muhammadur rasulullah'?sebagian dari mereka telah syahid dan itu bukan masalahku.masalah terbesarku adalah apa yang akan kulakukan untuk membela kehormatan mereka yang masih hidupa dan meregang nyawa?apa yang akan kukatakan pada Allah jika para suhada berkeluh kesah tentang aksi diam seribu bahasa kaum muslimin(dan aku salah satunya)?aku tak ingin menjadi pemantau penderitaan mereka tapi ingin menjadi salah satu pembela mereka.'yaa Allah,kami disini berjuang dengan banyak uslub dan wasilah tapi dengan satu thoriqah yakni thoriqah da'wah rasulullah.kami disini berjuang untuk membela saudara-saudara kami di palestine,irak,afghanistan,kashmir,dan bumi manapun.kami disini berjuang dalam wadah hizbut tahrir,majelis mujahidin,alpen prosa,islamuda,gema pembebasan,forum umat islam,kutlah islam,dan wadah umat islam apapun yang diikat dengan satu ikatan akidah,yakni akidah islam dan yang memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah di bumi pertiwiMu.maka mudahkan dan buka pintu lebar-lebar bagi kami untuk optimal dalam gerak kami dan untuk buktikan iman kami padaMu.sulitkan dan kunci pintu rapat-rapat bagi kami untuk berbuat dosa sekecil apapun walaupun itu rasa malas,tak pe de,pesimis,utopis,lemah,karena semua sifat itu membunuh komitmen kami dan bukan sifat seorang muslim."tolonglah kami"...
Sudahkah aku beriman?