Monday, March 25, 2013

Amalan FB yang sia-sia

Siapa tak punya akun facebook. Ini sudah 2013, masa akun facebook saja tak punya.. Ada pula yang berujar, “Facebook, plus minus sih ya..”. Ya, ya. Facebook adalah sebuah produk peradaban. Masalah ia mengandung nilai budaya tertentu, masing-masing akan berbeda paham. Ada yang berkata, budaya yang dianut facebook itu budaya All Seing Eye, budayanya Dajjal si Mata Satu. Budaya pengintaian dan pengendalian massa oleh invisible hand, ada tangan di balik layar yang mengontrol dan menggiring penggunanya pada target tertentu. Dimana kita menyetorkan sederet data pribadi kita pada pihak yang tidak kita sadari yang sangat mungkin memiliki kepentingan dibaliknya. Apapun kepentingannya, ekonomi, pengendalian informasi dan opini, transfer budaya, sampai agenda politik praktis. Ada pula yang menganggap analisa di atas berlebihan. Facebook toh hanya produk teknologi yang bebas nilai. Hanya madaniyyah (benda) saja, bukan hadhoroh (mengandung nilai dan pemikiran tertentu), kata sebagian kawan-kawan. Seperti pisau. Tergantung pemakainya. Mau dipakai mengiris bawang bisa, mau dipakai untuk tindak kriminal pun bisa. Jadi dikembalikan pada niat dan awareness (kemawasan) pengguna facebook itu sendiri. Terlepas dari itu semua, memang ada poin-poin yang agaknya banyak dirasakan oleh para facebookers sendiri dan itu sangat merugikan. Ulasan berikut mungkin dapat memberikan sedikit gambaran. Ujian itu Bernama Informasi Pertama, derasnya informasi yang ditampilkan oleh sistem jejaring sosial tersebut ketika kita baru saja membuka akun kerap membuat kita tak kuasa mengelolanya. Kita terdisorientasi dan limbung. Kita terbawa pada rasa penasaran yang sering kali mencelakakan. Tadinya hanya mau mengunjungi kawan yang sudah lama tidak kontak yang ada menjelajah kesana kemari tak tentu arah. Selanjutnya hanya tinggal penyesalan, itu pun jika kita mengevaluasi diri. Bukan tidak mungkin kita malah terlalaikan oleh banjir informasi tersebut lantas kecanduan. Naudzubillahi min dzalik. Informasi memang demikian, jika sudah datang maka tak dapat kita cegah dan jika sudah kita sosialisasikan tak dapat diperbaharui. Ia bersifat irreversible, tidak bisa ditarik kembali. Kita mungkin dapat meralat tapi informasi yang sudah kita lepaskan kemarin tetap ada, tetap tercatat. Maka, di sini pentingnya pengelolaan atas informasi tersebut. Kita harus benar-benar mawas terhadap informasi ini, karena setiap informasi yang datang biasanya akan mempengaruhi diri kita. Bisa berpengaruh buruk ataupun berpengaruh baik. Besarnya pengaruh itu sangat tergantung pada integritas dan kualitas jiwa kita. Hanya mereka dengan orientasi hidup yang shahih dan berakar sehat yang mampu mengelola informasi yang datang menjadi charger positif pada dirinya. Karena biasanya mereka memiliki agenda harian yang jelas dan berkualitas. Karena karakter fikrah yang shahih selalu membawa pengembannya pada amalan-amalan nyata yang bermanfaat dunia akhirat. Dan agenda harian adalah eksekusi logis setelah seseorang membuat rancangan hidup yang visioner. Maka, agenda harian ini membuat rangkaian waktu mereka -yang visioner itu- sarat dengan prioritas amal dan terarah. Langkah-langkah hariannya tidak gampang menyerong tersedot informasi-infomasi tak berguna. Ia khusu pada perbaikan kualitas amalnya, baik amalan muamalah maupun amalan fardhiyyah. Agenda harian membantunya tak mudah mencampuri urusan yang bukan urusannya atau amal-amal buruk yang hanya memasung tujuan dan nilai-nilai yang hendak ia wujudkan. Ia dengan mudahnya meng-cut aktivitas facebooknya jika dirasa itu sudah merusak agendanya. Maka, ia tinggalkan mereka yang memakan bangkai di facebook , ia tinggalkan riya, namimah, perkataan dusta dan sia-sia. Maka, mari kita belajar beragenda! Namun, yang mesti diingat bahwa agenda hanya tinggallah agenda tanpa keyakinan yang terus disegarkan dan langkah yang terus dihentakkan. Disini perlunya kita terus menimba ilmu dan bergabung dengan orang-orang yang shalih dan wara’ (mawas). Mari kita renungi sekali lagi kalamullah yang sering dilantunkan anak-anak kita dalam rangkaian hafalannya: “Demi Masa! Sesungguhnya manusia itu di dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman, beramal soleh dan berpesan-pesan dengan kebenaran serta berpesan-pesan dengan kesabaran.” (Al ‘Asr 103: 1-3) Hal diatas adalah langkah agar banjir informasi tersebut tidak menenggelamkan kita, lantas bagaimana jika kitalah yang hendak menjadi sumber informasi. Jauh-jauh hari Rasulullah Muhammad Salallahu’alaihi wasalam sudah mengajarkan kita bagaimana pengelolaan informasi terbaik. ”Cukuplah seseorang dikatakan berdusta, jika ia menceritakan setiap yang dia dengar.”(HR. Muslim). Imam Malik –semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, ”Ketahuilah, sesungguhnya seseorang tidak akan selamat jika dia menceritakan setiap yang didengarnya, dan dia tidak layak menjadi seorang imam (yang menjadi panutan, pen), sedangkan dia selalu menceritakan setiap yang didengarnya. (Dinukil dari Muntahal Amani bi Fawa’id Mushtholahil Hadits lil Muhaddits Al Albani).1 Allah berfirman dalam Al Quran: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.”(QS. an-Nisa’: 83) Ibnu Katsir menafsirkan: “(ayat tersebut) Adalah pengingkaran terhadap orang yang bersegera dalam berbagai urusan sebelum memastikan kebenarannya, lalu ia mengabarkannya, menyiarkannya, dan menyebarluaskannya, padahal terkadang perkara itu tidak benar.” Bersosialisasi adalah fitrah manusia. Manusia dengan segenap potensi dalam dirinya tak dapat hidup sendiri. Ia banyak berkebutuhan dan pemenuhan kebutuhannya ada dalam interaksi sosial (muamalah). Di sini manusia akan saling menguji satu sama lain. Dan siapa yang paling tunduk pada rambu-rambu Allah dalam muamalahnya, dialah yang selamat. Dialah orang yang beruntung dengan kemenangan yang besar. Jejaring sosial bernama facebook ini menyediakan wadah muamalah dengan spektrum yang cukup luas -yang sebenarnya agak berlebihan dan melelahkan- jika kita tenggelam tanpa reserve, seperangkat adab dan aturan. Ada ‘Kesakralan’ Ukhuwah Yang Pantang Dinodai Satu aspek dalam muamalah adalah ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah ialah bertautnya hati dan jiwa dengan ikatan akidah. Akidah adalah ikatan paling kuat dan mahal. Ukhuwah itu saudara iman dan perpecahan itu saudara kufur. Ukhuwah adalah saat para penghuni penjara yang lain berkelahi memperebutkan selimut yang tak cukup, air yang kurang, makanan yang minim dan bangsal yang penuh sesak, mereka telah selesai menata siapa yang lebih banyak hafalan, sepenuh Al Quran, sepertiganya, setengahnya dan seterusnya. Atau yang lebih dalam dan luas ilmunya, untuk kemudian segera memulai program kuliah penjara dan lainnya. Mereka keluar dengan peningkatan prestasi hafalan Al Quran, tambahan bahasa asing dan selesai berbagai strata kuliah dengan gemilang. Kamar yang sesak tak jadi soal. Yang tidur belakangan merelakan pangkuannya menjadi bantal bagi saudaranya dan sebaliknya. Demikian uraian hikmah seorang guru. Banyak orang bersaudara karena kesatuan suku, usaha atau partai, ormas atau jamaah. Tidak sepetutnya ukhuwah Islamiyah dibatasi oleh tembok-tembok rapuh. Astaghfirullah. Karenanya, membicarakan keburukan orang lain (ghibah), membawa berita yang menimbulkan permusuhan (namimah), serta memata-matai orang lain (tajasus) tidak serta merta menjadi halal, hanya karena mereka bukan saudara seorganisasi, hanya karena berbeda titik pandang dalam strategi perjuangan. Siapapun mereka, dalam ikatan iman, telah memiliki ‘kesakralan’ ukhuwah yang pantang dinodai. Betapa mengerikan kelakuan beruang, singa dan harimau yang mencabik-cabik dan memakan daging mangsanya. Lebih mengerikan lagi makhluk berkerudung, berjubah, bercadar, berpeci, berkopiah, bercelana cingkrang, bersorban, berdasi, dan ‘berperadaban’ memakan daging saudaranya sendiri. Lagi-lagi pada dimensi ini amalan facebook kita terjerembab, masuk ke dalam lubang biawak, sejengkal-sejengkal atau telak dalam sekali pukulan. Kita ikuti hawa nafsu orang-orang kafir yang tertawa di atas terpotong-potongnya tubuh kita. Tubuh kita sendiri, ukhuwah Islamiyah. Betapa pertanyaan hipnotis berupa, What’s in your mind?, menyihir kita untuk serta merta menumpahkan ganjalan-ganjalan, kemasygulan, atau bahkan kegeraman, kejengkelan , dan olok-olokan pada saudara kita sendiri seketika emosi itu meluap. Tanpa mawas dengan hak-hak ukhuwah yang mesti kita penuhi. Tanpa menimbang terlebih dulu efek-efek yang akan terjadi akibat dari -apa yang kita namakan- status itu. Kita kunyah daging-daging saudara kita, kita ghibahi kesalahan saudara kita. Padahal yang mereka butuhkan adalah sepotong nasihat yang tulus. Rengkuhan hangat seorang saudara yang rela berkurban sabar untuk meluruskan, seberapapun ia terganggu dan terluka akibat kesalahan-kesalahan rekannya itu. Di sinilah mengapa aspek muamalah berefek sangat besar pada nasib kita di akhirat kelak. Berstatemen dan mencurahkan isi hati gaya facebook dengan budaya show up per detiknya, pada situasi-situasi tertentu yang sensitif sangat mungkin menjadi pemicu saudara-saudara yang berbeda langkah saling memata-matai, saling mencari celah aib dan kelemahan. Jika memata-matai sudah menjadi halal, kondisi berikutnya tentu lebih buruk lagi. Ukhuwah tanpa tabayun (klarifikasi), ukhuwah dengan ghibah dan tajasus, hanya menyisakan hasad (kedengkian), permusuhan dan perpecahan. Perpecahan adalah saudara kufur. Ukhuwah adalah saudara iman. Kita seperti sekor anjing yang tak segan-segan menceburkan diri ke dalam kolam untuk merebut tulang –yang tampaknya lebih besar- dari mulut rekan, yang ternyata bayangan dirinya sendiri. Ya, kita dan saudara seiman adalah diri yang sama. Astaghfirullahal ‘adzhim… Seharusnya memang kita sedari awal berhati-hati, bahwa produk impor buatan kaum yang terlaknat ini lebih dari sekedar find friend, notifikasi, message, home, poke, group, fan page, dan fitur-fitur bersosialisasi lainnya. Ia tak lain adalah alat perang. Dan ternyata kita sudah kalah perang sedari masih di dalam kamar, di depan layar, ketika persiapan perang pun hanya sekedarnya kita lakukan. Allahumma fanshurna ‘alal kaumil kafirin..Aamiin. Amal apapun memerlukan kesungguhan untuk menunaikannya, termasuk kesungguhan berukhuwah dalam tempat bernama facebook ini. Semoga Allah memberikan kita kemawasan diri dan bashirah (kejernihan hati) agar amalan facebook kita berdaya ishlah (perbaikan) bagi apa yang kita perjuangkan bukan lagi adegan berebut tulang kemudian menyesal. Masuk ke dalam media sosial bernama facebook seperti masuk ke dalam parlemen demokrasi. What’s on your mind? Apa yang sedang kau pikirkan? Mari, tetaskan disini! Ketika Rasa Malu Berekspresi Diuji Teringat dengan tanda-tanda akhir zaman yakni banyaknya tulisan, tersebarnya kebodohan dan kemaksiatan juga masalah diserahkan tidak kepada ahlinya. Mungkin facebook salah satu fenomenanya. Ketika ada suatu berita dinaikkan menjadi status, siapa saja. Beramai-ramai semua mengomentari, begini dan begitu, komentar baik, komentar buruk. Dan semua komentar bernilai sama. Sama-sama terakomodasi. Sama-sama boleh dan sah-sah saja. Kotak komentar menghipnotis siapa saja untuk ringan dan mudah berkata-kata, dan sayangnya lebih sering tanpa pertimbangan atas efek dari apa yang dikatakan. Spontan. Jauh dari kesan mendalam, khusu’ dan beradab. Tentu saja mereka yang ahli enggan berada di sini. Mereka yang ahli tak bisa menangani, karena masalah sudah dilemparkan pada mereka yang bukan ahlinya. Berisik sekali media sosial yang satu ini. Kita rasanya sudah sampai titik jenuh menerima informasi yang minim maslahat. Betapa sia-sia dan konyolnya mencurahkan isi hati ke hadapan banyak orang. Apalagi jika itu menyangkut keretakan muamalah kita dengan saudara kita sendiri. Hanya menyisakan tanda tanya, fitnah, ghibah, adu domba, dan perpecahan. Dulu kita tidak seperti ini. Dulu kita diam ketika marah. Dulu kita hanya mengadukan permasalahan kita pada orang yang kita percaya dapat berbagi solusi. Tapi kini kita kehilangan arah ketika gusar. Kita memang duduk dari berdiri, tapi sambil mengetik status. Kita menjadi kekanak-kanakan, reaktif dan mentah. Sudah cukup perpecahan ukhuwah ini menyiksa batin kita. Betapa konyolnya ketika seorang perempuan meletup-letupkan hasrat ingin menikah dalam media sosial ini. Mungkin karena saking ringannya curhat di jejaring sosial sampai lupa menimbang bahwa yang dilakukannya laksana ikan segar yang menarik naluri banyak kucing. Masya Allah. Betapa sedihnya ketika ribuan remaja kita menghiasi statusnya dengan kelabilan sehingga dengan mudahnya diperalat orang-orang jahat. Ngobrol ngalor-ngidul, diimingi pulsa, hingga diajak kencan dan dikerjai. Na’udzubillah min dzalik. Tapi, begini memang akhir zaman, tulisan tersebar, fitnah tersebar. Lapangkan dada kita untuk tidak sampai kehilangan daya mafhum. Beginilah adanya, dan dari sini kita memulai apa-apa yang masih bisa kita perbaiki dan selamatkan. Belum lagi kehinaan yang dilontarkan oleh seorang lelaki, “Sekarang nyari cewe mah gampang, sambil di closet juga bisa, buka aja facebook…”. Miris rasanya. Tapi, ungkapannya memang tidak salah. Facebook menjadi tempat penggunanya meng-artiskan diri. Semua pengguna seolah dijadikan pusat perhatian, pusat kendali. Di sini kita berlomba-lomba berekspresi, dengan segala bentuk ekspresi. Ada profile picture, ada kotak status, ada kotak komentar, notes, galeri foto, dan lain-lain. Ketika dulu seorang lelaki hendak melamar seorang perempuan ia mencari tahu profil perempuan tersebut melalui kerabat dan kawan-kawan terdekat, sekarang dengan facebook semakin dimudahkan. Buka saja akunnya, hampir semua kehidupannya dapat kita lihat. Biodata diri, gaya berkata-katanya, gaya bercandanya, gaya berkawannya, gambar-gambar dirinya terdisplay demikian lengkap dan rapi. Bahkan, bukan hanya mereka yang sudah siap melamar, mereka yang masih berkata, “Lima tahun lagi ya Ukhtiy..” pun tergoda untuk senantiasa memantau akunnya. Entah bagaimana nasib hatinya setelah aktivitas memantau itu. Dan ini berlaku pula untuk perempuan. Ada akun-akun sumber fitnah yang menggoda untuk selalu dibuka. Padahal hanya iseng, hanya menuntaskan keingintahuan, tidak penting. Tapi banyak membawa petaka. Sudah banyak keluarga tercerai berai karena tak bijak bermedia sosial. Na’udzubillahi mindzalik. Wallahulmusta’an. Semoga Allah menjaga kebersihan hati kita. Tak perlu menyalahkan lelaki yang sakit pikiran ketika mereka dengan asiknya mengoleksi foto-foto perempuan jika kita sendiri memang yang memajang. Facebook memang sudah menjadi salah satu pasar gratis, mudah dan murah, tempat mengunduh ribuan gambar-gambar perempuan. Mulai dari ekspresi menunduk malu-malu sampai yang tak mengindahi malu. Mulai dari yang hanya terlihat mata sampai yang sangat terbuka. Dan jangan salahkan siapa-siapa ketika ada mata-mata tak sehat yang menekuri foto-foto kita. Disini pula tempat di mana kerudung, jubah bahkan cadar kadang tak ada atsarnya, tak berjejak. Memang aneh jika aktivitas wall-wall-an disebut majlis ikhtilat. Toh tidak bertemu secara fisik. Tapi ternyata efek mentalnya tak jauh berbeda, malah jauh lebih dahsyat. Facebook menciptakan atmosfer yang akrab, dekat, dan hangat. Bahasa tulisan memang membangkitkan daya imaginasi yang lebih hebat dibanding bahasa visual. Ketika kita mendidik anak-anak perempuan kita menuju masa takflif, salah satu poin paling penting adalah perihal interaksi dengan lawan jenis. Kita harus menumbuhkan rasa malu yang kuat pada mereka terhadap lawan jenisnya. Malu kalau auratnya terbuka, malu kalau ekspresinya dapat menggoda, malu beramahtamah dengan laki-laki tanpa suatu keperluan. Kita ejawantahkan dengan detail bagaimana berinteraksi dengan lawan jenis itu. Kita katakan, hukum asal lelaki dan perempuan adalah terpisah, maka ketika bertinteraksi harus seperlunya saja, harus saling menjaga kemuliaan, harus menutup celah-celah setan, bersuara pun harus tegas, tak boleh berduaan, tak boleh campur baur dan seterusnya dan seterusnya. Lantas, aktivitas facebook kita? Kita hadiahkan rentetan adab ijtima’i (pergaulan) pada anak perempuan kita, kita jaga mereka. Tapi kita demikian mudahnya iseng colek-colek akun lawan jenis, meskipun kawan akrab kita. Dimana rasa malu kita. Kita dengan santainya bercanda, tertawa, bahkan terbahak-bahak, memberikan icon menjulurkan lidah, mengerlingkan mata dalam forum campur baur. Meski dengan kawan akrab kita. Kita lupa dengan adab-adab pergaulan yang dulu sewaktu menjadi aktivis Islam di sekolah hal itu kita perjuangkan. Kita lupa apa makna seperlunya saja, kita lupa bahwa ada hijab yang tak boleh kita robek. Meski itu di dunia maya. Teringat dengan ceramah seorang Syaikh tentang Masyarakat Ya’juj Ma’juj. Mungkin facebook ini miniatur Ya’juj Ma’juj Society, ketika semua bercampur baur tanpa ada hijab. Dajjal memang selalu menginginkan yang berkebalikan. Ketika Islam menghendaki kehidupan yang terpisah antara laki-laki dan perempuan Dajjal menciptakan atmosfer kebalikannya. Wallahu’alam. Ya terlepas dari itu, facebook dan sistemnya memang menjadi ujian bagi kita untuk menilai dan menimbang diri sendiri, layakkah diri kita untuk berekspresi seperti yang ingin kita kerjakan. Di sini kemampuan kita menimbang apa yang akan menjadi efek dari ekspresi kita menemukan kawah candradimukanya. Kebijaksanaan kita membagi informasi, menjaga langkah perbaikan, menjaga kehormatan diri dan keluarga, terutama menjaga kemuliaan dien Islam ini benar-benar diuji. Lagi-lagi kita tertinggal dan terpedaya, konsentrasi dan tenaga kita dibekukan masih dalam tataran konten, padahal mereka sudah melangkah jauh dalam ranah sistem. Ya Allah, Anta maulana fanshurna ‘alal kaumil kafirin. Sumber : http://www.arrahmah.com/ ===MAKNA F.A.C.E.B.O.O.K=== F - Fahamilah wahai manusia. A - ALLAH itu MAHA BERKUASA dan MAHA PENYAYANG. C - Cinta pada manusia hanya sekejap, cinta pada ALLAH kekal abadi. E - Esok entah kita masih bernyawa atau pun tidak.. B - Beramallah kita pada yang MAHA ESA karena.. O - Orang yang selalu beramal di sayangi ALLAH.. O - Orang yang berbuat kebaikan akan di limpah kurnia-NYA.. K - Karena ALLAH itu satu.

Friday, March 8, 2013

Menang PILKADA Tolak Ukur Kemenangan Dakwah, Benarkah?

Oleh : Adi Victoria & Harits Abu Ulya Analis CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst) Sebagian aktifis dakwah menganggap bahwa kemenangan di pesta demokrasi (pemilu/pilkada) merupakan tolak ukur dari sebuah kemenangan dalam berdakwah. Asumsinya, pemilu menjadi artikulasi politik masyarakat yang korelatif dengan seberapa besar sebuah konsepsi dan orientasi politik sebuah parpol (partai politik) mendapatkan tempat di hati masyarakat.Jika menang, berarti aktivitas politik ketika terjun ke masyarakat berhasil, dan hal tersebut ditandai dengan dukungan dan partisipasi yang teragregasi dalam wujud kemenangan pemilu/pilkada. Persepsi dan asumsi tersebut jelas mengandung karancuan dan peluang kesalahan. Dalam realitas politik, bisa saja sebuah parpol bekerja maksimal untuk hadir di tengah masyarakat dan melakukan kewajiban politik parpol sebagaimana mestinya. Dampaknya adalah kepercayaan masyarakat kepada parpol, menjadi saluran dan representasi untuk mengadvokasi kepentingan masyarakat. Dalam pakem mekanisme demokrasi, perolehan suara parpol baik untuk kepentingan pemilihan parlemen (legislatif) maupun eksekutif jika menang bisa diklaim sebagai kemenangan parpol. Dan terkadang dengan bahasa klise diklaim sebagai kemenangan rakyat. Dalam kontek dakwah yang dilakukan oleh parpol intra-parlementer, maka klaim kemenangan di atas rancu dan berpeluang salah. Tidak jarang sebuah awal langkah, di anggap puncak dan akhir langkah pencapaian. Hakikat kemenangan dakwah tidaklah bisa dinilai dengan tolak ukur kemenangan di pemilu ataupun di pilkada semata, namun juga adalah sejauh mana masyarakat menjadi sadar dan faham terhadap tujuan dari dakwah yang diemban oleh parpol itu sendiri. Juga dari sejauh mana parpol yang meraih kemenangan tersebut bisa merealisasikan target-target politiknya (ghoyah antara). Sebagai puncaknya bagi dakwah yang dipikul oleh parpol adalah sejauhmana bisa mengembalikan kehidupan sosial politik diatas jalan tauhid yang diajarkan dan diperintahkan al Qur’an dan as Sunnah. Penyempitan tolak ukur cukup berbahaya karena umat ataupun masyarakat secara umum semakin terbius oleh praktik dakwah yang bersifat islahiy (dengan target perubahan artificial/kulit), dan bisa melenakan masyarakat atas akar persoalan yang mendera umat secara keseluruhan. Dakwah Pragmatis (Waqi’iyun) vs Dakwah Ideologis (Mabda’i) Ibarat menjadi seorang dokter, maka ketika dokter hendak mengobati seorang pasien, ia harus mendiagnosis terlebih dulu apa penyebab utama penyakit sang pasien. Dokter “tidak boleh salah” diagnosanya. Sebab, kesalahan dilevel ini akan berdampak kesalahan prognosanya (langkah medis berikutnya). Akibatnya, pasien bukan sembuh dari sakitnya, tapi bisa mati tragis, atau penyakitnya makin kronis dan komplikasi. Demikian juga, kesalahan identifikasi terhadap persoalan umat Islam juga akan mengakibatkan kesalahan pada penentuan tujuan (target) dan metode dakwah, konsentrasi amal, persiapan-persiapan, serta perkara-perkara cabang lainnya.Dengan kata lain, kesalahan dalam perkara ini akan berimplikasi pada langkah-langkah selanjutnya. Oleh karena itu, pengkajian terhadap persoalan utama kaum Muslim harus dilakukan dengan teliti, sehingga upaya yang dilakukan oleh gerakan dakwah Islam bisa benar-benar menyelesaikan akar masalah sesungguhnya. Pada akhirnya, gerakan-gerakan Islam tidak memboroskan waktu dan energi umat pada perjuangan-perjuangan yang sebenarnya tidak menyentuh substansi dasar permasalahan umat. Kalau kita melihat mereka yang mencoba mengurai persoalan umat, setidaknya ada dua arus gerakan (dengan dikotomi intra-parlemen dan ekstra-parlemen).Pertama yang disebut dengan gerakan dakwah pragmatis, dan yang kedua gerakan dakwah ideologis. Dakwah pragmatis adalah dakwah yang menyadari kerusakan fakta yang ada dalam kehidupan umat, menyadari pula kewajiban untuk merubahnya, tetapi dakwahnya langsung fokus kepada langkah aksi, dan paradigma pemikirannya tidak menjangkau sampai ranah hakikat permasalahan pokok sekaligus utama yang menimpa masyarakat. Langkah aksi itu dilakukan minus kesiapan konsepsi yang bisa mengantarkan kepada kebangkitan. Akhirnya gerakan itu terjebak dalam ruang siklus aksi praktis dan pragmatis. Berputar-putar disitu saja hanya membawa pengaruh perubahan kulit dan tidak mendasar. Sebuah aksi yang berputar dan mengalir seiring dengan persoalan-persoalan baru yang terus bermunculan dan berkembang yang sejatinya persoalan tersebut adalah akibat dari akar persoalan yang tidak terpecahkan. Berdasarkan aksi-aksi yang dilakukan tersebut, mereka telah merasa melakukan kerja nyata, tidak hanya sebatas melakukan aksi berupa wacana atau sebatas konsep saja. Seharusnya sebagai sebuah gerakan dakwah, ketika menetapkan usaha-usaha untuk meraih perubahan, mau tidak mau harus melihat dengan jeli fakta dari sebuah perubahan yang hendak diraih. Hal ini adalah kebutuhan krusial untuk memahami akar persoalan keumatan dan mengkonstruksi perubahan yang diidealkan. Penginderaan yang tepat pada sebuah permasalahan berpengaruh mutlak pada arah dan fokus agenda dari sebuah gerakan dakwah. Ini yang menjadi salah satu penyebab di antara sebab-sebab lain yang menunjukkan maksimal atau tidaknya arti dari sebuah perubahan yang diinginkan sebuah gerakan dakwah. Berbeda dengan gerakan dakwah idelogis, yaitu dakwah yang menyadari realitas kerusakan dan keterbelakangan masyarakat. Gerakan ini akan melihat realitas permasalahan yang ada serta melakukan kajian secara mendalam tentang solusi yang bersifat fundamental/menyeluruh (taghyir al juduriy). Karakter dakwah bersifat ideologis alamiyah akan berbenturan dengan pemikiran lama, perasaan kolektif masyarakat, peraturan-peraturan dan para aparaturnya (sistem yang sudah ada) dengan pemikiran yang dibawa oleh entitas gerakan ideologis. Sebuah pertarungan pemikiran dan politik benar-benar terjadi, baik dalam warna yang terang maupun terkadang masih “abu-abu”. Akhirnya gerakan idelogis –sejak awal aktivitasnya- kerap dianggap asing dan membahayakan status quo. Sekalipun hakikatnya para pengemban dakwah ideologis di atas jalan yang benar (al haq). Sejarah selalu mencatat dengan baik episode pertarungan yang seolah tiada ujung itu. Hakikat Kemenangan Dakwah Kemenangan dakwah bukanlah sekedar sampainya orang Islam/parpol Islam ke tampuk kekuasaan. Apalah artinya orang Islam sampai ke tahta kekuasaan namun tidak menjalankan atau tidak menerapkan aturan Islam. Sangat masyghul bagi banyak umat jika hafidz qur’an, ataupun hafal ratusan bahkan ribuah hadist, namun hal tersebut hanya menjadi hafalan saja. Contoh empirik umat bisa menyaksikan fenomena parlemen di Mesir. Sebagian kaum muslimin bangga dengan orang-orang Islam yang duduk di kursi parlemen Mesir tersebut.25 % anggota parlemen Mesir adalah Hafidz qur’an. Diketahui bahwa para anggota dewan Parlemen Mesir terdiri lebih dari 140 orang adalah hafizh Al Quran, 100 orang lebih menghafal lebih dari 10 ribu hadits, 180 orang lebih telah hafal lebih dari 15 juz Al Quran. Namun pertanyaanya kemudian, apakah konstitusi negara mesir sekarang adalah syariat Islam? Al Qur’an jelas bukan sekedar dibaca , tapi al Qur’an adalah pedoman hidup yang harus diamalkan . Bersama As Sunnah , Al Qur’an menjadi sumber hukum syariah Islam. Menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup berarti menjadikan syariah Islam sebagai pengatur kehidupan kita dalam seluruh aspek kehidupan.Lagi-lagi muaranya adalah syariah Islam. Sungguh dipertanyakan muslim yang banyak membaca Al Qur’an atau bahkan menjadi hafidz, kemudian mengatakan Al Qur’an sebagai pedoman hidup , namun tidak mau diatur oleh syariah Islam. Padahal Syariah Islam merupakan pedoman hidup yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah. Sistem kapitalisme bisa tegak karena ada negara yang menerapkannya.Sosialisme bisa aplikatif juga karena ada negara yang menerapkannya. Sistem Islam yang sempurna dan komprehensif tentu juga tidak akan aplikatif kalau tidak ada negara yang menerapkannya. Syariat dan kekuasaan tidak bisa dipisahkan, dan dalam Islam sendiri institusi managerial (negara) ditetapkan sebagai salah satu hukum pokok (method) untuk mengoperasionalkan seluruh piranti solusi secara utuh dalam sebuah bangunan sistem sosial politik yang dikenal sistem Khilafah Islamiyah. Kemenangan dakwah adalah tatkala dakwah itu sendiri berhasil menyadarkan umat akan akar penyebab (root cause) persoalan yang mendera umat Islam.Dimana persoalan yang mendera umat Islam menimpa dari berbagai sisi, mulai dari masalah ekonomi, sosial budaya, hukum dan lainnya, semuanya membelenggu dan terintegrasi timbal balik dalam diri umat. Penting sekali untuk mengubah mindset atau pola berfikir umat, menjelaskan ke mereka bahwa penyebab dari semua penderitaan ini terjadi karena tidak diterapkannya syariah Islam di dalam kehidupan. Hal ini akan menjadikan umat menjadi sadar dan faham, sehingga dengannya kemudian masyarakat akan memiliki satu pemahaman, satu perasaan tentang akar masalah dan top solusinya. Umat butuh kehadiran institusi managerial (negara) yakni sistem daulah Khilafah Islamiyah sebagai target puncak (ghoyah utama) bagi gerakan dakwah, karena ia sebagai satu-satunya metode untuk mewujudkan kehidupan Islam. Sebuah kehidupan yang semua pranata sosial politiknya bersumberkan Alqur’an dan As Sunnah, berdiri tegak di atas kalimat tauhid “Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah”. Lebih eksplisit, hakikat dari sebuah kemenangan dakwah adalah tatkala sampainya Islam ke kekuasan, sehingga dengan kekuasaan tersebut, syariat Islam yang di buat oleh Dzat Yang Maha Tahu akan kebutuhan manusia di dunia dapat diterapkan. Dengan diterapkannya syariah Islam, maka kesejahteraan dan keadilan bisa terwujud. Tanpa syariah Islam, keadilan dan kesejahteraan hanyalah akan menjadi pepesan kosong, kecuali yang dimaksud sejahtera dan adil itu adalah untuk segelintir elit politik yang memang haus akan harta dan kekuasaan. Seperti potret kehidupan politik di Indonesia, episode kemenangan demi kemenangan di laga pemilu atau pilkada oleh parpol Islam sama sekali tidak kongkruen dengan perubahan dan tingkat kesejahteraan dan rasa keadilan masyarakat luas. Mereka berkuasa dengan atas nama rakyat, meraih tahta dengan bahasa agama dan “dupa” keawaman (rendahnya kesadaran politik) umat. Menggenggam jabatan dan kekuasaan melabelinya sebagai amanah rakyat, tapi waktu demi waktu membuktikan bahwa itu hanya retorika. Dan rakyat seperti menemukan lorong buntu, sekian parpol Islam belum pernah bisa memberikan jalan lempang untuk perubahan nasib mereka. Parpol Islam berputar mengikuti langgam dan pakem demokrasi, menjadi konduktor pemikiran dan perasaan masyarakat yang berujung kepada tumpulnya kesadaran bahwa yang dibutuhkan oleh mereka adalah perubahan revolusioner. Inilah potret buram yang sangat memprihatinkan. Lantas kemenangan mana yang patut dibanggakan? Adakah yang masih latah berani dengan lacut mengklaim kemenangan di pesta demokrasi nasional maupun lokal sejatinya adalah kemenangan dakwah? Sekarang ini yang terjadi adalah orang Islam sudah sampai di kekuasaan, namun Islam-nya itu masih ditinggalkan alias belum sampai. Semoga satu prespektif tentang “kemenangan” ini mendorong lahirnya sikap jujur dan berani muhasabah diri bagi para pengemban dakwah Islam dengan baragam wajahnya. Wallahu A’lam bisshowab.[Widad/www.globalmuslim.web.id]