Thursday, January 17, 2008

MeNjaWab KeBoHoNgAn AhMaDiYah

Oleh: H.M. Amin Jamaluddin

*Berbagai aliran sesat sudah terbiasa menggunakan kiat-kiat untuk mengelabui dan membohongi masyarakat dalam menyebarluaskan paham-pahamnya. Berbagai kebohongan, pengaburan, dan tipu daya juga seringkali dimunculkan dalam kasus seputar Ahmadiyah. Pada tanggal 3 Januari 2008, Jemaat Ahmadiyah Indonesia berkirim surat berupa “Ringkasan Penjelasan tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia” kepada Azyumardi Azra di kantor Sekretariat Wakil Presiden.Tulisan ringkas berikut ini merupakan jawaban-jawaban ringkas dan jitu untuk meluruskan beberapa penjelasan kaum Ahmadiyah, seperti dalam surat mereka ke Azyumardi Azra di kantor Wapres tersebut. Berikut ini beberapa penjelasan Ahmadiyah dan jawaban kita. Ahmadiyah mengatakan:

1. “Syahadat kami adalah syahadat yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “Asyhadu anlaa-ilaaha illallahu wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”

Jawab kita: Kita perlu berhati-hati dan mencermati pengakuan semacam itu. Sejak berdirinya, Jemaat Ahmadiyah sudah mengaburkan makna syahadat, meskipun lafalnya sama dengan syahadat orang Islam. Kaum Ahmadiyah mengklaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah juga Muhammad dan Rasul Allah. Simaklah buku Memperbaiki Kesalahan (Eik Ghalthi Ka Izalah), karya Mirza Ghulam Ahmad, yang dialih bahasakan oleh H.S. Yahya Ponto, (terbitan Jamaah Ahmadiyah cab. Bandung, tahun 1993). Di situ tertulis penjelasan terhadap ayat al-Quran berikut ini:محمد رسول الله والذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم Dalam buku ini, Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan, siapa yang dimaksud dengan “Muhammad” dalam ayat tersebut, yakni: “Dalam wahyu ini Allah SWT menyebutku Muhammad dan Rasul…(hal. 5). Jadi, inilah perbedaan keimanan yang sangat mendasar antara Ahmadiyah dengan orang Muslim. Sebab, bagi umat Islam, kata Muhammad dalam syahadat, adalah Nabi Muhammad saw yang lahir di Mekkah, bukan yang lahir di India. Lebih jauh lagi, dikatakan dalam buku ini:“Dan 20 tahun yang lalu, sebagai tersebut dalam kitab Barahin Ahmadiyah Allah Taala sudah memberikan nama Muhammad dan Ahmad kepadaku, dan menyatakan aku wujud beliau juga.” (Hal. 16-17). “….. Dalam hal ini wujudku tidak ada, yang ada hanyalah Muhammad Musthafa SAW, dan itulah sebabnya aku dinamakan Muhammad dan Ahmad.” (Hal. 25)

Dalam Majalah Bulanan resmi Ahmadiyah “Sinar Islam” edisi 1 Nopember 1985 (Nubuwwah 1364 HS), rubrik “Tadzkirah”, disebutkan:“Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Brahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatku manifestasi dari semua Nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, Aku Seth, Aku Nuh, Aku Ibrahim, Aku Ishaq, Aku Ismail, Aku Ya’qub Aku Yusuf, Aku Musa, Aku Daud, Aku Isa, dan Aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad SAW, yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi. (Haqiqatul Wahyi, h. 72).” (Hal. 11-12)

Sekali lagi, yang menjadi masalah adalah bahwa bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad juga mengaku sebagai Muhammad saw, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Bahkan, dalam buku Ajaranku, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Yayasan Wisma Damai, Bogor, cetakan keenam,1993, disebutkan: “….. di dalam syariat Muhammad s.a.w akulah Masih Mau’ud. Oleh karena itu aku menghormati beliau sebagai rekanku …..” (Hal. 14)

2. Ahmadiyah mengatakan; “Kitab Suci kami hanyalah Al Qur’anul Karim.” Ahmadiyah juga mengatakan, bahwa “Tadzkirah” bukanlah kitab suci mereka, tetapi merupakan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada tahun 1935 (27 tahun setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia tahun 1908).

Jawab kita: Penjelasan Ahmadiyah ini juga tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam kitab Tadzkirah yang asli tertulis di lembar awalnya kata-kata berikut ini: “TADZKIRAH YA’NI WAHYU MUQODDAS”, artinya TADZKIRAH adalah WAHYU SUCI. Jadi, kaum Ahmadiyah jelas menganggap bahwa kitab Tadzkirah adalah “wahyu yang disucikan”. Karena itu, sangat tidak benar jika mereka tidak mengakuinya sebagai Kitab Suci. Sangat jelas, mereka memiliki kitab suci lain, selain al-Quran, yaitu kitab Tadzkirah. Tentu saja, umat Islam seluruh dunia menolak dengan tegas, bahwa setelah Nabi Muhammad saw, ada nabi lagi, atau ada orang yang menerima wahyu dari Allah SWT.

Dalam buku Apakah Ahmadiyah itu? Karangan HZ. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad disebutkan: Hadhrat Masih Mau’ud a.s tampil ke dunia dan dengan lantangnya menyatakan, bahwa Allah Ta’ala bercakap-cakap dengan beliau dan bukan dengan diri beliau saja, bahkan Dia bercakap-cakap dengan orang-orang yang beriman kepada beliau serta mengikuti jejak beliau, mengamalkan pelajaran beliau dan menerima petunjuk beliau. Beliau berturut-turut mengemukakan kepada dunia Kalam Ilahi yang sampai kepada beliau dan menganjurkan kepada para pengikut beliau, agar mereka pun berusaha memperoleh ni’mat serupa itu.” (hal. 63-64).

3. “Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.”

Jawab kita:Pengakuan kaum Ahmadiyah ini pun nyata-nyata tidak sesuai dengan fakta yang ada pada buku-buku dan terbitan mereka. Dalam buku Amanat Imam Jemaat Ahmadiyah Khalifatul Masih IV Hazrat Mirza Tahir Ahmad Pada Peringatan Seabad Jemaat Ahmadiyah Tahun 1989 terbitan Panita Jalsah Salanah 2001, 2002 Jemaat Ahmadiyah Indonesia, disebutkan:“Saya bersaksi kepada Tuhan Yang MahaKuasa dan Yang Selamanya Hadir bahwa seruan Ahmadiyah tidak lain melainkan kebenaran. Ahmadiyah adalah Islam dalam bentuknya yang sejati. Keselamatan umat manusia bergantung pada penerimaan agama damai ini.” (Hal. 6)Bilakhir, perkenankanlah saya dengan tulus ikhlas mengetuk hati anda sekalian sekali lagi agar sudi menerima seruan Juru Selamat di akhir zaman ini.” (Hal. 10)

Bahkan, Ahmadiyah punya istilah sendiri untuk menamai para pengikut ajarannya, dengan tujuan membedakan diri dari orang-orang Islam lainnya:Dalam buku Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad - Imam Mahdi dan Masih Mau’ud Pendiri Jemaat Ahmadiyah, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, cetakan kedua, 1995, disebutkan: “Pada tahun 1901, akan diadakan sensus penduduk di seluruh India. Maka Hazrat Ahmad as. menerbitkan sebuah pengumuman kepada seluruh pengikut beliau untuk mencatatkan diri dalam sensus tersebut sebagai Ahmadi Muslim. Yakni, pada tahun itulah Hazrat Ahmad as. telah menetapkan nama Ahmadi bagi para pengikut beliau as., untuk membedakan diri dari orang-orang Islam lainnya.” (Hal. 47) Kaum Ahmadiyah juga menyebut, jemaat mereka adalah laksana perahu Nabi Nuh yang menyelamatkan. Yang tidak ikut perahu itu akan tenggelam.

Dalam Majalah Bulanan resmi Ahmadiyah “Sinar Islam” edisi 1 Juli 1986 (Wafa 1365 HS), pada salah satu tulisan dengan judul Ahmadiyah Bagaikan Bahtera Nuh Untuk Menyelamatkan Yang Berlayar Dengannya, oleh Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV, dinyatakan:“Aku ingin menarik perhatian kalian kepada sebuah bahtera lainnya yang telah dibuat di bawah mata Allah dan dengan pengarahanNya. Kalian adalah bahtera itu, yakni Jemaat Ahmadiyah. Masih Mau’ud a.s. diberi petunjuk oleh Allah melalui wahyu yang diterimanya bahwa beliau hendaklah mempersiapkan sebuah Bahtera. Bahtera itu adalah Jemaat Ahmadiyah yang telah mendapat jaminan Allah bahwa barang siapa bergabung dengannya akan dipelihara dari segala kehancuran dan kebinasaan.”.………….Ini adalah suatu pelajaran lain yang hendaknya diperhatikan oleh anggota-anggota Jemaat. Sungguh terdapat jaminan keamanan bagi mereka yang menaiki Bahtera Nuh, baik bagi para anggota keluarga Masih Mau’ud a.s. maupun bagi orang-orang yang, meskipun tidak mempunyai hubungan jasmani dengannya, menaiki Bahtera itu dengan jalan mengikuti ajaran beliau”. ………….“Semoga Allah memberi kemampuan kepada kita untuk melindungi Bahtera ini dengan sebaik-baiknya, dengan ketakwaan dan ketabahan yang sempurna, dan dengan kebenaran yang sempurna – Bahtera yang telah dibina demi keselamatan seluruh dunia. Amin!”. (Hal. 12, 13, 16, 30)

Kesimpulan:
Kita jangan mudah tertipu dengan penjelasan-penjelasan yang tampak indah, padahal, dunia Islam sejak dulu sudah tahu, apa dan bagaimana sebenarnya ajaran Ahmadiyah. Intinya, mereka mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, Isa al-Mau’ud, dan Imam Mahdi. Mereka juga tidak mau bermakmum kepada orang Islam dalam shalat, karena orang Islam tidak mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi.
Jadi, antara Islam dan Ahmadiyah memang ada perbedaan dalam masalah keimanan. Oleh sebab itulah, berbagai fatwa lembaga-lembaga Islam internasional sudah lama menyatakan, bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Kita berharap para pejabat dan cendekiawan kita tidak mudah begitu saja menerima penjelasan Ahmadiyah, tanpa melakukan penelitian yang mendalam. Sebab, tanggung jawab mereka bukan saja di dunia, tetapi juga di akhirat. Kita hanya mengingatkan mereka, tanggung jawab kita masing-masing di hadapan Allah SWT.

Penulis adalah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam

(sumber : www.hidayatullah.com; Rabu, 16 Januari 2008 )

MUI Desak Pemerintah Selesaikan Masalah Ahmadiyah

logomui.jpgDalam rilis nya Majelis Ulama Indonesia mendesak pemerintah menyelesaikan masalah Ahmadiyah. MUI juga meminta masyarakat tak main hakim sendiri

Berkaitan dengan kasus terbaru pernyataan Ahmadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sebuah rilis dan pernyataan sikap. Di bawah ini adalah pernyataan MUI yang terbaru:

Setelah mendengar penjelasan dari Kepala Badan Litbang Departemen Agama RI, Sekjen Departemen Agama RI, Dirjen Bimas Islam Departemen Agama RI dan melakukan diskusi secara intensif, MUI berkesimpulan :

  1. Bahwa 12 (dua belas) butir penjelasan yang disampaikan Pengurus Besar Jema’at Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) dihadapan rapat Badan Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) Selasa, 15 Januari 2008 bukan merupakan kesepakatan antara PB JAI dengan Departemen Agama RI, tetapi merupakan pernyataan sikap dari PB JAI sendiri.
  2. Bahwa Bakor Pakem, belum membuat keputusan apapun tentang status hukum Ahmadiyah.
  3. Bahwa Bakor Pakem akan terus mengkomunikasikan masalah penyelesaian Ahmadiyah ini dengan MUI.
  4. MUI berpendapat bahwa 12 butir penjelasan Ahmadiyah tersebut belum menunjukkan dan mencerminkan adanya perubahan sikap dan keyakinan dari Ahmadiyah dari sikap dan keyakinan awalnya.
  5. Untuk penyelesaian masalah ini, MUI mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ini dan menghimbau masyarakat dan ummat Islam untuk tenang dan tidak melakukan tindakan sendiri-sendiri yang melanggar hukum.

Jakarta, 16 Januari 2008

Ketua MUI: KH. Ma’ruf Amin

Sekretaris Umum MUI : Drs. HM. Ichwan Sam

Sumber: http://hidayatullah.com

MUI Belum Akan Cabut Fatwa Sesat

Majelis Ulama Islam (MUI) mengatakan, 12 pernyataan yang dirilis Ahmadiyah hanya sebatas retorika alias kata-kata “karet”. MUI perlu sikap tegas Ahmadiyah. Selama Ahmadiyah belum mengakui Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi dan rasul maka MUI pun tidak akan mencabut fatwa sesat itu. “Tidak. Fatwa itu belum dicabut,” kata Ketua Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH Ma’ruf Amin kepada detikcom di Kompleks Masjid Istiqal, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Selasa (15/1) tadi siang.

Menurut Ma’ruf, 12 pernyataan Ahmadiyah rumusannya karet semua. “Di sana tidak ada yang menyatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu bukan nabi dan rasul melainkan apa itu terserah. Tetapi ketika itu belum ada, mereka masih belum klarifikasi,” ujarnya. Tetapi dalam 12 pernyataan Ahmadiyah telah disebutkan Mirza adalah guru?

“Iya rumusan itu ngaret bahwa mereka mengatakan nabi sebagai akhir membawa syariat. Jadi di sini tidak menutup kemungkinan ada nabi lagi yang tidak membawa syariat. Jadi kalimat itu belum mengunci. Mereka masih mengakui karena tidak ada kalimat yang straight… menyatakan tidak ada nabi dan rasul setelah Nabi Muhammad,” paparnya.

Sementara itu, MUI mengaganggap terlalu terburu-buru sikap Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) Pusat memberi waktu bagi Ahmadiyah selama 3 bulan untuk membuktikan 12 pernyataan yang dirilisnya.

“Itu terlalu terburu-buru Pakem. 12, 13 (pernyataan) atau berapa sebenarnya intinya 1 saja sudah cukup bahwa Mirza bukan rasul dan nabi, itu saja,” kata Ketua Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, KH Ma’ruf Amin kepada detikcom di Kompleks Masjid Istiqlal.

[http://www.hidayatullah.com/]