Diakui Ketua FPKS Mahfudz Siddiq, rumusan terakhir RUU ini merupakan hasil kompromi.
“Skedulnya begitu (pengesahan). Kalau di panitia kerja (panja) sendiri materi yang krusial sudah selesai. Rumusan terakhir sudah merupakan hasil kompromi yang sangat maju,” kata Mahfudz Siddiq seperti dikutip dari detikcom, Senin (15/8/2008).
Sementara itu menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 80 persen anak yang tersangkut kasus hukum terkait pelecehan seksual dan perkosaan. Perlakuan tersebut 100 persen didahului dengan menonton materi pornografi. Menurut KPAI, RUU juga harus memberikan sanksi yang sangat berat terutama bagi pelaku korporasi.
Bukan Memberantas
Karena hasil kompromi, tentu saja RUU tersebut masih jauh dari harapan. Bahkan RUU tersebut penuh dengan kritik seperti yang disampaikan oleh Lajnah Tsaqafiyah Hizbut Tahrir Indonesia yang memandang RUU ini hanyalah mengatur pronografi, bukan memberantasnya.
Awalnya bernama Undang-Undang Anti Pornografi Pornoaksi (RUU -APP), tetapi kini menjadi Undang-undang Tentang Pornografi. Dalam RUU ini kata ‘Anti’ dan ’Pornoaksi’ dihilangkan dari rancangan semula.
Penghilangan kata ’Anti’ mengesankan, yang diinginkan RUU ini hanyalah mengatur pornografi. Bukan memberantasnya. Kesan ini makin menemukan buktinya, jika dicermati pasal-pasal yang ada di dalamnya. Padahal, dalam konsideran ‘Menimbang butir b” dinyatakan bahwa ”Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia.”
Jika demikian halnya, mengapa pornografi masih dipelihara? Padahal menurut perspektif Islam, pornografi dan pornoaksi adalah kemungkaran yang harus dilenyapkan. Bukan hanya diregulasi, apalagi dilegalisasi.