Friday, May 30, 2008

PeRs ReLeaSe: AkSi UmMat ToLak KenAikaN BBM

بسم الله الرحمن الرحيم

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

KANTOR JURUBICARA
HIZBUT TAHRIR INDONESIA

Nomor : 134/PU/E/05/08 Jakarta, 30 Mei 2008 M

PERNYATAAN
HIZBUT TAHRIR INDONESIA

“Aksi Ummat Tolak Kenaikan BBM”

Hari Jumat 22 Mei 2008 lalu akhirnya pemerintah benar-benar menaikkan harga BBM. Pemerintah telah jelas-jelas mengabaikan keberatan rakyat dan sama sekali tidak memperhatikan sederet solusi alternatif yang diberikan oleh para ahli ekonomi untuk menghindari kenaikan BBM.

Bila disebut bahwa keputusan ini demi rakyat, faktanya justru dengan kenaikan BBM hidup rakyat semakin susah. Harga barang dan jasa pasti akan naik, membuat jumlah orang miskin bertambah dan kemungkinan, bila PHK terjadi, pengangguran juga akan berlipat-lipat. Bantuan Tunai Langsung (BLT) plus sembako yang akan dibagikan kepada 19,1 juta rakyat miskin tidaklah mencukupi karena selain jumlahnya kurang, juga sifatnya hanya sementara. Lagi pula itu hanya untuk 19 juta rakyat, sementara puluhan juta rakyat lainnya yang tidak masuk kategori miskin (menurut ukuran pemerintah), tidak mendapatkan apa-apa padahal mereka juga bukanlah kategori orang kaya. Mereka ini, juga terkena dampak kenaikan BBM.

Bila dikatakan bahwa kenaikan BBM diperlukan untuk mempertahankan APBN, mengapa sejumlah solusi alternatif yang diberikan oleh para ahli diabaikan begitu saja? Tidak terlihat satupun dari alternatif itu dilakukan oleh pemerintah. Dalam iklan sehalaman penuh di semua media cetak, disebutkan bahwa pemerintah sudah melakukan penghematan Rp 30 triliun dari anggaran departemen. Bila benar begitu, mengapa BBM masih dinaikkan? Bukankah dengan kenaikan rata-rata 28,7% pemerintah hanya menghemat Rp 25 triliun? Jadi, untuk siapa sebenarnya kenaikan BBM ini dilakukan oleh pemerintah?

Berkaitan dengan keputusan pemerintah menaikkan harga BMM, HizbutTahrir Indonesia menyatakan:

  1. Menolak keputusan pemerintah itu karena kenaikan harga BBM akan menambah kesengsaraan rakyat, dan bukan cara yang sahih untuk mengatasi krisis keuangan negara. Pemerintah adalah pemimpin yang mengurus kepentingan rakyat, yang seharusnya mewujudkan kemaslahatan rakyat, bukan malah membuat mereka menderita! Rasulullah Muhammad yang mulia bersabda,

وَاْلإِِمَامُ الَّذِيْ عَلىَ النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Dan imam yang memimpin manusia adalah laksana seorang penggembala, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya” (HR.Muslim).

  1. Bahwa kenaikan harga BBM tidak lain adalah jalan yang dipaksakan oleh pemerintah untuk keberhasilan liberalisasi sektor hilir migas sebagaimana ditegaskan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro.

‘Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, Kompas, 14 Mei 2003).

Oleh karena itu, Hizbut Tahrir Indonesia menolak liberalisasi sektor migas ini karena pasti hanya akan menguntungkan perusahaan migas asing dan sebaliknya akan sangat merugikan rakyat Indonesia yang hakikatnya adalah pemilik dari migas tersebut. Maka, cara-cara seperti itu dalam pengelolaan SDA harus ditinggalkan.

  1. Akhirnya, Hizbut Tahrir Indonesia mengingatkan seluruh rakyat Indonesia, bahwa sesungguhnya negeri ini tidaklah akan bisa keluar dari krisis yang ada kecuali bila di negeri ini diterapkan syariat Islam secara kaffah. Dengan syariah itulah kita mengatur ekonomi dan aspek lain sedemikian sehingga keadilan, kesejahteraan, dan kedamaian serta kemuliaan rakyat bisa dicapai. Oleh karena itu, harus ada gerakan bersama untuk kembali kepada syariah Islam.

Maka bersama ini kami mengajak untuk bergabung bersama dengan sejuta ummat dari berbagai elemen pada Aksi Ummat Tolak Kenaikan BBM. Ahad, 1 Juni Jam 13.00 di depan Istana Negara Jakarta. Mari kita tunjukkan penolakan, kekecewaan, dan ketidakpercayaan kita. Tunjukkan pula keinginan kita untuk perubahan bagi tegaknya syariah dan kepemimpinan yang amanah di negeri ini. Tentu demi Indonesia yang lebih baik.

Terakhir, ingatlah pada sabda nabi “Ya Allah, siapa saja yang menjadi pengatur urusan umatku kemudian ia memberatkan mereka, maka beratkanlah ia” (HR. Muslim)

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net

Gedung Anakida Lantai 7
Jl. Prof. Soepomo Nomer 27, Jakarta Selatan 12790
Telp / Fax : (62-21) 8353253 Fax. (62-21) 8353254
Website : http: www.hizbut-tahrir.or.id

SaMueL'S cLaSh Of CiViLiZaTiOn







PDF Print E-mail
THE CLASH

Wednesday, 09 January 2008
New York Times

By FOUAD AJAMI
Published: January 6, 2008

It would have been unlike Samuel P. Huntington to say “I told you so” after 9/11. He is too austere and serious a man, with a legendary career as arguably the most influential and original political scientist of the last half century — always swimming against the current of prevailing opinion.

In the 1990s, first in an article in the magazine Foreign Affairs, then in a book published in 1996 under the title “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order,” he had come forth with a thesis that ran counter to the zeitgeist of the era and its euphoria about globalization and a “borderless” world. After the cold war, he wrote, there would be a “clash of civilizations.” Soil and blood and cultural loyalties would claim, and define, the world of states.

Huntington’s cartography was drawn with a sharp pencil. It was “The West and the Rest”: the West standing alone, and eight civilizations dividing the rest — Latin American, African, Islamic, Sinic, Hindu, Orthodox, Buddhist and Japanese. And in this post-cold-war world, Islamic civilization would re-emerge as a nemesis to the West. Huntington put the matter in stark terms: “The relations between Islam and Christianity, both Orthodox and Western, have often been stormy. Each has been the other’s Other. The 20th-century conflict between liberal democracy and Marxist-Leninism is only a fleeting and superficial historical phenomenon compared to the continuing and deeply conflictual relation between Islam and Christianity.”

Those 19 young Arabs who struck America on 9/11 were to give Huntington more of history’s compliance than he could ever have imagined. He had written of a “youth bulge” unsettling Muslim societies, and young Arabs and Muslims were now the shock-troops of a new radicalism. Their rise had overwhelmed the order in their homelands and had spilled into non-Muslim societies along the borders between Muslims and other peoples. Islam had grown assertive and belligerent; the ideologies of Westernization that had dominated the histories of Turkey, Iran and the Arab world, as well as South Asia, had faded; “indigenization” had become the order of the day in societies whose nationalisms once sought to emulate the ways of the West.

Rather than Westernizing their societies, Islamic lands had developed a powerful consensus in favor of Islamizing modernity. There was no “universal civilization,” Huntington had observed; this was only the pretense of what he called “Davos culture,” consisting of a thin layer of technocrats and academics and businessmen who gather annually at that watering hole of the global elite in Switzerland.

In Huntington’s unsparing view, culture is underpinned and defined by power. The West had once been pre-eminent and militarily dominant, and the first generation of third-world nationalists had sought to fashion their world in the image of the West. But Western dominion had cracked, Huntington said. Demography best told the story: where more than 40 percent of the world population was “under the political control” of Western civilization in the year 1900, that share had declined to about 15 percent in 1990, and is set to come down to 10 percent by the year 2025. Conversely, Islam’s share had risen from 4 percent in 1900 to 13 percent in 1990, and could be as high as 19 percent by 2025.

It is not pretty at the frontiers between societies with dwindling populations — Western Europe being one example, Russia another — and those with young people making claims on the world. Huntington saw this gathering storm. Those young people of the densely populated North African states who have been risking all for a journey across the Strait of Gibraltar walk right out of his pages.

Shortly after the appearance of the article that seeded the book, Foreign Affairs magazine called upon a group of writers to respond to Huntington’s thesis. I was assigned the lead critique. I wrote my response with appreciation, but I wagered on modernization, on the system the West had put in place. “The things and ways that the West took to ‘the rest,’” I wrote, “have become the ways of the world. The secular idea, the state system and the balance of power, pop culture jumping tariff walls and barriers, the state as an instrument of welfare, all these have been internalized in the remotest places. We have stirred up the very storms into which we now ride.” I had questioned Huntington’s suggestion that civilizations could be found “whole and intact, watertight under an eternal sky.” Furrows, I observed, run across civilizations, and the modernist consensus would hold in places like India, Egypt and Turkey.

Huntington had written that the Turks — rejecting Mecca, and rejected by Brussels — would head toward Tashkent, choosing a pan-Turkic world. My faith was invested in the official Westernizing creed of Kemalism that Mustafa Kemal Ataturk had bequeathed his country. “What, however, if Turkey redefined itself?” Huntington asked. “At some point, Turkey could be ready to give up its frustrating and humiliating role as a beggar pleading for membership in the West and to resume its much more impressive and elevated historical role as the principal Islamic interlocutor and antagonist of the West.”

Nearly 15 years on, Huntington’s thesis about a civilizational clash seems more compelling to me than the critique I provided at that time. In recent years, for example, the edifice of Kemalism has come under assault, and Turkey has now elected an Islamist to the presidency in open defiance of the military-bureaucratic elite. There has come that “redefinition” that Huntington prophesied. To be sure, the verdict may not be quite as straightforward as he foresaw. The Islamists have prevailed, but their desired destination, or so they tell us, is still Brussels: in that European shelter, the Islamists shrewdly hope they can find protection against the power of the military.

“I’ll teach you differences,” Kent says to Lear’s servant. And Huntington had the integrity and the foresight to see the falseness of a borderless world, a world without differences. (He is one of two great intellectual figures who peered into the heart of things and were not taken in by globalism’s conceit, Bernard Lewis being the other.)

I still harbor doubts about whether the radical Islamists knocking at the gates of Europe, or assaulting it from within, are the bearers of a whole civilization. They flee the burning grounds of Islam, but carry the fire with them. They are “nowhere men,” children of the frontier between Islam and the West, belonging to neither. If anything, they are a testament to the failure of modern Islam to provide for its own and to hold the fidelities of the young.

More ominously perhaps, there ran through Huntington’s pages an anxiety about the will and the coherence of the West — openly stated at times, made by allusions throughout. The ramparts of the West are not carefully monitored and defended, Huntington feared. Islam will remain Islam, he worried, but it is “dubious” whether the West will remain true to itself and its mission. Clearly, commerce has not delivered us out of history’s passions, the World Wide Web has not cast aside blood and kin and faith. It is no fault of Samuel Huntington’s that we have not heeded his darker, and possibly truer, vision.


Fouad Ajami is a professor of Middle Eastern studies at the School of Advanced International Studies, Johns Hopkins University, and the author, most recently, of “The Foreigner’s Gift.”

Thursday, May 29, 2008

AkSi UmMat ToLak KeNaiKan BBM

INI NEGERI PENUH IRONI...
Kaya sumber daya alam dan energi,tapi penuh dengan rakyat miskin dan hidup tanpa pekerjaan.
Melambungnya harga minyak dunia mestinya memberi berkah,tapi malah membawa bencana.

INI NEGERI PENUH IRONI...
Mengakui bahwa kemerdekaan diperoleh atas berkat rahmat Allah SWT,tapi hukum Allah diabaikan bahkan dicampakkan.
Sekulerisme malah dibela dan ditegakkan.
Liberalisme di segala sektor,termasuk sektor migas,makin menjadi-jadi.




"
Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpatisipasi dalam bisnis eceran migas..Namun,liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah.Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi,pemain asing enggan masuk"
(Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral(ESDM)Purnomo Yusgiantoro,Kompas-14 Mei 2008)



Menindaklanjuti ketidakadilan alias kezaliman pemerintah RI,HTI AKAN ADAKAN AKSI BERSAMA UMAT TOLAK KENAIKAN BBM SERENTAK DI SELURUH INDONESIA PADA TANGGAL 1 JUNI 2008



Sunday, May 25, 2008

ToLaK KeNaiKaN BBM 2008

بسم الله الرحمن الرحيم

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

PERNYATAAN
HIZBUT TAHRIR INDONESIA

MENOLAK KENAIKAN BBM 2008

Akhirnya pemerintah resmi mengumumkan kenaikan BBM, Jum’at (23/05/2008), jam 22:15 WIB, yang disampaikan oleh Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro, dengan didampingi sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu.

Karena itu, Hizbut Tahrir Indonesia dengan tegas menyatakan:

  1. Menolak keputusan pemerintah menaikkan harga BBM. Karena ini kebijakan yang dzalim dan akan semakin menyengsarakan rakyat. Sebab kenaikan itu terbukti telah memicu naiknya harga barang dan jasa, yang artinya menambah kesengsaraan rakyat yang selama krisis memang sudah semakin menderita. Dana kompensasi berupa BLT plus yang akan diberikan tidaklah bakal mencukupi untuk mengganti penderitaan rakyat banyak akibat kenaikan BBM itu.
  2. Cara yang ditempuh pemerintah bukanlah cara yang tepat. Banyak langkah yang disarankan para pakar tetapi tidak didengar. Keputusan pemerintah lebih pada upaya liberalisasi minyak dimana asing hendak menguasai sektor hilir setelah selama ini menguasai 90% sektor hulu.
  3. Menyerukan nasionalisasi sektor energi, termasuk Migas.
  4. Kenaikan BBM, kelangkaan sembako dan kesulitan hidup yang dialami oleh rakyat saat ini adalah dampak diterapkannya Kapitalisme Sekular, baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Maka, sudah saatnya, sistem Kapitalisme Sekular yang selama ini mencengkeram Indonesia dan menimbulkan kesengsaraan rakyat banyak harus segera ditinggalkan. Gantinya adalah Islam.
  5. Menyerukan kepada rakyat untuk tidak mempercayai penguasa yang zhalim.
  6. Akhirnya, Hizbut Tahrir Indonesia mengingatkan seluruh rakyat Indonesia, termasuk para pejabat dan para wakil rakyat, bahwa sesungguhnya negeri ini tidaklah akan bisa keluar dari krisis yang membelenggu dan tidak akan mampu membebaskan diri dari segala kelemahan kecuali bila di negeri ini diterapkan syariat Islam secara kaffah. Jika tidak, selamanya negeri ini akan terus didera kesulitan demi kesulitan serta tetap dikuasai oleh penguasa yang zhalim.

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto

Hp: 0811119796
Email: ismaily@telkom.net

Gedung Anakida Lt. 7
Jl. Prof. Soepomo No. 27, Jakarta Selatan - 12790
Telp / Fax : (62-21) 8312111
Website : http//:www.hizbut-tahrir.or.id


Friday, May 23, 2008

The only solution for Palestine is to liberate it with the Khilafah

The 60th Anniversary of the nakba (catastrophe) took place last week where the western world joined hands with the terrorist, apartheid, Zionist state of Israel to celebrate its 60th birthday.


60 years have elapsed since the Muslim Ummah mourned this catastrophe of a dagger being plunged into the heart of its body.

60 years have elapsed since the State of Israel, an illegitimate and foreign entity was transplanted into the heart of the land of Israa wal miraj.

We have witnessed 60 years of mass expulsions, expropriation of land and brutality on a grand scale.

Oh Muslims!

To finally resolve the situation of Palestine there is only one course of action. We must remove the brutal occupation, and return to a pre-1917 situation where Palestine is solely under the authority of the Islamic Khilafah.

The solution to Palestine is not to make deals, seek compromises or return to post 1967 borders.

The solution to Palestine is not to call for a Palestinian State or seek arbitration from the United States or the Quartet.

Allah تعالى says:

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ عَدُوِّى وَعَدُوَّكُمۡ أَوۡلِيَآءَ

“You who believe, do not take My enemies and yours as allies.”
[TMQ Al-Mumtahanah: 1]

He تعالى says:

وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُ ۥ مِنۡہُمۡ‌ۗ

“Anyone who takes them as an ally becomes one of them.”
[TMQ Al-Ma’idah: 51]

Allah تعالى demands the return of all occupied land to the authority of Islam and Muslims. There can be no compromise on this hukm despite the immense pressures from the enemies of Islam.

Oh Muslims!

The nasr (victory) is from Allah تعالى alone. We must understand that before Allah تعالى grants us victory, He تعالى will test us and there may be periods of immense hardship before victory is finally granted. Our response to these tests and hardships is to have sabr (perseverance) and not deviate from the straight path.

Allah تعالى says:

أَمۡ حَسِبۡتُمۡ أَن تَدۡخُلُواْ ٱلۡجَنَّةَ وَلَمَّا يَأۡتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوۡاْ مِن قَبۡلِكُم‌ۖ مَّسَّتۡہُمُ ٱلۡبَأۡسَآءُ وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلۡزِلُواْ حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُ ۥ مَتَىٰ نَصۡرُ ٱللَّهِ‌ۗ أَلَآ إِنَّ نَصۡرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ۬

“Do you suppose that you will enter the Garden without first having suffered like those before you? They were afflicted by misfortune and hardship, and they were so shaken that even [their] messenger and the believers with him cried, ‘When will Allah’s help arrive?’ Truly, Allah’s help is near.”
[TMQ Al-Baqarah:214]

Oh Muslims!

In pursuit of the victory of Allah تعالى we must not seek appeasement with the dominant international opinion, or use language that obscures the hukm of Allah تعالى in this matter.

Allah تعالى says:

لَتُبۡلَوُنَّ فِىٓ أَمۡوَٲلِڪُمۡ وَأَنفُسِڪُمۡ وَلَتَسۡمَعُنَّ مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَـٰبَ مِن قَبۡلِڪُمۡ وَمِنَ ٱلَّذِينَ أَشۡرَكُوٓاْ أَذً۬ى كَثِيرً۬ا‌ۚ وَإِن تَصۡبِرُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ذَٲلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ

“You are sure to be tested through your possessions and persons; you are sure to hear much that is hurtful from those who were given the Scripture before you and from those who associate others with Allah. If you are steadfast and mindful of Allah, that is the best course.”
[TMQ Al-Imraan:186]

The land of Palestine is the land of Islam and the rightful owners are Muslims. The occupiers of Palestine must be expelled and banished from the land, because they are occupiers and Islam forbids occupiers to inhabit the lands of Islam.

Palestine will remain Muslim Land until the Day of Judgment. Its liberation will not be at the hands of the shameful Arab rulers who sign treaty after treaty, each time capitulating more and more to the demands of the Israeli’s.

Oh Muslims!

We call upon you, to work for the re-establishment of the Khilafah that will remove these shameless rulers and unify Muslim land and her resources to liberate Palestine.

Allah تعالى says:

لَّا يَنۡهَٮٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَـٰتِلُوكُمۡ فِى ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَـٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡہِمۡ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ
إِنَّمَا يَنۡہَٮٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَـٰتَلُوكُمۡ فِى ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوڪُم مِّن دِيَـٰرِكُمۡ وَظَـٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡ‌ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ


“Allah does not forbid you to deal kindly and justly with anyone who has not fought you for your faith or driven you out of your homes: Allah loves the just. But Allah forbids you to take as allies those who have fought against you for your faith, driven you out of your homes, and helped others to drive you out: any of you who take them as allies will truly be wrongdoers.”
[TMQ Al-Mumtahanah: 8-9]

The natural situation of Palestine is under the authority of the Khilafah with Bait ul-Maqdis (Jerusalem) as its capital.

The Messenger of Allah صلى الله عليه وآله وسلم said: “This matter (Khilafah) will continue after me in Al-Madina, then (move to) Al-Shaam, then to the peninsula, then to Iraq, then to the city (Constantinople), then to Bait-ul-Maqdis. So if it reaches Bait-ul-Maqdis, then it would have reached its (natural resting place); and no people who remove it (i.e. the capital of the Khilafah) from their land will ever get it back again (for them to be the capital again).” [Narrated by Ibn ‘Asaakir, from Maseerah b. Jaleese]

Every city mentioned in the hadith has been the capital of the Khilafah at one time or other except Bait ul-Maqdis. Constantinople (Istanbul) was the last capital of the Khilafah and the next capital for the future Khilafah when it liberates Palestine inshAllah will be Bait ul-Maqdis.







































































Thursday, May 22, 2008

MoMenTuM kEbaNgKiTaN yAnG mEmALUkAn

Di berbagai media, di tengah kesulitan hidup yang kian melilit rakyat, di tengah kemiskinan yang kian menjadi, di tengah keputus-asaan rakyat banyak yang kian membuncah, di tengah himpitan kemelaratan, di tengah pesta korupsi dan mark-up anggaran negara (baca: uang rakyat) yang dilakukan para pejabat negara, memasuki bulan Mei 2008 bangsa ini dicekoki dengan ‘Momentum 1 Abad Kebangkitan Nasional’. Hal ini tentunya dikaitkan dengan berdirinya organisasi Boedhi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908.

Jika salah satu syair dari Taufiq Ismail berjudul “Malu Aku Jadi Orang Indonesia’, maka sekarang ini judul syair tersebut bertambah relevan. Betapa memalukannya sebuah bangsa yang katanya besar ternyata masih saja salah menetapkan tonggak kebangkitannya sendiri. Dan parahnya, hal ini ternyata didukung oleh tokoh-tokoh dan partai Islam yang seharusnya menjadi agen pencerahan bangsa.

Misal salah satunya, sebuah partai politik Islam besar akhir April lalu memasang sebuah iklan hitam putih seperempat halaman di sebuah harian ternama nasional. Dalam iklan tersebut, partai ini dengan tanpa malu memuat ‘Momentum 1 Abad Kebangkitan Nasional: Harapan Itu Masih Ada”. Disadari atau tidak, iklan ini telah ikut meracuni pemikiran generasi muda bangsa dengan ikut-ikutan latah menyiarkan kedustaan dan kesalahan yang fatal. Padahal partai ini kebanyakan diisi oleh orang-orang muda yang katanya intelek. Namun kenyataan yang terjadi sungguh memalukan!

Sayyid Quthb di dalam “Tafsir Baru Atas Realitas” (1996) menyatakan orang-orang yang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan yang cukup adalah sama dengan orang-orang jahiliyah, walau orang itu mungkin seorang ustadz bahkan profesor. Jangan sampai kita “Fa Innahu Minhum” (kita menjadi golongan mereka) terhadap kejahiliyahan.

Situs eramuslim.com sekurangnya sudah tiga kali memuat tentang organisasi Boedhi Oetomo (BO) dan memaparkan bahwa organisasi ini sama sekali tidak berhak dijadikan tongak kebangkitan nasional karena BO sama sekali tidak pernah mencita-citakan kemerdekaan, pro-penjajahan yang dilakukan Belanda, dan banyak tokohnya anggota aktif Freemasonry yang merupakan organisasi pendahulu dari Zionisme. Seharusnya, tonggak kebangkitan nasional disematkan pada momentum berdirinya organisasi Syarikat Dagang Islam (SDI) yang kemudian berubah menjadi Syarikat Islam (SI) pada tahun 1905, tiga tahun sebelum BO.

Sebab itu, agar kita lagi-lagi tidak salah menganggap tahun 2008 ini sebagai Momentum 1 Abad Kebangkitan Nasional, maka Kami lagi-lagi menurunkan artikel terkait hal tersebut, agar kebenaran tetaplah kebenaran, dan sama sekali tidak akan goyah walau dengan alasan politis sekali pun. Sejarah adalah History, bukan His-Story!

Penghinaan Terhadap Perjuangan Umat Islam

Dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam. Karena organisasi Syarikat Islam (SI) yang lahir terlebih dahulu dari Boedhi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, tidak dijadikan tonggak kebangkitan nasional.

Mengapa BO yang terang-terangan antek penjajah Belanda, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, a-nasionalis, tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, dan anti-agama malah dianggap sebagai tonggak kebangkitan bangsa? Ini jelas kesalahan fatal.

Akhir Februari 2003, sebuah amplop besar pagi-pagi telah tergeletak di atas meja kerja penulis. Pengirimnya KH. Firdaus AN, mantan Ketua Majelis Syuro Syarikat Islam kelahiran Maninjau tahun 1924. Di dalam amplop coklat itu, tersembul sebuah buku berjudul “Syarikat Islam Bukan Budi Utomo: Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa” karya si pengirim. Di halaman pertama, KH. Firdaus AN menulis: “Hadiah kenang-kenangan untuk Ananda Rizki Ridyasmara dari Penulis, Semoga Bermanfaat!” Di bawah tanda tangan beliau tercantum tanggal 20. 2. 2003.

KH. Firdaus AN telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Namun pertemuan-pertemuan dengan beliau, berbagai diskusi dan obrolan ringan antara penulis dengan beliau, masih terbayang jelas seolah baru kemarin terjadi. Selain topik pengkhianatan the founding-fathers bangsa ini yang berakibat dihilangkannya tujuh buah kata dalam Mukadimmah UUD 1945, topik diskusi lainnya yang sangat konsern beliau bahas adalah tentang Boedhi Oetomo.

“BO tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. BO adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, di mana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya, ” tegas KH. Firdaus AN.

BO didirikan di Jakarta tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa para mahasiswa kedokteran STOVIA, Soetomo dan kawan-kawan. Perkumpulan ini dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. BO pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Di dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, BO menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekali pun rapat BO membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri, dan menjelek-jelekkan Islam yang dianggapnya sebagai batu sandungan bagi upaya mereka, ” papar KH. Firdaus AN.

Di dalam Pasal 2 Anggaran Dasar BO tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. ” Inilah tujuan BO, bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan.

Noto Soeroto, salah seorang tokoh BO, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereniging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya… Sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan. ”

Sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik BO di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (M. S) Al-Lisan nomor 24, 1938.

Karena sifatnya yang tunduk pada pemerintahan kolonial Belanda, maka tidak ada satu pun anggota BO yang ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Arah perjuangan BO yang sama sekali tidak berasas kebangsaan, melainkan chauvinisme sempit sebatas memperjuangkan Jawa dan Madura saja telah mengecewakan dua tokoh besar BO sendiri, yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya hengkang dari BO.

Bukan itu saja, di belakang BO pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama BO yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895.

Sekretaris BO (1916), Boediardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boediardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku “Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962” (Dr. Th. Stevens), sebuah buku yang dicetak terbatas dan hanya diperuntukan bagi anggota Mason Indonesia.

Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo Kecewa dengan BO

Karena BO tidak pernah membahas kebangsaan dan nasionalisme, mendukung penjajahan Belanda atas Indonesia, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya ternyata anggota Freemasonry. Ini semua mengecewakan dua pendiri BO sendiri yakni Dr. Soetomo dan Dr. Cipto Mangunkusumo, sehingga keduanya akhirnya hengkang dari BO.

Tiga tahun sebelum BO dibentuk, Haji Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan Syarikat Islam (SI, awalnya Syarikat Dagang Islam, SDI) di Solo pada tanggal 16 Oktober 1905. “Ini merupakan organisasi Islam yang terpanjang dan tertua umurnya dari semua organisasi massa di tanah air Indonesia, ” tulis KH. Firdaus AN.

Berbeda dengan BO yang hanya memperjuangkan nasib orang Jawa dan Madura—juga hanya menerima keanggotaan orang Jawa dan Madura, sehingga para pengurusnya pun hanya terdiri dari orang-orang Jawa dan Madura—sifat SI lebih nasionalis. Keanggotaan SI terbuka bagi semua rakyat Indonesia yang mayoritas Islam. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku seperti: Haji Samanhudi dan HOS. Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku.

Guna mengetahui perbandingan antara kedua organisasi tersebut—SI dan BO—maka di bawah ini dipaparkan perbandingan antara keduanya:

Tujuan:

- SI bertujuan Islam Raya dan Indonesia Raya,

- BO bertujuan menggalang kerjasama guna memajukan Jawa-Madura (Anggaran Dasar BO Pasal 2).

Sifat:

- SI bersifat nasional untuk seluruh bangsa Indonesia,

- BO besifat kesukuan yang sempit, terbatas hanya Jawa-Madura,

Bahasa:

- SI berbahasa Indonesia, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Indonesia,

- BO berbahasa Belanda, anggaran dasarnya ditulis dalam bahasa Belanda

Sikap Terhadap Belanda:

- SI bersikap non-koperatif dan anti terhadap penjajahan kolonial Belanda,

- BO bersikap menggalang kerjasama dengan penjajah Belanda karena sebagian besar tokoh-tokohnya terdiri dari kaum priyayi pegawai pemerintah kolonial Belanda,

Sikap Terhadap Agama:

- SI membela Islam dan memperjuangkan kebenarannya,

- BO bersikap anti Islam dan anti Arab (dibenarkna oleh sejarawan Hamid Algadrie dan Dr. Radjiman)

Perjuangan Kemerdekaan:

- SI memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mengantar bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan,

- BO tidak pernah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan telah membubarkan diri tahun 1935, sebab itu tidak mengantarkan bangsa ini melewati pintu gerbang kemerdekaan,

Korban Perjuangan:

- Anggota SI berdesak-desakan masuk penjara, ditembak mati oleh Belanda, dan banyak anggotanya yang dibuang ke Digul, Irian Barat,

- Anggota BO tidak ada satu pun yang masuk penjara, apalagi ditembak dan dibuang ke Digul,

Kerakyatan:

- SI bersifat kerakyatan dan kebangsaan,

- BO bersifat feodal dan keningratan,

Melawan Arus:

- SI berjuang melawan arus penjajahan,

- BO menurutkan kemauan arus penjajahan,

Kelahiran:

- SI (SDI) lahir 3 tahun sebelum BO yakni 16 Oktober 1905,

- BO baru lahir pada 20 Mei 1908,

Seharusnya 16 Oktober

Hari Kebangkitan Nasional yang sejak tahun 1948 kadung diperingati setiap tanggal 20 Mei sepanjang tahun, seharusnya dihapus dan digantikan dengan tanggal 16 Oktober, hari berdirinya Syarikat Islam. Hari Kebangkitan Nasional Indonesia seharusnya diperingati tiap tanggal 16 Oktober, bukan 20 Mei. Tidak ada alasan apa pun yang masuk akal dan logis untuk menolak hal ini.

Jika kesalahan tersebut masih saja dilakukan, bahkan dilestarikan, maka saya khawatir bahwa jangan-jangan kesalahan tersebut disengaja. Saya juga khawatir, jangan-jangan kesengajaan tersebut dilakukan oleh para pejabat bangsa ini yang sesungguhnya anti Islam dan a-historis.

Jika keledai saja tidak terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali, maka sebagai bangsa yang besar, bangsa Indonesia seharusnya mulai hari ini juga menghapus tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, dan melingkari besar-besar tanggal 16 Oktober dengan spidol merah dengan catatan “Hari Kebangkitan Nasional”. (Rizki Ridyasmara: Eramuslim ; Jumat, 2 Mei 08)

Friday, May 16, 2008

MaNtAN KyAi?

Seperti biasa jika malam ahad datang,jalan Tambak Raga desikit ramai dengan cangkruk suroboyan.Ya ngomong ngalor-ngidul mengomentari apa saja yang layak dikomentari.Mulai dari antrian minyak tanah,naiknya BBM,mahalnya harga kedelai,poligami,poliandri,dekadensi moral,pejabat korup,de el el.Namanya saja cangkrukan.Ya sekenanya.

Tapi malam itu lain dari pada yang lain.Pembicaraan sedikit agak fokus.Yaitu membicarakan 'mantan kyai'.
'Mantan kyai itu jelek!',kata Bonjor,membuka pembicaraannya.Segera si Yhoyho menimpalinya,'Kalau mantan bajingan,bagaimana Njor?'
Bonjor menjawab,'lebih baik mantan bajingan daripada mantan kyai.lihat itu Anton Medan,mantan bajingan,yang sekarang jadi kyai.Tapi bagaimana mantan kyai yang sekarang dipenjara karena ikut main Gold Coin,Gold Qois,dan arisan pyo-pyo'an,atau oknum kyai yang suka menipu sana sini.'
Mbah Ri menyergah,'Wah,kamu jangan mendiskreditkan begitu Njor.Ya mau jadi mantan apa saja.Kita ini kan cuma penonton,wong cilik.Tak berpengaruh apa-apa.Taruhlah lidahmu sampai berbusa saat ini berdebat.Mereka takkan mendengarkan masukan kalian.Iya,kan?'.
'Tidak begitu,mbah Ri.Memang sudah saatnya kita harus berani meluruskan yang bengkok.Begini lho,mbok yhao,kyai itu ngurusi masalah umat sajalah.Mereka kan guru bangsa.Masak masih butuh jabatan,kekayaan dan kekuasaan.Menurut Bonjor yang saya tangkap mengarah ke sana pembicaraan ini.Dia muak dengan polah tingkah para kyai.Termasuk sebagian umat islam yang menambah keruwetan bangsa ini.Gitu kan,Njor?'.
Nimbrunglah Mo,seraya berkata,'Semua itu sudah menjadi takdir bangsa kita.Memang harus begini.Berapa lama Allah menghendaki jadi baik bangsa ini.Pun pula usaha apa yang mampu dilakukan manusia,jika Allah belum menghendaki menjadi baik.'
'Wah,kamu datang-datang malah ngaco,Mo!',timpal Bonjor.
'Kita semua ini sekali pun dalam saluran yang tidak resmi;saya yakin,Allah pasti melihat apa yang kita lakukan dan kita diskusikan saat ini.Bagaimana pun sebagai orang miskin,mustajab lho doa kita.Kita ini kaum teritndas.Bagaimana tidak?Harus ngantri minyak tanah.Rumah ngontrak.Pekerjaan tidak tetap.Pendapatan dibawah standar upah mimimum.Iya kan?'imbuh Bonjor.
'Sebenarnya yang membela kita ini harusnya para kyai-kyai itu.Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya dulu kan begitu lho.Beliau sangat sabar mendampingi kaum miskin dan tertindas.Kok sekarang orang yang telah berani mangaku ulama pewaris nabi SAW malah mendampingi orang-orang kaya,orang-orang borjuis,selebritis.Malah akhir-akhir ini saya baca di baleho,ada oknum kyai mendampingi oknum pejabat.Karena pingin menjadi wakil gubernur.Tidak hanya itu,ada juga yang memasang nama dengan 'gus'.Tapi yang didampingi kok bukan orang miskin atau kaum tertindas.Bagaimana ini?',tanya Mbah Ri,seraya berusaha menyuguhkan bukti aktual di Surabaya.
'Iya..iya..kok begitu ya?'semua yang hadir di majelis cangkrukan itu menjadi terdiam.
Di tengah keheningan itulah datang Dzajul yang sejak awal telah memperhatikan pembicaraan bonjor cs.Dengan suara keras,Dzajul berkata,'itulah tanda bila hari kiamat semakin dekat.Dan kehancuran akan datang silih berganti.Percaya atau tidak,pokoknya saya percaya,ok!'.
Bersamaan diucapkannya kata 'OK' dari dzajul,halilintar di angkasa raya mengguntur dengan keras,disertai dengan turunnya hujan.Buyarlah sampai disitu diskusi yang tak berujung pangkal solusi tersebut.

Jika kita menggunakan teori gunung es,maka yang berada dibawah permukaan laut jauh lebih besar lagi.Betapa bahayanya,jika semua orang dinegeri ini berpendapat bahwa semua penyebab malapetaka dan musibah,karena terpilihnya si fulan dan si fulan.Maka,saat itu juga masyarakat tidak percaya lagi pada pemimpinnya.Disebabkan masyarakat terlalu lama dibohongi secara struktural dan sistemik oleh pemerintahan sekuler kapitalis negeri ini mulai dari pusat hingga daerah.
Minimal ini masukan buat para mubaligh,kyai,ustadz,khotib,dan da'i.Jangan sampai mereka menjadi mantan kyai ketika menjadi politikus.Dan jika mereka telah membulatkan tekad untuk berani menjadi kyai,harus benar-benar menjadi pewaris para nabi yang diinginkan Allah dan islam.Beragama dan berpolitiklah sbagaimana yang diajarkan oleh islam,baginda rasulullah dan para sahabat serta para khulafa salaf terdahulu.Tugas utama politikus muslim kapanpun adalah memikirkan dan mangatur urusan dan kepentingan hidup umat ini dengan aturan yang unik dan khas dari Allah i.e.islam sebagimana disyariatkan oleh Nya dalam Al Qur'an dan as sunnah.
Wahai para kyai,da'i,mubaligh,..untuk menjadi pejuang bangsa ini,kalian tidak harus masuk secara struktural.Sebab,para kyai biasa berjuang dimanapun,kapanpun,dan dalam kondisi bagaimana pun.Sepi ing pamrih,rame ing gawe(tidak ada keinginan melainkan memberikan umat perubahan yang berkah).Tebar keteladanan,berani berkurban atas nama kebenaran(Allah dan islam),dan selalu membela mereka yang masih serba kekurangan.Semoga Allah menolong dan memberi hidayah pada para kyai negeri ini.Marilah semakin berhati-hati dan waspada.

Thursday, May 8, 2008

KejaYaan KhiLaFah : BuKhaRa KoTa PenGetAhuaN

”Gudang pengetahuan!” Begitu sastrawan besar Iran, Ali Akbar Dehkhoda menjuluki Bukhara — salah satu kota penting dalam sejarah peradaban Islam. Penyair Jalaludin Rumi pun secara khusus menyanjung Bukhara.

Bukhara sumber pengetahuan. Oh, Bukhara pemilik pengetahuan,” ungkap Rumi dalam puisinya menggambarkan kekagumannya kepada Bukhara tanah kelahiran sederet ulama dan ilmuwan besar.Konon, nama Bukhara berasal dari bahasa Mongol, yakni ‘Bukhar’ yang berarti lautan ilmu. Kota penting dalam jejak perjalanan Islam itu terletak di sebelah Barat Uzbekistan, Asia Tengah. Wilayah itu, dalam sejarah Islam dikenal dengan sebutan Wa Wara’ an-Nahr atau daerah-daerah yang bertengger di sepanjang Sungai Jihun.

Letak Bukhara terbilang amat amat strategis, karena berada di jalur sutera. Tak heran, bila sejak dulu kala Bukhara telah menjelma menjadi pusat perdagangan, ilmu pengetahuan, budaya dan agama. Di kota itulah bertemu pedagang dari berbagai bangsa di Asia barat termasuk Cina. Lalu sejak kapan Bukhara mulai dikenal?

Menurut syair kepahlawanan Iran, kota Bukhara dibangun oleh raja Siavush anak Shah Kavakhous, salah satu Shah dalam cerita dongeng Iran yang berasal dari Dinasti Pishdak. Secara resmi, kota itu berdiri ada sejak tahun 500 SM di wilayah yang kini disebut Arq. Namun, oasis Bukhara telah didiami manusia mulai tahun 3000 SM, yakni semasa zaman perunggu.

Wilayah Bukhara, sejak 500 SM sudah menjadi wilayah kekuasaan Kekaisaran Persia. Seiring waktu, Bukhara berpindang tangan dari satu kekuasaan ke kekuasaan lainnya, seperti Aleksander Agung, kekaisaran Hellenistic Seleucid, Greco-Bactaian, dan Kerajaan Kushan.

Selama masa itu, Bukhara menjadi pusat pemujaan Anahita. Dalam satu putaran bulan, penduduknya biasa merayakan ritual ibadah dengan mengganti berhala yang sudah usang dengan berhala yang baru. Sebelum Islam menaklukan wilayah itu, penduduk Bukhara adalah para penganut agama Zoroaster yang menyembah api.

Kehidupan penduduk Bukhara mulai berubah ketika tentara Islam datang membawa dakwah. Pada akhir tahun 672, Ziyad bin Abihi menugaskan Miqdam Rabi’ bin Haris berlayar dari Irak menuju daerah Khurasan. Miqdam berhasil menaklukan wilayah itu sampai ke Iran Timur. Setelah Ziyad meninggal, Mu’awiyah, Khalifah Bani Umayyah memerintahkan Ubaidillah bin Ziyad untuk menaklukan Bukhara.

Pasukan tentara Islam pertama menjejakan kaki di tanah Bukhara pada 674 M di bawah pimpinan panglima perang, Ubaidillah bin Ziyad. Namun, pengaruh Islam benar-benar mulai mendominasi wilayah itu pada 710 M di bawah kepemimpinan Kutaiba bin Muslim. Seabad setelah terjadinya Perang Talas, Islam mulai mengakar di Bukhara.

Tepat pada tahun 850 M, Bukhara telah menjadi ibu kota Dinasti Samanid. Dinasti itu membawa dan menghidupkan kembali bahasa dan budaya Iran ke wilayah itu. Ketika Dinasti Samanid berkuasa, selama 150 tahun Bukhara tak hanya menjadi pusat pemerintahan, namun juga sentra perdagangan.

Pedagang dari Asia Barat dan Cina bertemu di kota itu. Di kota Bukhara pun berkembang bisnis pembuatan kain sutera, tenunan kain dari kapas, karpet, katun, produk tembaga, dan perhiasan dari emas serta perak dengan berbagai bentuk. Bukhara pun kesohor sebagai pasar induk yang menampung produk dari Cina dan Asia Barat.

Selain itu, karena berada di sekitar Sungai Jihun, tanah Bukhara pun dikenal sangat subur. Buah-buahan pun melimpah. Kota Bukhara terkenal dengan buah-buahan seperti Barkouk Bukhara yang terkenal hampir seribu tahun. Geliat bisnis dan perekonomian pun tumbuh pesat. Tak heran, bila kemudian nama Bukhara makin populer.

Pada era keemasan Dinasti Samanid, Bukhara juga menjadi pusat intelektual dunia Islam. Saat itu, di kota Bukhara bermunculan madrasah-madrasah yang mengajarkan ilmu pengetahuan. Dinasti Samanid pun mulai memperbaiki sistem pendidikan umum. Di setiap perkampungan berdiri sekolah. Keluarga yang kaya-raya menndidikan putera-puterinya dengan sistem home schooling atau sekolah di rumah.

Anak yang berusia enam tahun mulai mendapat pendidikan dasar selama enam tahun. Setelah itu, anak-naka di Bukhara bisa melanjutkan studinya ke madrasah. Pendidikan di madrasah dilalui dalam tiga tingkatan, masing-masing selama tujuh tahun. Keseluruhan pendidikan di madrasah harus ditempuh selama 21 tahun.

Para siswa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, mulai ilmu agama, aritmatika, jurisprudensi, logika, musik, serta puisi. Geliat pendidikan di Bukhara itu telah membawa pengaruh yang positif dalam penyebaran dan penggunaan bahasa Persia dan Uzbek.

Tak heran, kemampuan penduduk Bukhara dalam menulis, menguasai ilmu pengetahuan serta keterampilan berkembang pesat. Di tanah Bukahara pun kemudian lahir sederet ulama dan ilmuwan Muslim termasyhur.

Pada tahun 998 M, kekuasaan Dinasti Samanid berakhir dan digantikan Dinasti Salajikah. Tak lama kemudian, diambli alih Dinasti Khawarizm. Pada masa itu, status Bukhara sebagai pusat peradaban dan perkembangan Islam masih tetap dipertahankan. Ketika masa kekuasaan pemerintah Sultan Ala’udin Muhammad Khawarizm Syah berakhir, Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan pun mulai meredup.

Pada tahun 1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala’udin dengan pasukan Mongol di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan bruta yang dilakukan 70 ribu pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam. Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan Mongol. Dengan kejam dan sadis, pasukan Mongol membantai penduduk kota, membakar madrasah, masjid dan bangunan penting lainnya.

Jengiz Khan meluluh-lantakan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara dengan kata-kata:ka an lam tagna bi al-amsi (seolah-olah tak ada apa-apa sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuan yang terpancancar dari Bukhara pun meredup.

Nasib tragis ini, 38 tahun kemudian dialami pula oleh Baghdad, ketika Hulagu Khan keturunan Jengiz Khan menghancurkan metropolis intelektual abad pertengahan itu dengan bengis dan sadis.

Ulama dan Ilmuwan Besar dari Bukhara

Masa kejayaan Bukhara sebagai pusat ilmu pengetahuan telah melahirkan sederet ulama dan ilmuwan besar dari Bukhara. Hal itu menunjukkan bahwa Bukhara memiliki pengaruh yang besar pada era keemasannya. Di antara tokoh-tokoh besar asal Bukhara itu memberi kontribusi yang besar bagi perkembangan agama Islam dan ilmu pengetahuan itu antara lain: Imam Bukhari

Imama Bukhari
Imam Bukhari terlahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H bertepatan dengan 21 Juli 810 M. Ia adalah ahli hadits termasyhur. Imam Bukhari dijuluki amirul mukminin fil hadits atau pemimpin kaum mukmin dalam hal ilmu hadits. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari.

Tak lama setelah lahir, Imam Bukhari kehilangan penglihatannya. Bersama gurunya Syekh Ishaq, ia menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dari satu juta hadits yang diriwayatkan 80 ribu perawi disaringnya menjadi 7.275 hadits. Ia menghabiskan waktunya untuk menyeleksi hadits shahih selama 16 tahun. Shahih Bukhari adalah salah satu karyanya.

Ibnu Sina
Terlahir di Afsyahnah, Bukhara pada 980 M. Ibnu Sina adalah seorang filsuf, lmuwan sekaligus dokter. Ia dijuluki sebagai ‘Bapak Pengobatan Modern’. Buah pikir dan karyanya dituangkan dalam 450 buku, sebagaian besar mengupas filsafat dan kedokteran. Ibnu Sina merupakan ilmuwan Islam paling terkenal. Hasil pemikiran yang paling termasyhur dari Ibnu Sina adalah The Canon of Medicine (Al-Qanun fi At Tibb).

Selain itu, era tamadun Bukhara juga telah melahirkan sosok ulama dan Ilmuwan sepertih Abu Hafsin Umar bin Mansur Al-Bukhari yang dikenali dengan nama Al-Bazzar, Al-Hafiz Abu Zakaria Abdul Rahim Ibnu Nasr Al-Bukhari, Abdul rahim bin Ahmad Al-Bukhari, dan Abu Al-Abbas Al-Maqdisi Al-Hambali.

Di bidang sastra, Bukhara juga telah menghasilkan sederet sastrawan dan penyair kondang. Para penyair dan sastrawan kelahiran Bukhara telah menisbahkan nama mereka kepada Bukhara. Para penyair dan sastrawan dari Bukhara itu antara lain;i Ar-Raudaky, Fadhil Al-Bukhari, Am’aq Al-Bukhari, Al-Khajandi, Lutfullah An-Naisaburi, serta Ahmad Al-Karamani.

Bukhara di Era Modern

Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih memegang peranan yang penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada tahun 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.

“Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan. Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar bahkan dari Samarkand dan kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. Ada sebanyak 60 madrasah di Bukhara yang sukses maupun kurang sukses,” papar Demezon menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.

Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara pun dijadikan semacam bidak catur dalam ‘permainan besar’ antara Rusia dengan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis. Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.

Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajiks yang merupakan bagian dari Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas Tajiks membenyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand kepada Uzbekistan.(heri ruslan; republika Kamis, 14 Februari 2008)