Monday, June 23, 2008

PeRiNgaTan Al QuR’aN BaGi PemBeLa AhMadiYah

Di tengah santernya tuntutan umat Islam terhadap pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyyah, kaum Liberal makin lantang membela keberadaan aliran sesat itu. Dengan berbagai dalih, mereka menolak tuntutan pembubaran Ahmadiyyah. Mulai dari alasan konstitusi, HAM, hingga beberapa ayat yang dipelintir untuk melegitmasi sikap mereka. Tak ayal, pembelaan mereka terhadap Ahmadiyyah kian menyingkap jati diri mereka. Selain anti terhadap penerapan syariah, mereka juga pembela ajaran sesat.

Memang mereka mengaku tidak setuju terhadap theologi Ahmadiyyah. Namun lantangnya pembelaan dan dukungan mereka terhadap Ahmadiyyah telah menjerumuskan mereka ke dalam dosa. Pasalnya, hukum syara; tidak hanya melarang tindakan zhalim, namun juga orang yang cenderung terhadapnya. Allah Swt berfirman:

وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan (QS Hud [11]: 112-113).

Secara bahasa, al-zhulm berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Dalam perkembangan berikutnya, kata al-zhulm digunakan untuk menunjukkan setiap perbuatan yang menyimpang dari ketetapan dînuLlâh. Menurut Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip al-Thabari dalam Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, perbuatan zhalim yang tidak boleh diridhai itu adalah syirik. Sedangkan al-Syaukani dalam Fath al-Qadîr menegaskan bahwa perbuatan itu tidak hanya berlaku untuk kaum Musyrik, namun berlaku umum.

Dalam ayat ini ditegaskan, kaum Mukmin dilarang merasa ridha dan cenderung terhadap pelaku semua jenis kezhaliman itu. Menurut Abu al-Aliyah, makna kata al-rukûn adalah ridha. Artinya ridha terhadap perbuatan orang-orang zhalim. Ibnu Abbas memaknainya al-mayl (cenderung). Demikian keterangan al-Thabari dalam Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân. Sedangkan al-Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasysyâf, menegaskan bahwa al-rukûn tak sekadar al-mayl, namun al-mayl al-yasîr (kecenderungan ringan). Ini berarti setiap Muslim wajib membebaskan dirinya dari kezahliman. Bukan hanya dalam praktik, namun sekadar kecenderungan sedikit saja sudah tidak diperbolehkan.

Ungkapan al-ladzîna zhalamû kian mengukuhkan ketentuan tersebut. Sebab, ungkapan al-ladzîna zhalamû lebih ringan daripada al-zhâlimîn. Sehingga, jika kepada orang yang berbuat zhalim saja sudah dilarang cenderung kepadanya apalagi kepada orang-orang yang sudah terkatagori zhalim.

Para mufassir terkemuka, seperti Ibnu Jarir al-Thabari, al-Qurthubi, al-Zamakshsyari, al-Razi, Ibnu Katsir, al-Baghawi, al-Syaukani, al-Baidhawi, dan al-Khazin dalam kitab tafsir mereka, menyebutkan bahwa orang-orang yang berdusta dengan mengaku sebagai nabi dan rasul adalah yang dimaksudkan ayat ini. Beberapa nama pun disebutkan sebagai contohnya, seperti Musailamah dan al-Aswad al-‘Anasi. Semuanya mengaku sebagai nabi. Dengan demikian Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai nabi dan mendirikan ajaran Ahmadiyyah bisa dimasukkan di dalamnya

Berkaitan dengan makna al-rukûn ilâ al-ladzîna âmânû, al-Zamakhsyari memaparkan beberapa perbuatan yang dapat dikatagorikan di dalamnya. Di antaranya adalah tunduk kepada hawa nafsu mereka, bersahabat dengan mereka, bermajelis dengan mereka, mengunjungi mereka, bermuka manis dengan mereka, ridha terhadap perbuatan mereka, menyerupai mereka, dan menyebut keagungan mereka.

Menurut al-Qurthubi dalam al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, larangan ini juga sejalan dengan firman Allah Swt:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu] (QS al-An’am [6]: 68)

Larangan cenderung kepada pelaku kezhaliman itu sampai batas haram. Sebab, orang yang mengerjakannya diancam dengan sanksi yang amat berat, neraka. Allah Swt berfirman: fatamassakum al-nâr (menyebabkan kamu disentuh api neraka). Tak hanya itu, mereka diancam tidak akan mendapat penolong. Allah Swt berfirman: wamâlakum min dûniLlâh min awliyâ’ tsumma lâ tunsharûn (dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan).

Patut digarisbawahi, Ghulam Ahmad beserta pengikutnya bukan hanya sekadar zhalim, namun terkatagori orang yang paling zhalim. Sebab, dia telah berbohong atas nama Allah Swt bahwa telah mendapat mendapatkan wahyu dari-Nya. Tak hanya itu, Allah Swt pun mengancamnya dengan siksa yang pedih dan menghinakan sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ قَالَ أُوحِيَ إِلَيَّ وَلَمْ يُوحَ إِلَيْهِ شَيْءٌ وَمَنْ قَالَ سَأُنْزِلُ مِثْلَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آَيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ

Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”, padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: “Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu” Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya (QS al-An’am [6]: 93).

Makna ayat ini –sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dan al-Sa’di dalam kitab tafsir mereka– tidak ada seorang pun yang lebih zhalim melebihi orang-orang yang membuat kedustaan atas nama Allah Swt, dengan menjadikan sekutu atau anak bagi-Nya, dan mengaku bahwa Allah Swt mengutusnya sebagai rasul padahal faktanya tidak.

Selain Ibnu Katsir, banyak mufassir lain seperti al-Thabari, al-Qurthubi, al-Zamakshsyari, al-Razi, al-Baghawi, al-Syaukani, al-Baidhawi, al-Khazin, dan lain-lain menyebutkan bahwa orang-orang yang berdusta dengan mengaku sebagai nabi dan rasul adalah yang dimaksudkan ayat ini. Beberapa nama pun disebutkan sebagai contohnya, seperti Musailamah dan al-Aswad al-‘Anasi. Semuanya mengaku sebagai nabi. Dengan demikian Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai nabi dan mendirikan ajaran Ahmadiyyah bisa dimasukkan di dalamnya. Kedustaan Ghulam Ahmad telah nyata. Agen Inggris itu mengaku menerima suara dari langit pada bulan Maret 1882 yang menyatakan diangkatnya Mirza Ghulam sebagai “Ma’mur Minallah” atau “Utusan Allah” dan mengklaimkan diri pula sebagai seorang Mujaddid (pembaharu agama). Pada awal tahun 1891 Mirza Ghulam Ahmad mendakwakan bahwa dirinya telah diangkat oleh Allah Swt sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau’ud atau Isa yang dijanjikan.

Selain itu, dia juga mengaku menerima wahyu, yang disebut dengan Tadzkirah. Isinya banyak yang membajak membajak ayat Al-Qur’an. Juga mencampur-adukkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan bahasa Arab, bahasa Urdu, dan bahasa Persia. Dengan wahyu rekayasa inilah Mirza Ghulam Ahmad membentuk aliran sesat Ahmadiyyah dengan suatu keyakinan Jama’at Ahmadiyyah itu identik dengan perahu nabi Nuh as. Menurut Mirza, barang siapa yang tidak mau masuk dalam Jama’at Ahmadiyyah sama saja dengan orang yang tidak mau naik (masuk) dalam perahu nabi Nuh Nuh dan akan tenggelam semuanya yaitu akan masuk neraka.

Tak cukup mengaku sebagai nabi, Ghulam Ahmad juga mengaku sebagai orang yang paling utama dari dari seluruh nabi dan rasul. Ia mengatakan, “Sesungguhnya Nabi (Muhammad) mempunyai tiga ribu mukjizat saja. “Sedangkan aku memiliki mukzijat lebih dari satu juta jenis” [Tadzkirah Asy-Syahadatain, hal. 72, karya Ghulam Ahmad].

Salah seorang juru dakwah mereka, juga tidak ketinggalan ikut membeo merendahkan martabat Nabi Muhammad saw dengan mengatakan: “Sesungguhnya Muhammad pernah sekali datang kepada kami. Pada waktu itu, beliau lebih agung dari bi’tsah yang pertama. Siapa saja yang ingin melihat Muhammad dengan potretnya yang sempurna, hendaknya ia memandang Ghulam Ahmad di Qadian” [Koran milik Qadiyaniah, Badr, 25 Oktober 1902M].

Kesesatan Ahmadiyyah telah nyata laksana terangnya matahari di siang bolong. Maka, jelaslah bahwa sikap kaum Liberal yang membela Ahmadiyyah merupakan perbuatan terlarang dan pelakunya diancam dengan siksa yang pedih. Tidak layak bagi seorang yang mengaku Mukmin berlaku demikian.