Monday, August 30, 2010

i'tikaf







Memasuki sepuluh terakhir Ramadhan Rasulullah saw meningkatkan aktivitas ibadahnya dibandingkan hari-hari sebelumnya.


عَنْ عَائِشَةُ رضى الله عنها كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw bersungguh-sungguh pada sepuluh terakhir (Ramadhan) lebih dari kesungguhan beliau pada hari lain.” (HR. Muslim)


Salah satu ibadah yang sangat dianjurkan oleh beliau kepada ummatnya pada bulan Ramadhan adalah I’tikaf. I’tikaf secara bahasa adalah mendiami sesuatu dan menahan diri untuknya. Secara syar’i I’tikaf berarti berdiam diri di masjid beberapa saat dengan sifat tertentu dengan niat bertaqarrub kepada Allah swt

Hukum I’tikaf

I’tikaf hukumnya sunnah berdasarkan sejumlah riwayat antara lain:


عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

Dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw beri’tikaf sepuluh terakhir Ramadhan hingga Allah azza wa jalla mewafatkan beliau kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.” (H.R. Bukhari & Muslim)



عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ النبى -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ عَامًا فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ قَابِلٍ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا.

Dari Ubay bin Ka’ab r.a. bahwa nabi saw melakukan i’tikaf di sepuluh malam terakhir Ramadhan kemudian beliau melakukan perjalanan setahun maka beliau tidak beri’tikaf. Namun pada tahun berikutnya beliau melakukannya 20 hari.” (HR. Baihaqy dan al-Hakim dan Ibnu Khuzaimah dan menurutnya shahih)



عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ - رضى الله عنه - قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ فِى قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ عَلَى سُدَّتِهَا حَصِيرٌ - قَالَ - فَأَخَذَ الْحَصِيرَ بِيَدِهِ فَنَحَّاهَا فِى نَاحِيَةِ الْقُبَّةِ ثُمَّ أَطْلَعَ رَأْسَهُ فَكَلَّمَ النَّاسَ فَدَنَوْا مِنْهُ فَقَالَ « إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

Dari Abu Said al-Khudry r.a. ia berkata: Rasulullah saw melakukan I’tikaf pada sepuluh hari pertama Ramadhan kemudian beri’tikaf pada sepuluh kedua di Kubah Turki yang di sisinya terdapat pembatas. Ia berkata: maka beliau mengambil pembatas dengan tangannya dan meletakkannya di kubah dimana tampak kepala beliau lalu ia berbicara kepada orang-orang sehingga mereka menundukkan diri mereka. Beliau bersabda: “Sesungguhnya saya i’tikaf pada sepuluh hari pertama untuk mendapatkan malam ini, kemudian saya I’tikaf pada sepuluh malam kedua kemudian saya didatangi dan dan dikatakan kepada saya bahwa I’tikaf pada sepuluh malam terakhir. Barangsiapa diantara kalian yang senang melakukannya maka i’tikaflah. Lalu orang-orang I’tkaf bersama beliau (H.R. Muslim dan Ibnu Khuzaimah)


Berdasarkan riwayat di atas, itikaf merupakan aktivitas taqarrub yang senantiasa dilakukan oleh Rasulullah di bulan Ramadhan khususnya di sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Hukum ibadah tersebut sunnah. Kesimpulana tersebut diperoleh dari sabda Rasulullah saw yang mengatakan: “barangsiapa diantara kalian yang senang beri’tikaf maka beri’tikaflah.”


Tempat I’tikaf


Itikaf hanya dapat dilakukan di masjid. Tidak ada batasan jenis mesjid yang dapat digunakan untuk i’tikaf apakah masjid jami’, tempat dilakukan shalat jumat atau bukan. Hal ini karena nash-nash yang menjelaskan tentang i’tikaf senantiasa dikaitkan dengan mesjid. Sementara itu lafadz mesjid tersebut berbentuk mutlak dan tidak ada taqyid terhadap jenis mesjid tersebut apakah mesjid yang digunakan untuk shalat berjama’ah, shalat jum’at atau selainnya.


وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187)

“Dan janganlah kalian melakukan hubungan seks dengan mereka ketika kalian sedang i’tikaf di mesjid. Itulah ketentuan-ketentuan Allah maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 187)



عَنْ عَلِىُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- تَزُورُهُ فِى اعْتِكَافِهِ فِى الْمَسْجِدِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ وَقَامَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يَقْلِبُهَا.

Dari Ali bin Husain bahwa Shafiyyah istri Nabi saw mengiformasikan kepadanya bahwa ia telah mendatangi Rasulullah saw yang sedang I’tikaf di mesjid di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ia berbicara dengan beliau lalu berdiri dan berpaling. Nabi saw juga berdiri dan menciumnya.” (HR. Bukhari-Muslim)



عَنْ أَبِى سَعِيدٍ قَالَ : اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ وَقَالَ : « أَلاَ إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِى الْقِرَاءَةِ ». أَوْ قَالَ : « فِى الصَّلاَةِ ».

Dari Abu Said ia berkata: “Rasulullah saw sedang i’tikaf di mesjid lalu beliau mendengar orang-orang mengeraskan bacaaanya. Iapun membuka tabir dan bersabda: “Ketahuilah bahwa masing-masing kalian sedang bermunajat kepada tuhannya maka janganlah sebagian kalian mengganggu yang lain dan mengeraskan suaranya di atas suara yang lain dalam membaca (atau ia berkata) dalam shalat.” (HR. Abu Daud dan al-Hakim. Al-Hakim menshahihkannya)



Waktu Pelaksanaan I’tikaf


I’tikaf dalam dilakukan kapan saja baik siang atau malam di sepanjang tahun. Ini karena dalil yang berkenaan dengan I’tikaf tidak memberikan pembatasan (taqyid) atau pengkhususan (takhsis) dalam pelaksanaannya.

Adapun riwayat yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw dan para sahabat melakukan I’tikaf pada bulan Ramdlan maka hal tersebut menunjukkan sangat dianjurkannya waktu tersebut. terlebih lagi di sepuluh terakhir bulan Ramadhan dimana di sana terdapat lailatul qadar.

Meski demikian di luar bulan Ramadhan juga diperkenankan untuk i’tikaf. Hal ini misalnya diperoleh dari hadits riwayat:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا : أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفُ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ؟ قَالَ: فَأَوْفِ بِنَذَرِكَ

Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Umar pernah bertanya kepada Rasulullah saw: “Dulu saya pernah bernadzar di masa jahiliyyah untuk i’tikaf malam di masjid al-haram, Rasul saw bersabda:”Ttunaikanlah nadzarmu.” (HR. Bukhari)


Perintah Rasul kepada Umar tersebut berbentuk umum dan tidak ada batasan bahwa harus dilaksanakan di bulan Ramadhan.

Rasulullah saw memulai I’tikaf beliau sesaat setelah melaksanakan shalat Subuh. Karena perbuatan tersebut adalah liqasdi al-qurbah, yakni semata-mata untuk bertaqarrub maka status hukumnya sunnah. Meski demikian hal tersebut bukan syarat sehingga i’tikaf dapat dimulai kapan saja.

Adapun lama waktu I’tikap tidak dibatasi oleh syara’ sehingga ia dapat dilakukan berapapun lamanya. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa i’tikaf minimal satu hari sementara imam Malik yang mengatakan minimal sehari semalam yang kemudian meralatnya menjadi minimal sepuluh hari. Namun demikian tidak diketemukan dalil yang mengharuskan batas tersebut.

Aktivitas orang yang beri’tikaf

Kegiatan itikaf diisi dengan amalan-amalam taqarrub seperti shalat, membaca al-Quran, dzikir dan menuntut ilmu.

Meski demikian orang yang sedang i’tikaf boleh keluar untuk memenuhi hajat yang harus dipenuhi yaitu: buang air kecil, buang air besar, muntah, mandi, wudlu dan yang sejenisnya seperti keluar untuk mengambil selimut jika dingin, alat pendingin jika udara panas, melakukan hal-hal yang wajib seperti menghadiri shalat jumat. Dengan demikian segala aktivitas mengharuskan orang yang sedang beri’tikaf untuk keluar memenuhi hajatnya maka tidak membatalkan i’tikaf. Namun jika ia keluar tanpa ada kebutuhan maka i’tikafnya batal.

Aktivitas di dalam masjid yang dilarang untuk dilakukan seperti meludah, jual beli, membunyikan ruas-ruas tulang tangan maka hal tersebut juga dilarang untuk dilakukan bagi orang yang sedang I’tikaf. Rasulullah saw bersabda:


إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الْمَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ فَإِنَّ التَّشْبِيكَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَزَالُ فِي صَلَاةٍ مَا دَامَ فِي الْمَسْجِدِ

“Apabila salah seorang diantara kalian berada di masjid maka janganlah ia membunyikan ruas-ruas tangannya. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan setan. Sesungguhnya salah seorang dari kalian masih senantiasa shalat selama ia berada di masjid.” (HR. Ahmad dan menurut al-Haitsamy sanadnya hasan)



عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ التَّحَلُّقِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الشِّرَاءِ وَالْبَيْعِ فِي الْمَسْجِدِ

Dari Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakenya bahwa Nabi saw melarang mencukur rambut di hari Jumat sebelum shalat dan jula beli di masjid. (HR. an-Nasai. Menurut Albani hadits ini shahih)



عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبُزَاقُ فِى الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Meludah di masjid adalah dosa dan penghapus dosa itu adalah memendamnya.” (HR. Bukhari-Muslim)


Demikian pula semua aktivitas yang mubah dilakukan di dalam mesjid maka mubah pula dilakukan oleh orang yang sedang melakukan i’tikaf seperti makan dan tidur.


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ جَزْءٍ الزُّبَيْدِيَّ يَقُولُ كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْمَ

Dari Abdullah bin al-Harits bin Jaz’in az-Zubaidy berkata: “Pada masa Rasulullah saw kami makan roti dan daging di masjid.” (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Arnauth)



عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: جَاءَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، بَيْتَ فَاطِمَةَ، فَلَمْ يَجِدْ علِيًّا فِي الْبَيْتِ فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ قَالَتْ: كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ، فَغَاضَبَنِي، فَخَرَجَ، فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ فَجَاءَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ هُوَ فِي الْمَسْجِدِ رَاقِدٌ فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ مُضْطَجِعٌ، قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ، وَأَصَابَهُ تُرَابٌ فَجَعَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبا تُرَابٍ قُمْ أَبَا تُرَابٍ

Dari Sahl bin Sa’d berkata: Rasulullah saw mendatangi Fatimah namun beliau tidak menjumpai Ali di rumah maka beliau bertanya: “Dimana Anak pamanmu?” Aisyah menjawab: “Saya dengan dia ada masalah, ia marah kepadaku lalu keluar dan tidak mengatakan apa-apa pada saya.” Maka Rasulullah saw berkata kepada seseorang: “Carilah dia”. Kemudian orang tersebut datang dan berkata: “Ya Rasulullah ia sedang duduk di masjid.” Maka Rasulullah saw mendatanginya sementara Ali dalam keadaan berbaring sementara selendangnya jatuh dari bahunya dan menimpa tanah. Rasul kemudian mengusapnya dan berkata: “Bangunlah Abu Turab! Bangunlah Abu Turab!” (H.R. Bukhari)


Di samping itu secara khusus terdapat sejumlah riwayat yang menggambarkan sejumlah aktivitas mubah yang dilakukan Rasul pada saat beliau I’tikaf.


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ

Dari Aisyah r.a. ia berkata: “Nabi saw menyandarkan kepalanya kepadaku sementara (sebagian tubuh) beliau berada di masjid. Saya menyisir beliau sementara saya dalam keadaan haid.” (H.R. Bukhari)



عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا كَانَتْ تُرَجِّلُ النَّبَِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حَائِضٌ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِي الْمَسْجِدِ وَهِيَ فِي حُجْرَتِهَا يُنَاوِلُهَا رَأْسَهُ (فِي رِوَايَةِ اللَيْثِ َزَادَ) وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَة ٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفاً( وَفِيْ رِوَايَةِ يَحْيَى بْنِ يَحْيَى) وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ

Dari Aisyah ia bahwa ia memangku Nabi saw sementara ia sedang haid. Nabi i’tikaf di masjid sementara ia berada di kamarnya dimana ia menggapai kepada Nabi. Dalam riwayat Laits ada tambahan bahwa beliau jika sedang i’tikaf tidak masuk ke rumah kecuali ada keperluan. (dalam riwayat Yahya bin Yahya) beliau tidak masuk kecuali untuk memenuhi kebutuhan manusia.” (HR. Bukhari)



عَنْ عَلِىُّ بْنُ حُسَيْنٍ أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِى اعْتِكَافِهِ فِى الْمَسْجِدِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ وَقَامَ النَّبِىُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْلِبُهَا.

Dari Ali bin Husain bahwa Shafiyyah istri Nabi saw mengiformasikan kepadanya bahwa ia telah mendatangi Rasulullah saw yang sedang I’tikaf di mesjid di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Ia berbicara dengan beliau lalu berdiri dan berpaling. Nabi saw juga berdiri dan menciumnya.” (HR. Bukhari-Muslim)


Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa Rasulullah saw melakukan sejumlah aktivitas yang mubah selama melaksanakan i’tikaf seperti menyisir rambut, berjalan, mencium istrinya dan diriwayat lain dimandikan oleh Aisyah.

WaLlahu a’lam bisshawab

Menggapai Lailatul Qadr




ا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ، سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar (QS al-Qadr [97]: 1-5).


Dalam mushaf, surat ini terletak pada urutan ke-97. Terdapat perbedaan pendapat mengenai status surat yang terdiri dari 5 ayat ini. Ada yang menyebutnya sebagai surat Makkiyyah, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Marduyah, Ibnu al-Zubair dan ‘Aisyah.[1] Ada juga menggolongkannya sebagai Madaniyyah. Di antaranya adalah al-Waqidi. Bahkan menurut ats-Tsa’labi, sebagian besar mufassir memasukkannya sebagai surat Madaniyyah. [2]

Tafsir ayat (al Qadr :1-5)

Allah SWT. berfirman: ‘Innâ anzalnâhu fî laylah al-qadr’ (Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran pada malam kemuliaan). Dalam ayat ini digunakan frasa ‘Innâ’ (Sesungguhnya Kami), bukan Innî (Sesungguhnya Aku). Dijelaskan Fakhruddin ar-Razi, kata tersebut tidak boleh dimaknai ‘li al-jam’i’ (untuk menunjukkan makna jamak). Sebab, hal itu mustahil ditujukan kepada Allah, Zat Yang Maha Esa. Karena itu, kata tersebut harus dimaknai sebagai ‘li at-ta’zhîm’ (untuk mengagungkan).[3]

Huruf ‘al-hâ’’ ‘dhamîr al-ghâib, (kata ganti pihak ketiga) dalam ayat ini, tidak memiliki ‘al-ism azh-zháhir’ yang menjadi rujukannya. Meskipun demikian, para mufassir sepakat bahwa dhamîr tersebut menunjuk pada al-Quran.[4]

Menurut al-Qurthubi, tidak disebutkan kata ‘al-Quran’ karena maknanya sudah maklum.

[5] Fakhruddin ar-Razi dan az-Zamakhsyari menjelaskan, ketiadaan ‘al-ism azh-zhâhir’ itu menjadi salah satu aspek yang menunjukkan keagungan al-Quran.[6]

Adapun al-Khaththabi dan Abu Hayyan al-Andalusi mengaitkannya dengan surat sebelumnya: iqra’ ‘bi[i]smi Rabbika’; sehingga seolah dikatakan: ‘Bacalah apa yang Kami turunkan kepadamu berupa firman Kami, “Innâ anzalnâhu laylah al-qadr.”..’[7]

Dalam ayat ini diberitakan bahwa al-Quran diturunkan pada malam ‘al-qadr’. Secara fakta, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. secara bertahap selama dua puluh tiga tahun; siang dan malam, dalam berbagai bulan dan keadaan.

Jika demikian, apa makna al-Quran diturunkan pada suatu malam yang disebut sebagai malam ‘al-qadr’ itu?

Setidaknya ada dua penjelasan. Pertama: turunnya al-Quran yang diberitakan dalam ayat ini adalah turunnya al-Quran secara sekaligus dari al-Lawh al-Mahfûzh ke Bayt al-‘Izzah di langit dunia. Selanjutnya, al-Quran turun kepada Rasulullah saw. selama 23 tahun secara bertahap setiap saat. Penjelasan ini disampaikan Ibnu ‘Abbas; juga dipilih oleh beberapa mufassir seperti al-Alusi, al-Baghawi, asy-Syaukani, as-Samarqandi, dan yang lainnya.[8]

Kedua: turunnya al-Quran pertama kali. Ini merupakan pendapat asy-Sya’bi dan yang lainnya.[9]

Intinya, awal diturunkannya al-Quran dan diutusnya Rasulullah. saw terjadi pada malam al-qadr itu. Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 185).

Mengapa malam itu disebut sebagai malam al qadr?

Menurut Ibnu ‘Abbas, Qatadah dan lain-lain, dinamakan al-qadr karena di dalamnya terjadi penentuan ajal, rezeki dan berbagai kejadian di dunia yang diberikan kepada malaikat untuk dikerjakan. Pendapat ini juga dipilih az-Zamakhsyari, asy-Syaukani dan al-Baghawi karena dinilai sejalan dengan QS ad-Dukhan [44]: 4.[10]

Adapun az-Zuhri memaknai ‘laylah al-qadr’ sebagai malam ‘al-‘azhamah wa asy-syaraf’ (keagungan dan kemuliaan).[11]

Pengertian ini juga sejalan dengan ayat berikutnya yang menjelaskan bahwa malam tersebut lebih baik dari seribu bulan. Ada juga yang memilih kedua pendapat itu tanpa menafikan salah satunya, seperti al-Baidhawi, as-Samarqandi, as-Sa’di dan al-Zuhaili.[12]

Jika diikuti penjelasan ayat-ayat sesudahnya, kedua pendapat itu sama-sama memiliki pijakan yang kuat. Tidak harus dipilih salah satunya dan menegasikan makna lainnya.

Kemudian Allah SWT berfirman: ‘Wamâ adrâka mâ laylah al-qadr ‘(Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?). Kalimat ‘istifhâm’ ini memberikan makna tafkhîm sya’nihâ (memuliakan urusannya); seolah-olah perkara tersebut keluar dari pengetahuan makhluk; dan tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT. Demikian penjelasan asy-Syaukani.[13]

Tidak jauh berbeda, as-Samarqandi juga menafsirkannya sebagai ta’zhîm[an] lahâ (mengagungkan, memuliakannya).[14]

Pertanyaan itu lalu dijelaskan dalam ayat berikutnya: Laylah al-qadr khayr min alfi syahr[in] (Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan). Menurut Abu Hayyan, seribu bulan yang dimaksud adalah jumlah sebenarnya, yakni 83 tahun. Al-Hasan mengatakan, “Beramal pada malam al-qadr itu lebih utama daripada beramal pada bulan-bulan itu.”[15]

Menurut Anas, amal, sedekah, shalat dan zakat pada Lailatul Qadar lebih baik daripada seribu bulan.[16]

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Mujahid, Amru bin Qays al-Malai, Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan as-Samarqandi.[17]

Bahkan menurut as-Syaukani, kesimpulan tersebut (beramal di malam itu lebih baik daripada seribu bulan, selain yang di dalamnya terdapat malam al-qadr) merupakan pendapat sebagian besar mufassirin[18] Mengenai keutamaan beramal pada malam tersebut juga ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:


مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melaksanakan shalat pada Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni (HR al-Bukhir, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i dan Ahmad).


Kemudian Allah SWT menjelaskan keutamaan lain Malam al-Qadr dengan firman-Nya: Tanazzalu al-malâikah wa al-Rûh fîhâ bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (Pada malam itu turun para malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan). Pada malam itu, para malaikat turun dari langit ke bumi, termasuk ar-Rûh. Menurut jumhûr al-mufassirîn, yang dimaksud ar-Rûh di sini adalah Jibril.[20]

Biasanya, itu berguna untuk menunjukkan kemuliaan dan keagungannya atas yang lain (Lihat, misalnya, QS al-Baqarah [2]: 98).

Menurut Ibnu Katsir, banyaknya malaikat yang turun karena banyaknya berkah. Malaikat turun dengan membawa berkah dan rahmat sebagaimana mereka turun ketika ada tilawah al-Quran; mereka mencari majelis zikir dan meletakkan sayapnya mengitari orang-orang yang mencari ilmu untuk memuliakannya.[21]

Dipaparkan ar-Razi, penyebutan bi idzni Rabbihim memberikan isyarat bahwa para malaikat itu tidak bertindak apa pun selain dengan izin-Nya. Adapun kata Rabbihim berguna sebagai ta’zhîm[an] li al-malâikah wa tahqîr[an] li al-‘ashâh (untuk memuliakan malaikat dan melecehkan pelaku maksiat).[22]

Menurut Qatadah dan lainnya, frasa bi idzni Rabbihim min kulli amr[in] (dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan), memberikan pengertian bahwa pada malam itu diputuskan berbagai urusan; ditetapkan ajal dan rezeki. Ini sejalan dengan QS al-Dukhan (44) ayat 4.[23]

Allah SWT pun menutup ayat ini dengan firman-Nya: Salâm[un] hiya hattâ mathla’ al-fajr (Malam itu [penuh] kesejahteraan sampai terbit fajar). Dijelaskan Mujahid, bahwa keselamatan itu berarti sâlimah (selamat); setan tidak mampu berbuat kejahatan atau melakukan perbuatan yang mencelakakan.[24]

Qatadah menyatakan bahwa frasa tersebut berarti kebaikan semua, tidak ada di dalamnya keburukan hingga terbit fajar.[25]

Menurut asy-Sya’bi, saat memberikan keselamatan kepada penghuni masjid mulai dari terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar, malaikat melewati setiap Mukmin dan berkata, “As-Salâmu ‘alayka ayyuhâ al-Mu’min” (Semoga keselamatan atas kalian, wahai Mukmin).[26]



Keagungan al-Quran dan Lailatul Qadar


Surat ini memberitakan peristiwa turunnya al-Quran, kitab yang diturunkan kepada nabi terakhir; berisi penjelasan segala sesuatu, petunjuk serta rahmat, dan kabar gembira bagi Muslim (lihat QS al-Nahl [16]: 89). Dalam surat ini, pengagungan al-Quran tampak pada beberapa hal. Pertama: keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Kendati tidak disebutkan secara zhâhir, tidak ada perbedaan bahwa dhamîr al-ghâib ini merujuk pada al-Quran. Sebagaimana telah dipaparkan, itu menunjukkan keagungan dan kemasyhuran al-Quran. Karena itu, meski tanpa disebutkan secara zhâhir, maknanya sudah sangat jelas.

Kedua: keagungan Zat yang menurunkannya. Disebutkan dalam surat ini bahwa yang menurunkan al-Quran adalah Allah SWT. Sebagai kitab yang berasal dari Zat Yang Mahabenar dan Mahaadil, kitab yang diturunkan-Nya pun demikian, shidqa[an] wa ad-la[a] (benar dan adil, lihat QS al-An’am [6]: 115). Digunakannya frasa innâ yang menunjuk kepada Allah kian menambah kemuliaan al-Quran. Sebab, frasa innâ memberikan makna li al-ta’zhîm (untuk memuliakan, mengagungkan) terhadap Zat yang menurunkan-Nya.

Ketiga
: keistimewaan waktu turunnya. Diberitakan dalam ayat ini bahwa turunnya al-Quran dipilih pada waktu yang amat mulia, yakni pada laylah al-qadr, sebuah malam yang penuh berkah (lihat QS al-Dukhan [44]: 3), yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu, para malaikat, termasuk Jibril, turun ke bumi. Ini menunjukkan betapa mulia dan pentingnya malam tersebut. Sebab, para malaikat itu tidak turun kecuali ada perkara yang besar. Rasulullah saw bersabda tentang laylah al-qadr:


إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ إنَّ الْمَلاَئِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِى الأَرْضِ أَكْثَرُ مِن عَدَدِ الْحَصَى

Sesungguhnya laylah al-qadr itu adalah malam kedua puluh tujuh atau kedua puluh sembilan. Sesungguhnya para malaikat pada malam itu di bumi lebih banyak daripada jumlah kerikil (HR Ahmad dari Abu Hurairah).


Ditegaskan pula, pada malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar. Berita tersebut seharusnya membuat manusia kian memuliakan dan mengagungkan kitab Allah SWT itu; juga benar-benar berupaya mencari dan mengisi Lailatul Qadar dengan amal shalih.

Rasulullah saw. bersabda:


تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah Lailatul Qadar itu pada malam-malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan (HR al-Bukhari).


Pada hari-hari itu, Rasulullah saw. juga senantiasa bersungguh-sungguh dalam ibadah, melebihi dua puluh malam pertama. Aisyah ra. berkata:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.

Rasulullah saw. bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada malam yang lainnya (HR Muslim, at-Tirmidzi dan Ahmad).


Pada malam itu, disunnahkan bagi seorang Muslim untuk memperbanyak membaca al-Quran dan membaca doa. Sebab, doa pada waktu-waktu tersebut mustajab. Doa yang terus dibaca adalah doa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. yang berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika saya mendapatkan Lailatul Qadar, apa yang aku katakan?” Beliau bersabda:


تَقُولِينَ : اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ ، فَاعْفُ عَنِّي

Kamu berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampum, mencintai ampunan. Karena itu, ampunilah aku.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).


Mengingat besarnya keutamaan Lailatul Qadar,sudah sepatutnya kaum Muslim berusaha keras untuk mengisi malam-malam akhir pada bulan Ramadhan dengan berbagai ibadah dan amal shalih, termasuk berdakwah dan berjuang demi tegaknya hukum dalam Kitab dan as-Sunnah. Harus diingat, kesempatan itu tidak selalu ada. Jika kini kita masih berjumpa dengan Ramadhan, belum tentu tahun depan. Betapa beruntung kita jika mendapatkan sebuah malam yang lebih mulia dari seribu bulan atau delapan puluh tiga tahun lebih. Karunia apa lagi yang lebih besar dari itu?

Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb. []

Catatan kaki:

1 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, XV/533 (Kairo: Maktabah Hijr, 2003). Namun, menurut Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), Ibnu ‘Abbas memasukkannya ke dalam Madaniyyah.

2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964); Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633 (tt: Dar al-Wafa’, tt).

3 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).

4 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/27; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, V/504; al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327 (Beirut: Dar Ihyâ’ at-Turats, tt); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/441 (Riyad: Dar Thayyibah, 1999); al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383 (Beirut: Dar Ihya’ Ihya’ Turats al-‘Arabi, 1990); asy-Syaukani,Fath al-Qadîr, V/633.

5 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,XX/129.

6 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407 (Riyad: Maktabah Abikan, 1998).

7 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/411 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995).

8 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/412; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; Ibnu ‘Athiyah Al-Muharrar al-Wajîz, V/504; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993).

9 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, XX/129; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407

10 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/407; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, V/383; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.

11 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/415; Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/492.

12 Al-Baidhawi, Anwár at-Tanzîl wa Asrár at-Ta’wîl, V/327; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân (tt: Mu’assasah al-Risalah, 2000), 931; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, XXX/332 (Beirut: Dar al-Fikr, 1998).

13 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/633.

14 As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.

15 Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhîth, VIII/493.

16 As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, XV/534.

17 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, XXXIV/534 (Madinah: Muassasah al-Risalah, 200); Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, III/496.

18 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr,V/633.

19 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, XV/417; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634. Pendapat tersebut juga dipilih ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 34; as-Suyuthi,al-Durr al-Mantsûr, XV/538; az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, VII/408; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/443.

21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

22 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, XXXII/35.

23 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

25 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

26 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, V/634; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, VIII/444.

Sunday, August 29, 2010

RI - MALAYSIA, BERSATULAH! TINGGALKANLAH SERUAN - SERUAN JAHILIYAH!!




RI - MALAYSIA, BERSATULAH!

KARENA ALLAH TELAH MENYATUKAN KALIAN DENGAN IKATAN AQIDAH TINGGALKANLAH SERUAN - SERUAN JAHILIYAH!! DAN KEMBALILAH KALIAN KEPADA ISLAM DALAM NAUNGAN KHILAFAH ISLAMIYAH


Ibnu Ishaq berkata, "Syas bin Qais -orang tua yang sangat kafir- berjalan melewati beberapa shahabat Rasulullah SAW dari Al-Aus dan Al-Khazraj dalam satu majelis yang menyatukan mereka. Syas bin Qais jengkel melihat keakraban mereka, persatuan mereka, kebaikan hati mereka dengan Islam setelah sebelumnya bermusuhan pada masa jahiliyah. kemudian Syas bin Qais menyuruh pemuda Yahudi untuk menyusup dan berbaur dalam sebuah pertemuan dengan shahabat-shahabat Rasulullah SAW, serta menyuruh mengungkit Perang Bu'ats (perang yang terjadi antara Al-Aus dan Al-Khazraj yang dimenangkan Al-Aus) dan melantunkan syair-syair yang pernah mereka ucapkan dahulu.



Pemuda Yahudi tersebut melaksanakan perintah Syas bin Qais. Dalam pertemuan tersebut kaum Muslimin berbicara hingga mereka bertengkar dan membanggakan dirinya atas orang lain. Bahkan, dua orang dari Al-Aus dan Al-Khazraj meloncat keatas hewan kendaraannya. mereka adalah Aus bin Qadhi (dari Al-Aus) dan Jabbar bin Shakr (dari Al-Khazraj). keduanya berkata secara bergantian, kemudian salah seorang dari keduanya berkata kepada yang satunya, "jika kalian mau kami kembalikan anak Unta itu sekarang juga!" kedua belah pihak naik darah, mereka berkata , "ya, kami lakukan itu dan kita ketemu lagi di siang hari, senjata dengan senjata!". Kemudian Hal tersebut didengar oleh Rasulullah SAW, kemudian Beliau berangkat menemui mereka ditempat yang telah mereka sepakati dan ditemani beberapa shahabat dari kalangan Muhajirin. tiba ditempat mereka Rasulullah bersabda: "Wahai seluruh kaum Muslimin, ingatlah kalian kepada Allah, kenapa kalian mengikuti SLOGAN JAHILIYAH? padahal aku ada ditengah-tengah kalian, dan sebelumnya Allah telah memberi petunjuk kalian kepada Islam, memuliakan kalian dengan Islam, memutus segala kejahiliyahan dari kalian, menyelamatkan kalian dari kekafiran, dan MENYATUKAN HATI KALIAN!" kaum Muslimin dari Al-Aus dan Al-Khazraj sadar bahwa SLOGAN JAHILIYAH adalah TIPU DAYA SYETAN, dan SALAH SATU MAKAR DARI MUSUH ALLAH kepada mereka. Merekapun menangis dan setiap orang-orang dari Al-Aus dan Al-Khazraj saling merangkul dan berpelukan. Setelah itu mereka pulang bersama Rasulullah SAW dengan taat dan patuh kepada Beliau SAW. Sungguh Allah telah memadamkan dari mereka salah satu makar musuh Allah, kemudian Allah menurunkan FirmanNya:
"Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha menyaksikan apa yang kamu kerjakan?".Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan?". Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.(TQS Ali Imran: 98-99
)" (Siroh Nabawiyah Ibnu Hisyam, Bab 102, hal 519).



Wahai Kaum Muslimin!



Sungguh Allah dan Rasulnya sangat membenci permusuhan, diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,
"Janganlah kalian saling membenci, saling dengki, dan saling bermusuhan. Jadilah kalian hamba Allah yang besaudara. Dan tidak halal bagi seorang muslim memboikot saudaranya lebih dari tiga hari," (HR Bukhari [6065] dan Muslim [2559])
.
Dan setiap muslim adalah saudara bagi satu dengan yang lainnya, Rasulullah bersabda:
"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak mengecewakannya (membiarkannya menderita) dan tidak merusaknya (kehormatan dan nama baiknya)." (HR. Muslim), dan campakkanlah ashobiyah dari hati kalian dengan tegas Rasulullah bersabda: "Bukan termasuk golonganku yang menyeru kepada Ashobiyyah (kelompok/suku/bangsa), berjuang untuk Ashobiyyah dan mati diatas Ashobiyyah" ( HR.MUSLIM )




konflik yang terjadi antara dua negeri muslim (Indonesia-Malaysia) hanyalah rekayasa kaum kuffar untuk memecah belah kaum Muslimin, dengan menancapkan paham Nasionalisme (kepentingan bangsa diatas kepentigan lain, bahkan diatas kepentingan Dien yang Mulia ini yaitu Islam) kedalam hati kalian, mereka menciptakan garis batas khayal (berupa batas teritorial yang berdaulat) yang menyebabkan kalian tidak akan pernah bersatu, sungguh ikatan Nasionalisme adalah ikatan yang lemah, yang dengan ini kalian tidak akan pernah bangkit dari keterpurukan, ikatan ini hanyalah ikatan yang dibangun berdasarkan nafsu keegoisan kalian demi mempertahankan eksistensi kailan!



sadarlah wahai kaum muslimin sesungguhnya kaum kuffar sedang tertawa melihat kondisi kalian seperti ini, mereka tertawa melihat umat Islam terpecah belah, dan ingatlah peringatan Rasulullah tentang penyakit WAHN yang Allah tancapkan kedalam hati kalian bahwa Beliau SAW bersabda:
"Hampir tiba suatu zaman di mana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni kalian bagaikan orang-orang kelaparan mengerumuni hidangan mereka. seorang shahabat bertanya : Apakah karena jumlah kami sedikit waktu itu ? Beliau bersabda : Tidak, bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih dilautan. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. seorang shahabat bertanya : Wahai Rasulullah, apakah wahn itu ? Beliau bersabda : Mencintai dunia dan takut mati.(Shahih. HR.Abu Dawud [2/102], Imam Ar-Ruyani [25/134/2], Ahmad [5/287])"




Maka, Demi Allah,. saat ini kaum kuffar sedang menajajah negeri-negeri kalian wahai kaum muslimin, mereka mengambil potensi sumber daya alam kalian, mereka sudah tidak lagi gentar kepada kalian karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Allah dari dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Allah menjanjikan kepada kaum Muslimin dalam firmanNya:



سَنُلْقِي فِي قُلُوبِ الَّذِينَ كَفَرُواْ الرُّعْبَ بِمَا أَشْرَكُواْ بِاللّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَان



"Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu."(TQS. Ali Imran: 151)




Akan tetapi kekhususan tersebut dibatasi oleh sabda Rasulullah SAW yang menyatakan : Allah akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian.



Wahai Ummatul Qur'an, Ummat Muhammad!



Janganlah kalian percaya kepada orang-orang kafir, sesungguhnya mereka menghalangi kalian dari jalan Allah, sesungguhnya mereka menjadikan kalian kafir setelah kalian beriman kepada Allah, Allah SWT berfirman:



ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوَاْ إِن تُطِيعُواْ فَرِيقاً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ يَرُدُّوكُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنتُمْ تُتْلَى عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ وَمَن يَعْتَصِم بِاللّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ



"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan mengembalikanmu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus."




Sesungguhnya kekuatan umat Islam bukanlah pada jumlah dan perbekalannya, bukan juga pada tentara dan logistiknya, akan tetapi kekuatan kalian terletak pada IMAN dan AQIDAH kalian, yaitu AQIDAH ISLAMIYAH, Allah SWT berfirman:



كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِا



"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (TQS Ali- Imran: 110)




hanya dengan ikatan AQIDAH ISLAMIYAH kalian dapat bersatu dan menjadi umat terbaik dengan memgang teguh agama Allah, sebagaimana Rasulullah mempersatukan kaum Anshor dan Muhajirin, dan mereka memegang teguh Al-Qur'an dan as Sunnah, Allah SWT berfirman:



"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karuniaNya kami bersaudara; sedangkan ketika itu kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat." (TQS Ali Imran: 102-105
).



HADITS-HADITS LAIN TENTANG LARANGAN ASHOBIYAH

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dari Jabir bin Abdullah r.a. berkata,
"Kami berperang bersama Rasulullah saw, kaum muhajirin berkumpul bersama Rasulullah saw. sehingga mereka banyak. Dalam rombongan muhajirin ada seorang lelaki yang suka berkelakar. Ia memukul pantat seorang anshar. Maka marah besarlah orang anshar itu sehingga keduanya saling memanggil temannya. Si anshar berteriak, 'Hai orang-orang anshar!' Sedang si muhajirin berseru, 'Hai orang-orang muhajirin!' Maka Rasulullah saw. pun keluar dan berkata, 'Mengapa harus ada seruan ahli Jahiliyah? Kemudian Rasulullah saw. bertanya, 'Ada apa gerangan dengan mereka?' lalu diceritakan kepada beliau tentang seorang muhajirin yang memukul pantat seorang anshar. Maka Rasulullah saw. bersabda, 'Tinggalkanlah seruan Jahiliyah itu karena ia amat buruk'!"
(HR Bukhari [3518]).

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kamu berbangga-bangga dri ala jahiliyah dan berbangga-bangga dengan nenek moyang. Sesungguhnya diantara kalian ada yang mukmin lagi bertakwa dan ada yang fasik lagi celaka, kalian adalah anak keturunan Adam dan Adam diciptakan dari tanah. Hendaklah mereka meninggalkan kebiasaan membangga-banggakan golongan. Karena mereka hanyalah bara dari bara-bara api neraka atau mereka akan menjadi lebih hina dari pada seekor serangga yang mendorong kotoran dengan hidungnya,"
(Hasan, Abu Dawud [5116]).

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Barangsiapa berbangga-bangga dengan slogan-slogan jahiliyah, maka suruhlah ia menggigit kemaluan ayahnya dan tidak usah pakai bahasa kiasan terhadapnya,"
(Shahih, HR Bukhari dalam Adabul Mufrad [963]).

Friday, August 20, 2010

Bangkit Dari Keterpurukan menuju Kebangkitan dengan Islam




" Rasulullah SAW bersabda,' kelak umat lain akan mengerumuni kalian seperti orang-orang yang lapar mengerumuni hidangan. Salah seorang sahabat bertanya, 'apakah ketika itu jumlah kami sedikit?' Rasul menjawab, 'tidak, ketika itu jumlah kalian banyak, namun kalian seperti buih di lautan. Allah akan menghilangkan rasa takut dari musuh kalian, dan menumbuhkan WAHN ke dalam hati kalian.' Salah seorang sahabat bertanya,'apa itu WAHN, ya Rasulullah?' Rasul menjawab, 'cinta dunia dan takut mati'.." (HR Abu Dawud dan Ahmad)



Apa yang diprediksikan oleh Rasulullah melalui wahyu Allah sudah,sedang,dan akan slalu terjadi entah sampai kapan..



Berikut adalah sekelumit kronologis keterpurukan umat Muhammad:



- Abad 19, pada tahun 1916: barat dikomandoi Inggris dan Prancis, membagi wilayah tanah umat Islam dengan perjanjian Sykes Picot 1916



- 1916: Syarif Husain dan putranya, Faisal, serta keluarga Saud, sang pengkhianat dan agen Inggris, memberontak dan memobilisasi pejuang nasionalis arab untuk memerangi khilafah Turki Utsmani.



- 1915: Inggris mulai upaya penaklukan Iraq



- 1917: Inggris menaklukan Iraq



- November 1917: Jendral Lord Allenby,komandan pasukan Inggris, mengumumkan bahwa perang salib berakhir. Dan Turki telah dihancurkan dan takkan bangkit lagi. Karena ruh-nya, yakni khilafah dan Islam telah dilumpuhkan.



- 1918: Inggris menduduki ibukota khilafah Turki Utsmani di Istanbul, Turki



- 20 November 1922: Inggris menuntut 4 hal:

1. Sistem khilafah dihapuskan

2. Khalifah dikepung dan dibuang/di usir

3. Harta khalifah dirampas

4. Dasar negara Turki : sekulerisme



- 3 Maret 1924:

Khilafah Turki Utsmani resmi dihancurkan atas perintah Mustafa Kemal Attaturk, agen Inggris la'natullah alayh, dibantu kolonialis Inggris. Mengakhiri kejayaan Islam dan pemerintahan Islam slama 1300 tahun.



- Sejak 1921-1947, kolonialisme membawa masalah di dunia Islam: Iran, Arab Saudi, Mesir, Iraq, Yordania, Libanon, Syria, Pakistan, Indonesia,dan berbagai negeri Islam.



- November 1947: Deklarasi pembagian palestine menjadi 2 bagian: wilayah orang arab dan yahudi.



- 1948: Deklarasi pendirian negara ilegal Israel dan pengusiran,pembunuhan terhadap warga palestina.



- 1960: Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser, menyesatkan umat Islam dengan seruan kepada nasionalisme Arab. Banyak aktivis Islam ditangkap,penjara,dan dibunuh.



- 1967: Al Aqsa resmi dikuasai Israel



- hingga kini, Berbagai masalah,kesempitan hidup bermunculan tanpa solusi: India,Kashmir,Bosnia,Chechnya,Afghanistan,Pakistan,Palestina,Filipina,China,Azerbaijan,dll termasuk Indonesia.



- dalam waktu dekat, Khilafah berdiri,insya Allah







Sekelumit kronologi keterpurukan umat Islam diatas adalah gambaran riil kondisi mengenaskan seperti yang diprediksikan oleh Rasulullah. Dan fase jaman mengenaskan ini sudah menjadi sebuah Qadha'/ ketetapan Allah. Namun, ketetapan Allah ini juga mengharuskan kita umat Islam untuk merubah kondisi ini menjadi kondisi yang ideal.



' Innallaaha laa yughayyiru maa bi qaumin hattaa yughayyiruu maa bi anfusihim '

(sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri-Qs Ar Ra'd : 11)



Ketika umat Islam faham ayat ini,mereka takkan tinggal diam tanpa upaya untuk bangkit,dan hanya menunggu datangnya janji Allah akan kembalinya kejayaan Islam dibawah naungan khilafah. Mereka akan mengupayakan realisasi janji Allah. Karena dengan upaya itu pula,Allah akan dengan senang hati merubah keterpurukan umat Islam menjadi kebangkitan umat Islam. Selain itu,Allah takkan menyia-nyiakan melainkan akan membalas upaya hambaNya dengan pahala syurga firdaus.



Bagi sebagian umat Muhammad yang merasa cukup puas dengan perbaikan diri sendiri, ingatlah bahwa muslim adalah bersaudara dan satu tubuh. Ketika tangan atau kaki kita buntung,sakitlah sekujur tubuh kita.



Saudara-saudara muslim kita yang teraniaya memanggil kita,saudara mereka. Generasi Muhammad,nabi kita yang mulia,telah dibantai, seperti seekor serangga. Ketika mereka memanggil kita,apa yang umat Islam lakukan? Apakah kita melakukan apa yang dilakukan Rasulullah dan sahabatnya ketika saudara nya dinodai kehormatannya? Ketika Allah dan nabiNya di hina? Ketika al Qur'an diinjak-injak, dan terancam akan dibakar oleh musuh-musuhNya? Ketika ada seorang muslimah dilarang bahkan dipaksa menanggalkan jilbabnya? Apakah kita akan melawan sekuat tenaga kita sebagaimana yang dilakukan Rasulullah?



Sejauh ini,ternyata tidak!



Hanya Allah yang kita takuti. Di yaumil hisab,saudara-saudara kita,para syuhada, akan mengadukan perihal apa yang kita lakukan ketika mereka memohon pertolongan kita dan para penguasa muslim.

Cukuplah Allah sebagai pengingat kita akan kezhaliman dan kemaksiyatan yang telah kita lakukan.



Belalah dan perjuangkan Islam agar bisa diterapkan secara kaffah di muka bumiNya sesuai metode perjuangan Rasulullah SAW. Kembalikan kejayaan ISLAM dengan kembalinya KHILAFAH ISLAM yang akan menerapkan al Qur'an dan as Sunnah secara kaffah.

Sunday, August 8, 2010

Kiat Sukses Ramadhan


KEUTAMAAN RAMADHAN

Keutamaan bulan Ramadhan ini telah dideskripsikan sendiri oleh Nabi saw dalam khutbah baginda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Huzaimah dalam kitab Shahih-nya. Dalam khutbahnya, baginda menegaskan, bahwa Ramadhan adalah bulan yang agung dan penuh berkah. Di dalamnya terdapat satu malam yang nilai (amal shalih) di dalamnya lebih baik dari seribu bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai perbuatan sunnah (tathawwu’). Siapa saja yang mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan satu kebaikan,
maka nilainya sama dengan mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan lain. Siapa saja yang mengerjakan satu perbuatan wajib, maka nilainya sama dengan mengerjakan tujupuluh kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan juga bulan kesabaran, dan kesabaran itu balasannya surga. Ramadhan juga bulan tolong-menolong (ta’awun), di mana di dalamnya rezki seorang Mukmin akan bertambah. Siapa saja yang memberikan buka kepada orang yang berpuasa, maka itu akan menjadi maghfirah bagi dosa-dosanya, penyelamatnya dari api neraka dan ia memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa itu
.


Karena itu, meski bulan Ramadhan ini tidak termasuk asyhurul hurum (bulan haram), tetapi bulan ini memiliki keutamaan yang tiada duanya. Di bulan ini, Allah SWT telah menurunkan al-Qur’an, sebagaimana dituturkan Allah dalam surat al-Baqarah: 185. Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. di Gua Hira’ adalah Iqra’, diturunkan pada tanggal 17 Ramadhan 13 SH (sebelum Hijrah) atau bulan Juli 610 M. Karena itu, bulan ini juga disebut syahr al-Qur’an (bulan al-Qur’an).

Bulan ini juga dijadikan oleh Allah SWT sebagai bulan puasa, dimana ummat Islam diwajibkan untuk berpuasa selama sebulan penuh di bulan tersebut. Karena itu, bulan ini juga disebut syahru as-shiyam. Allah pun menetapkan puasa dan al-Qur’an sebagai pemberi syafaat pada Hari Kiamat (HR Ahmad, at-Thabrani dan al-Hakim). Tidak hanya itu, malaikat pun akan memintakan ampunan untuk orang yang berpuasa selama berpuasa hingga berbuka. Dan, Allah pun memberikan ampunan untuk mereka di akhir malam bulan Ramadhan.

Di bulan ini, Allah telah menjadikan salah satu malamnya, sebagai Lailatu al-Qadar, yaitu satu malam yang nilainya lebih baik dibanding seribu bulan (Q.s. al-Qadar [97]: 1-5), tentu jika digunakan untuk melakukan amal shalih, seperti shalat, membaca al-Qur’an, dzikir dan sebagainya. Maka, satu perbuatan baik yang dilakukan di malam itu nilainya masih lebih baik ketimbang perbuatan yang sama dilakukan selama seribu bulan. Itulah malam Lailatu al-Qadar, yang hanya ada di bulan Ramadhan.

Nabi menuturkan, “Jika memasuki bulan Ramadhan, maka semua pintu langit dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahannam ditutup, sementara syaitan dibelenggu.” (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ibn Hibban). Tidak hanya itu, pahala perbuatan baik di bulan Ramadhan juga dilipatgandakan oleh Allah. Melakukan satu amalan sunnah, pahalanya sama dengan amalan fardhu di bulan lain. Melakukan satu amalan fardhu, nilainya dilipatgandakan menjadi 70 kali di bulan lain. Karena itu, Nabi menggunakan bulan ini untuk melipatgandakan amal shalih. Dalam riwayat Ibn ‘Abbas, dituturkan, bahwa Nabi adalah orang paling dermawan, dan lebih dermawan lagi ketika bulan Ramadhan, saat Jibril menemui baginda saw. untuk mengecek hapalan al-Qur’an baginda saw.

Wajar jika Nabi pun memerintahkan wanita kaum Anshar untuk pergi berumrah di bulan Ramadhan. Dituturkan dari Ibn ‘Abbas, Nabi pernah bersabda, “Jika tiba bulan Ramadhan, maka berumrahlan kamu, karena umrah di bulan itu sama pahalanya dengan haji.” Karena itu pula, para sahabat dan generasi kaum Muslim setelahnya menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai bulan jihad, selain karena perintah berjihad fi sabilillah itu diturunkan pada bulan Ramadhan, juga banyak sekali kemenangan yang ingin mereka raih di bulan suci ini, karena taqarrub mereka kepada Allah SWT.

Tercatatlah sejumlah peristiwa penting pada bulan Ramadhan. Tujuh belas bulan setelah Hijrah, Nabi mengirim detasemen Hamzah yang membawa bendera pertama yang diserahkan oleh baginda saw. Detasemen ini dikirim untuk menghadang rombongan kaum Quraisy yang datang dari Syam menuju ke Makkah. Perang Badar Kubra yang disebut dalam al-Qur’an sebagai Yaum al-Furqan (Hari Pembeda) meletus pada Hari Jum’at, 17 Ramadhan 2 H. Jumlah pasukan kaum Muslim saat itu hanya 313, terdiri dari 1 menunggang kuda, sisanya jalan kaki. Tercatat 14 di antara mereka sebagai syuhada’ Badr. Sementara pasukan kaum Kafir Quraisy berjumlah 1000 orang; 80 orang pasukan berkuda, sisanya jalan kaki; 70 orang gugur, 70 lainnya menjadi tawanan perang. Dalam peristiwa ini, pasukan kaum Muslim dibantu oleh 5000 malaikat (Q.s. Ali ‘Imran [03]: 125).

Di bulan suci ini pula, Rasulullah dan para sahabat berhasil menaklukkan kota Makkah, tepatnya pada bulan Ramadhan 8 H. Penaklukan kota Makkah ini juga disebut penaklukan agung (al-fath al-a’dham). Kaum Kafir Quraisy pun berbondong-bondong masuk Islam, termasuk Abu Sufyan dan para pemuka Kafir Quraisy. Pada saat itulah, turun perintah untuk menghancurkan berhala dari sekitar Ka’bah. Karena itu, bulan Ramadhan juga dikenal sebagai syahru al-jihad wa al-intishar (bulan Jihad dan Kemenangan).

KIAT-KIAT SUKSES RAMADHAN

Inilah keutamaan bulan Ramadhan. Dengan mengetahui nilai dan keutamaan bulan Ramadhan ini, maka seorang Muslim yang sadar, tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun kesempatan di bulan suci ini. Inilah kunci sukses meraih kemuliaan di bulan Ramadhan, yaitu mengerti nilai dan keutamaan bulan ini. Dengan begitu, dia tahu apa yang harus diraih. Sekedar contoh, jika 1 perbuatan wajib nilainya 70 kali perbuatan wajib di luar bulan Ramadhan, maka jika dikalkulasi dalam 1 hari ada 5 kali shalat dan 1 puasa, berarti 6 perbuatan wajib dikalikan 70, sama dengan 420. Dalam sehari saja, minimal seorang Muslim akan mendapatkan pahala setara dengan 420 perbuatan wajib di luar bulan Ramadhan. Jika nilai ini dikalikan 30 hari, maka dia akan mendapatkan 12,600 kali perbuatan wajib. Itu baru 6 kali perbuatan wajib, lalu bagaimana kalau dia berdakwah, yang nota bene hukumnya wajib? Pasti pahalanya lebih banyak lagi. Belum lagi kalau ditambah dengan perbuatan sunah.

Nah, kesadaran inilah yang harus dimiliki tiap Muslim, sehingga dia tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun kesempatan emas di bulan suci ini. Lalu bagaimana kiat-kiat kita agar sukses meraih seluruh kemulian di bulan ini?

Pertama, selain menyadari kemuliaan bulan ini, dia harus menyadari bahwa sebagai manusia yang tidak bebas dari dosa (ma’shum), Ramadhan adalah kesempatan emas untuk meraih ampunan dan melipatgandakan amal shalih. Karena inilah bekal untuk menghadap Allah pada Hari Kiamat. Kesadaran ini harus tumbuh kokoh dalam diri kita, sebagai satu-satunya motivasi amal kita.

Kedua, untuk meraih semuanya tadi, setiap Muslim harus mempunyai program pribadi selama Ramadhan, antara lain:

1- Taubatan nashuha: Taubatan nashuha adalah taubat dengan melepaskan diri dari dosa, menyesalinya dan tidak mengulanginya kembali, diikuti dengan kesungguhan melakukan amal shalih yang dilandasi keimanan. Jika ada hak orang lain yang terkait dengan materi atau non-materi, maka harus segera dikembalikan, atau minta dihalalkan. Karena itu, taubat ini menjadi poin pertama, dan pondasi program-program berikutnya.

2- Menjaga pendengaran, lisan dan mata dari perkara yang diharamkan, baik di siang hari maupun di malam hari bulan Ramadhan.

3- Menjaga amalan-amalan sunah dan nafilah.

4- Menjaga shalat rawatib (5 waktu) berjamaah di masjid.

5- Berkeingan kuat untuk menjadi saksi adzan, iqamat, takbiratul ihram bersama imam, dan berdiri di baris terdepan.

6- Menjaga shalat Tarawih, shalat syaf’ (shalat 2-10 rakaat) sebelum witir, dan witir. Biasanya shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat, atau 10 rakaat, kemudian dilanjutkan malam harinya dengan 2-10 rakaat, kemudian ditutup dengan witir 1 rakaat, atau 2-8 rakaat, kemudian witir 3 rakaat.

7- Menjaga qiyamullail.

8- Membaca minimal 1 juz tiap hari.

9- Menghapal sebagian ayat al-Qur’an tiap hari.

10- Menghapal satu hadits atau lebih tiap hari.

11- Silaturrahmi kepada kerabat.

12- Bergaul dengan kaum Muslim dan mengetahui keadaan mereka.

13- Dzikir dan mengingat Allah serta mensucikannya setiap waktu, disertai menjaga dzikir waktu Subuh dan petang.

14- Berinfaq suka rela dengan memberi makan satu atau lebih orang yang berpuasa tiap hari, meski hanya dengan satu buah kurma.

15- Mengutamakan bersedekah kepada fakir miskin atau orang yang membutuhkan setiap hari, meski dengan kadar yang paling minim sekalipun.

16- Menjaga shalat Dhuha setiap hari.

17- Melakukan shalat dua rakaat setelah berwudhu’.

18- Menghadiri majlis ilmu.

19- Mempelajari minimal satu bab fiqih setiap hari.

20- Membaca ringkasan Sirah Nabi dan Akidah.

21- Berusaha mendamaikan atau menyelesaikan urusan orang yang bermasalah.

22- Berdoa saat berbuka sebagaimana doa yang diajarkan Nabi.

23- Dermawan dan membantu orang lain..

24- Berdakwah kepada Allah, amar makruf dan nahi munkar..

25- Menolong kaum Muslim yang berjihad di manapun.

26- Menyegerakan buka, dan mengakhirkan sahur.

27- Berbakti kepada kedua orang tua, baik yang masih ada, maupun telah tiada.

28- Melakukan i’tikaf pada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan.

29- Melaksanakan umrah, karena umrah di bulan Ramadhan sama sekali haji bersama Rasulullah saw.

30- Menjaga pelaksanaan shalat Idul Fitri bersama kaum Muslim.

31- Berpuasa 6 hari bulan Syawal, atau Ayyam al-Bidh.

Ketiga, meski telah dibuat program, namun dalam praktiknya, kadang-kadang program tersebut, karena satu dan lain hal, tidak berjalan sesuai dengan rencana. Untuk itu diperlukan langkah berikutnya, yaitu kesungguhan dalam menjalankan program-program yang telah dibuat. Jika sudah ada kesungguhan, tetapi masih tidak bisa berjalan karena ada prioritas pekerjaan lain, maka bisa dibuat substitusi, yaitu program pengganti, agar nilai yang ingin diraih melalui amal yang tidak bisa dijalankan tersebut bisa digantikan dengan yang lain.

Keempat, menjadikan malam hari, sebagai malam muhasabah (evaluasi) dan takhthith (perencanaan). Yang dievaluasi adalah apa yang telah dikerjakan dan diperoleh selama sehari, dan apa yang bisa dan harus diraihnya besok. Ini dilakukan setelah melaksanakan shalat syaf’i dan witir. Dengan begitu, dia akan menatap agenda harinya esok dengan mantap dan jelas, tanpa ragu. Untuk memudahkan evaluasi dan perencanaan, bisa dibuat daftar pengecekan yang berisi poin-poin aktivitas di atas.

Inilah beberapa kiat sukses untuk mendapatkan kemuliaan di bulan suci Ramadhan, agar tak satu pun kesempatan emas di dalamnya terbuang sia-sia.


HUKUM-HUKUM PENTING SEPUTAR RAMADHAN


Selain beberapa hukum seputar Ramadhan yang telah dijelaskan di atas, Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din menjelaskan beberapa hukum penting seputar puasa Ramadhan:

1- Wajib: Dalam hal ini ada beberapa hukum yang harus dilaksanakan oleh seorang Muslim: (1) Memonitor datangnya awal Ramadhan dengan merukyat hilal. Ini hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak menemukan hilal, maka hitungan bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. (2) Niat berpuasa Ramadhan, dan tempatnya di dalam hati. (3) Mencegah masukkan apapun ke dalam salah satu lubang di dalam tubuh secara sengaja, baik telinga, hidung, kemaluan maupun dubur. (4) Menahan diri dari berhubungan badan (jimak). (5) Menahan diri dari mengeluarkan sperma secara sengaja, baik berciuman maupun onani. (6) Tidak muntah dengan sengaja. Karena sengaja muntah bisa membatalkan puasa.

2- Sunnah: Adapun perkara yang disunnahkan adalah: (1) Mengakhirkan sahur. (2) Menyegerakan buka puasa, baik dengan kurma, atau air sebelum shalat Maghrib. (3) Dermawan di bulan Ramadhan. (4) Mengkaji dan mendalami al-Qur’an. (5) I’tikaf di masjid, terutama pada hari sepuluh terakhir di bulan Ramadhan, karena ini merupakan kebiasaan Rasulullah saw. Ketika memasuki hari sepuluh terakhir, baginda saw. banyak meninggalkan tempat tidur, mengencangkan sarung, bersungguh-sungguh dan memotivasi keluarganya untuk bersungguh-sungguh beribadah, karena di sana ada malam Lailatu al-Qadar. Baginda pun tidak keluar meninggalkan iktikaf, kecuali untuk melayani kebutuhan orang.

3- Mubtilat as-Shaum: Beberapa perkara yang bisa membatalkan puasa: (1) Makan, minum dengan sengaja. (2) Jimak dan mengeluarkan sperma dengan sengaja. (3) Haid dan nifas. (4) Sengaja muntah. (5) Memasukkan sesuatu dengan sengaja ke dalam salah satu lubang tubuh (mulut, hidung, telinga, kemaluan dan dubur). (6) Transfusi darah bagi orang sakit yang membutuhkan darah. (7) Bekam dan donor darah, karena ada hadits yang menyatakan, “Berbuka orang yang membekam dan dibekam.” (8) Infus cairan dalam tubuh untuk asupan makanan.

4- Mubahat: Perkara yang dibolehkan: (1) Siwak dan gosok gigi. (2) Mencicipi makanan, selama tidak masuk ke tenggorokan. (3) Menggunakan celak mata. (4) Infus cairan bukan untuk asupan makanan. Ini diperbolehkan, setidaknya menurut Ibn Taimiyyah. (5) Memeriksa darah, dengan mengambil sample darah, karena yang diambil hanya setetes atau dua tetes darah. (6) Muntah dengan tidak sengaja.

5- Udzur: Adapun udzur yang membolehkan seseorang untuk membatalkan puasanya, bisa dipilah menjadi tiga: (1) Udzur yang mewajibkan berbuka dan haram berpuasa. Jika berpuasa, malah tidak sah. Misalnya, haid dan nifas bagi wanita. Kepadanya diwajibkan mengganti puasanya. (2) Udzur yang dibolehkan tidak berpuasa, bahkan adakalanya wajib. Menurut pendapat Jumhur ulama, dia tidak wajib mengganti puasa, tetap wajib memberi makan fakir miskin. Misalnya orang yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa dan orang sakit parah yang tidak ada harapan sembuh. (3) Udzur yang membolehkan tidak berpuasa, boleh jadi dalam kondisi tertentu wajib tidak berpuasa dan wajib mengganti, atau boleh berpuasa dan tidak, dan jika tidak berpuasa, maka wajib mengganti. Misalnya seperti orang sakit dan bepergian.

Ini beberapa hukum penting seputar puasa Ramadhan yang telah digariskan oleh Islam.