Monday, August 30, 2010

i'tikaf







Memasuki sepuluh terakhir Ramadhan Rasulullah saw meningkatkan aktivitas ibadahnya dibandingkan hari-hari sebelumnya.


عَنْ عَائِشَةُ رضى الله عنها كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersungguh-sungguh pada sepuluh terakhir (Ramadhan) lebih dari kesungguhan beliau pada hari lain.” (HR. Muslim)


Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh beliau kepada ummatnya pada bulan Ramadhan adalah I’tikaf. I’tikaf secara bahasa adalah mendiami sesuatu dan menahan diri untuknya. Secara syar’i I’tikaf berarti berdiam diri di masjid beberapa saat dengan sifat tertentu dengan niat bertaqarrub kepada Allah swt

Hukum I’tikaf

I’tikaf hukumnya sunnah berdasarkan sejumlah riwayat antara lain:


عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

Dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw beri’tikaf sepuluh terakhir Ramadhan hingga Allah azza wa jalla mewafatkan beliau kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.” (H.R. Bukhari & Muslim)



عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ النبى -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ عَامًا فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ قَابِلٍ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا.

Dari Ubay bin Ka’ab r.a. bahwa nabi saw melakukan i’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan kemudian beliau melakukan perjalanan setahun maka beliau tidak beri’tikaf. Namun pada tahun berikutnya beliau melakukannya 20 hari.” (HR. Baihaqy dan al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah dan menurutnya shahih)



عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ - رضى الله عنه - قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ فِى قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ عَلَى سُدَّتِهَا حَصِيرٌ - قَالَ - فَأَخَذَ الْحَصِيرَ بِيَدِهِ فَنَحَّاهَا فِى نَاحِيَةِ الْقُبَّةِ ثُمَّ أَطْلَعَ رَأْسَهُ فَكَلَّمَ النَّاسَ فَدَنَوْا مِنْهُ فَقَالَ « إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

Dari Abu Said al-Khudry r.a. ia berkata: Rasulullah saw melakukan I’tikaf pada sepuluh hari pertama Ramadhan kemudian beri’tikaf pada sepuluh kedua di Kubah Turki yang di sisinya terdapat pembatas. Ia berkata: maka beliau mengambil pembatas dengan tangannya dan meletakkannya di kubah dimana tampak kepala beliau lalu ia berbicara kepada orang-orang sehingga mereka menundukkan diri mereka. Beliau bersabda: “Sesungguhnya saya i’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk mendapatkan malam ini, kemudian saya I’tikaf pada sepuluh malam kedua kemudian saya didatangi dan dan dikatakan kepada saya bahwa I’tikaf pada sepuluh malam terakhir. Barangsiapa diantara kalian yang senang melakukannya maka i’tikaflah. Lalu orang-orang I’tkaf bersama beliau (H.R. Muslim dan Ibnu Khuzaimah)


Berdasarkan riwayat di atas, itikaf merupakan aktivitas taqarrub yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah di bulan Ramadhan khususnya di sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Hukum ibadah tersebut sunnah. Kesimpulana tersebut diperoleh dari sabda Rasulullah saw yang mengatakan: “barangsiapa diantara kalian yang senang beri’tikaf maka beri’tikaflah.”


Tempat I’tikaf


Itikaf hanya dapat dilakukan di masjid. Tidak ada batasan jenis mesjid yang dapat digunakan untuk i’tikaf apakah masjid jami’, tempat dilakukan shalat jumat atau bukan. Hal ini karena nash-nash yang menjelaskan tentang i’tikaf senantiasa dikaitkan dengan mesjid. Sementara itu lafadz mesjid tersebut berbentuk mutlak dan tidak ada taqyid terhadap jenis mesjid tersebut apakah mesjid yang digunakan untuk shalat berjama’ah, shalat jum’at atau selainnya.


وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187)

“Dan janganlah kalian melakukan hubungan seks dengan mereka ketika kalian sedang i’tikaf di mesjid. Itulah ketentuan-ketentuan Allah maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 187)



عَنْ عَلِىُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَزُورُهُ فِى اعْتِكَافِهِ فِى الْمَسْجِدِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ وَقَامَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَقْلِبُهَا.

Dari Ali bin Husain bahwa Shafiyyah istri Nabi saw mengiformasikan kepadanya bahwa ia telah mendatangi Rasulullah saw yang sedang I’tikaf di mesjid di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ia berbicara dengan beliau lalu berdiri dan berpaling. Nabi saw juga berdiri dan menciumnya.” (HR. Bukhari-Muslim)



عَنْ أَبِى سَعِيدٍ قَالَ : اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ : « أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِى الْقِرَاءَةِ ». أَوْ قَالَ : « فِى الصَّلاَةِ ».

Dari Abu Said ia berkata: “Rasulullah saw sedang i’tikaf di mesjid lalu beliau mendengar orang-orang mengeraskan bacaaanya. Iapun membuka tabir dan bersabda: “Ketahuilah bahwa masing-masing kalian sedang bermunajat kepada tuhannya maka janganlah sebagian kalian mengganggu yang lain dan mengeraskan suaranya di atas suara yang lain dalam membaca (atau ia berkata) dalam shalat.” (HR. Abu Daud dan al-Hakim. Al-Hakim menshahihkannya)



Waktu Pelaksanaan I’tikaf


I’tikaf dalam dilakukan kapan saja baik siang atau malam di sepanjang tahun. Ini karena dalil yang berkenaan dengan I’tikaf tidak memberikan pembatasan (taqyid) atau pengkhususan (takhsis) dalam pelaksanaannya.

Adapun riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw dan para sahabat melakukan I’tikaf pada bulan Ramdlan maka hal tersebut menunjukkan sangat dianjurkannya waktu tersebut. terlebih lagi di sepuluh terakhir bulan Ramadhan dimana di sana terdapat lailatul qadar.

Meski demikian di luar bulan Ramadhan juga diperkenankan untuk i’tikaf. Hal ini misalnya diperoleh dari hadits riwayat:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفُ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ؟ قَالَ: فَأَوْفِ بِنَذَرِكَ

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Umar pernah bertanya kepada Rasulullah saw: “Dulu saya pernah bernadzar di masa jahiliyyah untuk i’tikaf malam di masjid al-haram, Rasul saw bersabda:”Ttunaikanlah nadzarmu.” (HR. Bukhari)


Perintah Rasul kepada Umar tersebut berbentuk umum dan tidak ada batasan bahwa harus dilaksanakan di bulan Ramadhan.

Rasulullah saw memulai I’tikaf beliau sesaat setelah melaksanakan shalat Subuh. Karena perbuatan tersebut adalah liqasdi al-qurbah, yakni semata-mata untuk bertaqarrub maka status hukumnya sunnah. Meski demikian hal tersebut bukan syarat sehingga i’tikaf dapat dimulai kapan saja.

Adapun lama waktu I’tikap tidak dibatasi oleh syara’ sehingga ia dapat dilakukan berapapun lamanya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa i’tikaf minimal satu hari sementara imam Malik yang mengatakan minimal sehari semalam yang kemudian meralatnya menjadi minimal sepuluh hari. Namun demikian tidak diketemukan dalil yang mengharuskan batas tersebut.

Aktivitas orang yang beri’tikaf

Kegiatan itikaf diisi dengan amalan-amalam taqarrub seperti shalat, membaca al-Quran, dzikir dan menuntut ilmu.

Meski demikian orang yang sedang i’tikaf boleh keluar untuk memenuhi hajat yang harus dipenuhi yaitu: buang air kecil, buang air besar, muntah, mandi, wudlu dan yang sejenisnya seperti keluar untuk mengambil selimut jika dingin, alat pendingin jika udara panas, melakukan hal-hal yang wajib seperti menghadiri shalat jumat. Dengan demikian segala aktivitas mengharuskan orang yang sedang beri’tikaf untuk keluar memenuhi hajatnya maka tidak membatalkan i’tikaf. Namun jika ia keluar tanpa ada kebutuhan maka i’tikafnya batal.

Aktivitas di dalam masjid yang dilarang untuk dilakukan seperti meludah, jual beli, membunyikan ruas-ruas tulang tangan maka hal tersebut juga dilarang untuk dilakukan bagi orang yang sedang I’tikaf. Rasulullah saw bersabda:


إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ فَإِنَّ التَّشْبِيكَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَزَالُ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَ فِي الْمَسْجِدِ

“Apabila salah seorang diantara kalian berada di masjid maka janganlah ia membunyikan ruas-ruas tangannya. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan setan. Sesungguhnya salah seorang dari kalian masih senantiasa shalat selama ia berada di masjid.” (HR. Ahmad dan menurut al-Haitsamy sanadnya hasan)



عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ التَّحَلُّقِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ فِي الْمَسْجِدِ

Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakenya bahwa Nabi saw melarang mencukur rambut di hari Jumat sebelum shalat dan jula beli di masjid. (HR. an-Nasai. Menurut Albani hadits ini shahih)



عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبُزَاقُ فِى الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Meludah di masjid adalah dosa dan penghapus dosa itu adalah memendamnya.” (HR. Bukhari-Muslim)


Demikian pula semua aktivitas yang mubah dilakukan di dalam mesjid maka mubah pula dilakukan oleh orang yang sedang melakukan i’tikaf seperti makan dan tidur.


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ جَزْءٍ الزُّبَيْدِيَّ يَقُولُ كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْمَ

Dari Abdullah bin al-Harits bin Jaz’in az-Zubaidy berkata: “Pada masa Rasulullah saw kami makan roti dan daging di masjid.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Arnauth)



عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: جَاءَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، بَيْتَ فَاطِمَةَ، فَلَمْ يَجِدْ علِيًّا فِي الْبَيْتِ فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ قَالَتْ: كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ، فَغَاضَبَنِي، فَخَرَجَ، فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ فَجَاءَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ مُضْطَجِعٌ، قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ، وَأَصَابَهُ تُرَابٌ فَجَعَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبا تُرَابٍ قُمْ أَبَا تُرَابٍ

Dari Sahl bin Sa’d berkata: Rasulullah saw mendatangi Fatimah namun beliau tidak menjumpai Ali di rumah maka beliau bertanya: “Dimana Anak pamanmu?” Aisyah menjawab: “Saya dengan dia ada masalah, ia marah kepadaku lalu keluar dan tidak mengatakan apa-apa pada saya.” Maka Rasulullah saw berkata kepada seseorang: “Carilah dia”. Kemudian orang tersebut datang dan berkata: “Ya Rasulullah ia sedang duduk di masjid.” Maka Rasulullah saw mendatanginya sementara Ali dalam keadaan berbaring sementara selendangnya jatuh dari bahunya dan menimpa tanah. Rasul kemudian mengusapnya dan berkata: “Bangunlah Abu Turab! Bangunlah Abu Turab!” (H.R. Bukhari)


Di samping itu secara khusus terdapat sejumlah riwayat yang menggambarkan sejumlah aktivitas mubah yang dilakukan Rasul pada saat beliau I’tikaf.


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

Dari Aisyah r.a. ia berkata: “Nabi saw menyandarkan kepalanya kepadaku sementara (sebagian tubuh) beliau berada di masjid. Saya menyisir beliau sementara saya dalam keadaan haid.” (H.R. Bukhari)



عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا كَانَتْ تُرَجِّلُ النَّبَِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حَائِضٌ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِي الْمَسْجِدِ وَهِيَ فِي حُجْرَتِهَا يُنَاوِلُهَا رَأْسَهُ (فِي رِوَايَةِ اللَيْثِ َزَادَ) وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَة ٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفاً( وَفِيْ رِوَايَةِ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى) وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ

Dari Aisyah ia bahwa ia memangku Nabi saw sementara ia sedang haid. Nabi i’tikaf di masjid sementara ia berada di kamarnya dimana ia menggapai kepada Nabi. Dalam riwayat Laits ada tambahan bahwa beliau jika sedang i’tikaf tidak masuk ke rumah kecuali ada keperluan. (dalam riwayat Yahya bin Yahya) beliau tidak masuk kecuali untuk memenuhi kebutuhan manusia.” (HR. Bukhari)



عَنْ عَلِىُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِى اعْتِكَافِهِ فِى الْمَسْجِدِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ وَقَامَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْلِبُهَا.

Dari Ali bin Husain bahwa Shafiyyah istri Nabi saw mengiformasikan kepadanya bahwa ia telah mendatangi Rasulullah saw yang sedang I’tikaf di mesjid di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ia berbicara dengan beliau lalu berdiri dan berpaling. Nabi saw juga berdiri dan menciumnya.” (HR. Bukhari-Muslim)


Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa Rasulullah saw melakukan sejumlah aktivitas yang mubah selama melaksanakan i’tikaf seperti menyisir rambut, berjalan, mencium istrinya dan diriwayat lain dimandikan oleh Aisyah.

WaLlahu a’lam bisshawab

Menggapai Lailatul Qadr




ا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ، سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (QS al-Qadr [97]: 1-5).


Dalam mushaf, surat ini terletak pada urutan ke-97. Terdapat perbedaan pendapat mengenai status surat yang terdiri dari 5 ayat ini. Ada yang menyebutnya sebagai surat Makkiyyah, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Marduyah, Ibnu al-Zubair dan ‘Aisyah.[1] Ada juga menggolongkannya sebagai Madaniyyah. Di antaranya adalah al-Waqidi. Bahkan menurut ats-Tsa’labi, sebagian besar mufassir memasukkannya sebagai surat Madaniyyah. [2]

Tafsir ayat (al Qadr :1-5)

Allah SWT. berfirman: ‘Innâ anzalnâhu fî laylah al-qadr’ (Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan). Dalam ayat ini digunakan frasa ‘Innâ’ (Sesungguhnya Kami), bukan Innî (Sesungguhnya Aku). Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, kata tersebut tidak boleh dimaknai ‘li al-jam’i’ (untuk menunjukkan makna jamak). Sebab, hal itu mustahil ditujukan kepada Allah, Zat Yang Maha Esa. Karena itu, kata tersebut harus dimaknai sebagai ‘li at-ta’zhîm’ (untuk mengagungkan).[3]

Huruf ‘al-hâ’’ ‘dhamîr al-ghâib, (kata ganti pihak ketiga) dalam ayat ini, tidak memiliki ‘al-ism azh-zháhir’ yang menjadi rujukannya. Meskipun demikian, para mufassir sepakat bahwa dhamîr tersebut menunjuk pada al-Quran.[4]

Menurut al-Qurthubi, tidak disebutkan kata ‘al-Quran’ karena maknanya sudah maklum.

[5] Fakhruddin ar-Razi dan az-Zamakhsyari menjelaskan, ketiadaan ‘al-ism azh-zhâhir’ itu menjadi salah satu aspek yang menunjukkan keagungan al-Quran.[6]

Adapun al-Khaththabi dan Abu Hayyan al-Andalusi mengaitkannya dengan surat sebelumnya: iqra’ ‘bi[i]smi Rabbika’; sehingga seolah dikatakan: ‘Bacalah apa yang Kami turunkan kepadamu berupa firman Kami, “Innâ anzalnâhu laylah al-qadr.”..’[7]

Dalam ayat ini diberitakan bahwa al-Quran diturunkan pada malam ‘al-qadr’. Secara fakta, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. secara bertahap selama dua puluh tiga tahun; siang dan malam, dalam berbagai bulan dan keadaan.

Jika demikian, apa makna al-Quran diturunkan pada suatu malam yang disebut sebagai malam ‘al-qadr’ itu?

Setidaknya ada dua penjelasan. Pertama: turunnya al-Quran yang diberitakan dalam ayat ini adalah turunnya al-Quran secara sekaligus dari al-Lawh al-Mahfûzh ke Bayt al-‘Izzah di langit dunia. Selanjutnya, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. selama 23 tahun secara bertahap setiap saat. Penjelasan ini disampaikan Ibnu ‘Abbas; juga dipilih oleh beberapa mufassir seperti al-Alusi, al-Baghawi, asy-Syaukani, as-Samarqandi, dan yang lainnya.[8]

Kedua: turunnya al-Quran pertama kali. Ini merupakan pendapat asy-Sya’bi dan yang lainnya.[9]

Intinya, awal diturunkannya al-Quran dan diutusnya Rasulullah. saw terjadi pada malam al-qadr itu. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185).

Mengapa malam itu disebut sebagai malam al qadr?

Menurut Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan lain-lain, dinamakan al-qadr karena di dalamnya terjadi penentuan ajal, rezeki dan berbagai kejadian di dunia yang diberikan kepada malaikat untuk dikerjakan. Pendapat ini juga dipilih az-Zamakhsyari, asy-Syaukani dan al-Baghawi karena dinilai sejalan dengan QS ad-Dukhan [44]: 4.[10]

Adapun az-Zuhri memaknai ‘laylah al-qadr’ sebagai malam ‘al-‘azhamah wa asy-syaraf’ (keagungan dan kemuliaan).[11]

Pengertian ini juga sejalan dengan ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa malam tersebut lebih baik dari seribu bulan. Ada juga yang memilih kedua pendapat itu tanpa menafikan salah satunya, seperti al-Baidhawi, as-Samarqandi, as-Sa’di dan al-Zuhaili.[12]

Jika diikuti penjelasan ayat-ayat sesudahnya, kedua pendapat itu sama-sama memiliki pijakan yang kuat. Tidak harus dipilih salah satunya dan menegasikan makna lainnya.

Kemudian Allah SWT berfirman: ‘Wamâ adrâka mâ laylah al-qadr ‘(Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?). Kalimat ‘istifhâm’ ini memberikan makna tafkhîm sya’nihâ (memuliakan urusannya); seolah-olah perkara tersebut keluar dari pengetahuan makhluk; dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT. Demikian penjelasan asy-Syaukani.[13]

Tidak jauh berbeda, as-Samarqandi juga menafsirkannya sebagai ta’zhîm[an] lahâ (mengagungkan, memuliakannya).[14]

Pertanyaan itu lalu dijelaskan dalam ayat berikutnya: Laylah al-qadr khayr min alfi syahr[in] (Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan). Menurut Abu Hayyan, seribu bulan yang dimaksud adalah jumlah sebenarnya, yakni 83 tahun. Al-Hasan mengatakan, “Beramal pada malam al-qadr itu lebih utama daripada beramal pada bulan-bulan itu.”[15]

Menurut Anas, amal, sedekah, shalat dan zakat pada Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu bulan.[16]

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid, Amru bin Qays al-Malai, Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan as-Samarqandi.[17]

Bahkan menurut as-Syaukani, kesimpulan tersebut (beramal di malam itu lebih baik daripada seribu bulan, selain yang di dalamnya terdapat malam al-qadr) merupakan pendapat sebagian besar mufassirin[18] Mengenai keutamaan beramal pada malam tersebut juga ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:


مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan shalat pada Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni (HR al-Bukhir, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).


Kemudian Allah SWT menjelaskan keutamaan lain Malam al-Qadr dengan firman-Nya: Tanazzalu al-malâikah wa al-Rûh fîhâ bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan). Pada malam itu, para malaikat turun dari langit ke bumi, termasuk ar-Rûh. Menurut jumhûr al-mufassirîn, yang dimaksud ar-Rûh di sini adalah Jibril.[20]

Biasanya, itu berguna untuk menunjukkan kemuliaan dan keagungannya atas yang lain (Lihat, misalnya, QS al-Baqarah [2]: 98).

Menurut Ibnu Katsir, banyaknya malaikat yang turun karena banyaknya berkah. Malaikat turun dengan membawa berkah dan rahmat sebagaimana mereka turun ketika ada tilawah al-Quran; mereka mencari majelis zikir dan meletakkan sayapnya mengitari orang-orang yang mencari ilmu untuk memuliakannya.[21]

Dipaparkan ar-Razi, penyebutan bi idzni Rabbihim memberikan isyarat bahwa para malaikat itu tidak bertindak apa pun selain dengan izin-Nya. Adapun kata Rabbihim berguna sebagai ta’zhîm[an] li al-malâikah wa tahqîr[an] li al-‘ashâh (untuk memuliakan malaikat dan melecehkan pelaku maksiat).[22]

Menurut Qatadah dan lainnya, frasa bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan), memberikan pengertian bahwa pada malam itu diputuskan berbagai urusan; ditetapkan ajal dan rezeki. Ini sejalan dengan QS al-Dukhan (44) ayat 4.[23]

Allah SWT pun menutup ayat ini dengan firman-Nya: Salâm[un] hiya hattâ mathla’ al-fajr (Malam itu [penuh] kesejahteraan sampai terbit fajar). Dijelaskan Mujahid, bahwa keselamatan itu berarti sâlimah (selamat); setan tidak mampu berbuat kejahatan atau melakukan perbuatan yang mencelakakan.[24]

Qatadah menyatakan bahwa frasa tersebut berarti kebaikan semua, tidak ada di dalamnya keburukan hingga terbit fajar.[25]

Menurut asy-Sya’bi, saat memberikan keselamatan kepada penghuni masjid mulai dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar, malaikat melewati setiap Mukmin dan berkata, “As-Salâmu ‘alayka ayyuhâ al-Mu’min” (Semoga keselamatan atas kalian, wahai Mukmin).[26]



Keagungan al-Quran dan Lailatul Qadar


Surat ini memberitakan peristiwa turunnya al-Quran, kitab yang diturunkan kepada nabi terakhir; berisi penjelasan segala sesuatu, petunjuk serta rahmat, dan kabar gembira bagi Muslim (lihat QS al-Nahl [16]: 89). Dalam surat ini, pengagungan al-Quran tampak pada beberapa hal. Pertama: keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Kendati tidak disebutkan secara zhâhir, tidak ada perbedaan bahwa dhamîr al-ghâib ini merujuk pada al-Quran. Sebagaimana telah dipaparkan, itu menunjukkan keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Karena itu, meski tanpa disebutkan secara zhâhir, maknanya sudah sangat jelas.

Kedua: keagungan Zat yang menurunkannya. Disebutkan dalam surat ini bahwa yang menurunkan al-Quran adalah Allah SWT. Sebagai kitab yang berasal dari Zat Yang Mahabenar dan Mahaadil, kitab yang diturunkan-Nya pun demikian, shidqa[an] wa ad-la[a] (benar dan adil, lihat QS al-An’am [6]: 115). Digunakannya frasa innâ yang menunjuk kepada Allah kian menambah kemuliaan al-Quran. Sebab, frasa innâ memberikan makna li al-ta’zhîm (untuk memuliakan, mengagungkan) terhadap Zat yang menurunkan-Nya.

Ketiga
: keistimewaan waktu turunnya. Diberitakan dalam ayat ini bahwa turunnya al-Quran dipilih pada waktu yang amat mulia, yakni pada laylah al-qadr, sebuah malam yang penuh berkah (lihat QS al-Dukhan [44]: 3), yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu, para malaikat, termasuk Jibril, turun ke bumi. Ini menunjukkan betapa mulia dan pentingnya malam tersebut. Sebab, para malaikat itu tidak turun kecuali ada perkara yang besar. Rasulullah saw bersabda tentang laylah al-qadr:


إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ إنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِى الأَرْضِ أَكْثَرُ مِن عَدَدِ الْحَصَى

Sesungguhnya laylah al-qadr itu adalah malam kedua puluh tujuh atau kedua puluh sembilan. Sesungguhnya para malaikat pada malam itu di bumi lebih banyak daripada jumlah kerikil (HR Ahmad dari Abu Hurairah).


Ditegaskan pula, pada malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar. Berita tersebut seharusnya membuat manusia kian memuliakan dan mengagungkan kitab Allah SWT itu; juga benar-benar berupaya mencari dan mengisi Lailatul Qadar dengan amal shalih.

Rasulullah saw. bersabda:


تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (HR al-Bukhari).


Pada hari-hari itu, Rasulullah saw. juga senantiasa bersungguh-sungguh dalam ibadah, melebihi dua puluh malam pertama. Aisyah ra. berkata:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

Rasulullah saw. bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada malam yang lainnya (HR Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).


Pada malam itu, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk memperbanyak membaca al-Quran dan membaca doa. Sebab, doa pada waktu-waktu tersebut mustajab. Doa yang terus dibaca adalah doa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang aku katakan?” Beliau bersabda:


تَقُولِينَ : اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ ، فَاعْفُ عَنِّي

Kamu berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampum, mencintai ampunan. Karena itu, ampunilah aku.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).


Mengingat besarnya keutamaan Lailatul Qadar,sudah sepatutnya kaum Muslim berusaha keras untuk mengisi malam-malam akhir pada bulan Ramadhan dengan berbagai ibadah dan amal shalih, termasuk berdakwah dan berjuang demi tegaknya hukum dalam Kitab dan as-Sunnah. Harus diingat, kesempatan itu tidak selalu ada. Jika kini kita masih berjumpa dengan Ramadhan, belum tentu tahun depan. Betapa beruntung kita jika mendapatkan sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan atau delapan puluh tiga tahun lebih. Karunia apa lagi yang lebih besar dari itu?

Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []

Catatan kaki:

1 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, XV/533 (Kairo: Maktabah Hijr, 2003). Namun, menurut Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), Ibnu ‘Abbas memasukkannya ke dalam Madaniyyah.

2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964); Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633 (tt: Dar al-Wafa’, tt).

3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).

4 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504; al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327 (Beirut: Dar Ihyâ’ at-Turats, tt); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/441 (Riyad: Dar Thayyibah, 1999); al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383 (Beirut: Dar Ihya’ Ihya’ Turats al-‘Arabi, 1990); asy-Syaukani,Fath al-Qadîr, V/633.

5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,XX/129.

6 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407 (Riyad: Maktabah Abikan, 1998).

7 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/411 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995).

8 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/412; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah Al-Muharrar al-Wajîz, V/504; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993).

9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407

10 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.

11 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/415; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492.

12 Al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân (tt: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 931; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, XXX/332 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).

13 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.

14 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.

15 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/493.

16 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, XV/534.

17 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, XXXIV/534 (Madinah: Muassasah al-Risalah, 200); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.

18 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr,V/633.

19 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/417; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634. Pendapat tersebut juga dipilih ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 34; as-Suyuthi,al-Durr al-Mantsûr, XV/538; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/408; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/443.

21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

22 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/35.

23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

25 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

26 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.