Friday, May 10, 2013

Memilih Teman. Ini Kiatnya

Mencari teman gampang-gampang susah. Butuh kejelian dan mata hati untuk menangkap getaran keikhlasan. Apa yang keluar dari hati, niscaya akan bermuara pada hati pula. Karena itu, jika ingin berteman, kata Ustadzah Iffah Ainur Rochmah, agar memperhatikan sejumlah hal. Pertama, pilihlah yang bisa menambah motivasi ke arah yang lebih baik. Rasulullah saw bersabda, berteman dengan penjual parfum, maka harum semerbaklah yang akan lengket, bergaul dengan pandai besi, maka aroma asaplah yang akan didapat. Kedua, pegangan dalam berteman adalah ideologi, keimanan. Hal ini ditegaskan dalam Alquran, kata Iffah, bahwa janganlah menjadikan orang kafir sebagai tumpuan kepercayaan. Ini bukan berarti larangan bermuamalah dengan non-Muslim, melainkan yang dimaksud ialah mendaulat orang tersebut sebagai kepercayaan satu-satunya. “Itu yang dilarang,” katanya menjelaskan. Ia bertutur, Rasulullah saw menyerukan agar menjaga hubungan dengan umat yang lain, dalam hal ini kebanyakan dengan ahli kitab. Hubungan yang dilakukan dengan umat di luar umat Islam, kata Juru Bicara Muslimah Hizbut Tahrir ini, bisa dalam bermuamalah, saling mengunjungi, menikmati makanan yang disembelihnya. Agar hubungan sesama teman berjalan langgeng, menurut Iffah, harus dilandasi dengan saling menjaga ukhuwah Islamiyah. Jika landasan ini kuat, bisa menjadi pertemanan jangka panjang. Pertemanan dilakukan pula dengan tulus, bukan untuk kepentingan tertentu. Kalau tujuan mencari teman sebanyak-banyaknya, tapi untuk mencari keuntungan, itu namanya berdagang, tidak akan langgeng. “Namun, pertemanan yang tulus, pamrih, tanpa berharap mendapat imbalan apa pun, bisa sampai kakek-nenek,” ujar Iffah menjelaskan. Dalam pertemanan perlu juga menjaga etika. Di antaranya, kata Iffah, harus selalu berbaik sangka serta memiliki rasa empati bila teman dalam kesusahan dan berusaha meringankan bebannya. Sesama teman harus saling menasihati dan sabar. Jika ada selisih pendapat, sikapi secara proposional, bukan dengan memutuskan silaturahim. “Selama tidak melanggar syariat, harus saling menghormati,” ujarnya. Berteman yang diajarkan dalam Islam, menurut Ustadz Andi Hidayat, mesti dilandasi dengan rasa cinta kepada Allah SWT karenanya Allah akan mengumpulkan mereka di akhirat kelak. Teman yang baik, ungkap Pembina Rumah Tahfiz Alquran Condet Jakarta Timur ini, selalu mengingatkan di jalan Allah. Sebaliknya, lanjut Andi, bukan termasuk teman yang baik jika kehadirannya hanya untuk bermain-main, bersenang-senang, mengurus kesibukan dunia. Pertemanan yang hanya memikirkan dunia, di akhirat kelak mereka ini dituntut dan saling menyalahkan. “Di sinilah letak perbedaan teman duniawi dan ukhrawi,” katanya. Agar pertemanan tetap terjalin dengan mulus, jelas Andi, harus saling menghargai hak masing-masing. Jika bertemu mengucapkan salam, saling mendoakan, dan rutin melakukan silaturahim. Setiap pertemuan penuh dengan nasihat untuk kebaikan sehingga pertemuannya itu tidak sia-sia. Tidak ada salahnya sesekali membahagiakan teman dengan memberikan hadiah. Menurut mahasiswa jurusan syariah LIPIA Jakarta ini, kehadiran teman sejati sangat dibutuhkan ketika mendapat musibah. Doa yang tulus serta nasihat yang diberikan teman sejati lebih mengena dibandingkan teman yang hanya bergaul untuk urusan dunia. Al mar'u 'ala dini khalilihi, perangai seseorang sedikit banyak akan memengaruhi teman terdekatnya. Ini tak lain karena intensitas dan kedekatan emosi antarkeduanya. Karena itu, Islam sangat memperhatikan ikatan pertemanan. Menurut dosen Universitas Yarsi Jakarta, Dr Andian Parlindungan, pertemanan yang dilandaskan dengan spirit dan prinsip-prinsip keislaman pasti membawa keberkahan. Ini lantaran, jalinan itu dihiasi dengan saling mengingatkan dalam kebaikan, mengajak kebenaran, menjaga kesabaran, serta keadilan. Keimanan dan nilai-nilai kebajikan itulah yang menjadi perekat utama. “Inilah pertemanan yang sesungguhnya,” ungkapnya. Bandingkan dengan ikatan atas asas duniawi, bisnis contohnya. Bisnis kelar, pertemanan pun pudar. Alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini tak menampik di balik pertemanan pasti ada kepentingan. Bisa sebatas maslahat duniawi atau akhirat. Namun, ia menegaskan pertemanan yang ideal adalah jalinan dengan rida Allah SWT di dalamnya. Ia menyarankan agar mengutamakan berteman dengan teman seagama. Ia menegaskan, Islam meletakkan rambu-rambu agar terhindar dari pergaulan yang salah. Akibat pertemanan negatif, dikhawatirkan akan ikut menyeret yang bersangkutan terjerumus. Meski demikian, bukan berarti mereka yang berperangi buruk harus dijauhi secara mutlak. Justru, celah ini menjadi tantangan sebagai ladang dakwah. Selama masih mampu, maka berbagilah nasihat kebajikan. “Jika tetap sulit maka lebih baik menghindar,” ujarnya. Ini dengan catatan, imbuhnya, tetap menjaga tali silaturahim. Sulitkah mencari teman yang baik? Tentu tidak, kata Andian. Sederhananya, paling tidak mencari teman itu bisa lewat majelis-majelis ilmu. Secara garis besar, teman yang berasal dari majelis ilmu itu memiliki tujuan mulia yang sama, menuntut ilmu. Ustadz Abdul Shamad Mahuse mengatakan, landasan pertemanan itu bertemu karena Allah SWT dan berpisah pun harus karena-Nya. Jadi, pertemanan yang sejati semata-mata karena Allah, bukan karena yang lain. Dan, ini hanya bisa dilakukan dengan teman seakidah. Staf pengajar di Pesantren Nuu Waar Al-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) ini mengutip surah al-Hujuraat ayat 10. Ia menyimpulkan, dari ayat itu diperoleh garis tegas mencari teman, yakni mereka yang mengajak pada kebaikan. “Utamakan Muslim dan niatkan beribadah,” ujarnya. Shamad menegaskan, hendaknya pertemanan tidak boleh berdasarkan kultur, fisik, latar belakang pendidikan, kekayaan, atau status sosial di masyarakat. Karena, percuma saja, Allah tidak melihat wajah, fisik, serta harta mereka, tetapi tolok ukur adalah amal perbuatan dan persahabatan yang dijalinnya karena Allah. Meski demikian, Rasulullah saw, tuturnya, sebagai teladan tidak pernah melarang umatnya agar jangan berteman dengan pihak-pihak tertentu. Pertemanan memang melintas batas suku, agama, bahasa, dan sebagainya. Justru Rasulullah saw menjalin pertemanan dengan siapa pun. Bahkan, ketika orang Yahudi yang menghalangi dakwah Rasulullah saw jatuh sakit, Nabi Muhammad menjenguknya. Rasul mengajarkan agar membina hubungan dengan segenap umat manusia, lalu menghargai satu sama lain. “Yang dikecam ialah akidahnya, bukan orangnya,” jelas alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab Makasar ini. ''Itulah makna dari menjalin hubungan sesama manusia (hablun minannas),'' imbuhnya. Sumber : ROL (republika online)