Beberapa waktu lalu,pemerintah RI melalui depkeu melakukan kebijaksanaan kontroversial. Depkeu berencana memangkas anggaran pertahanan RI sebesar 15%. Rencana ini menuai kontroversi karena akan menghambat reformasi di tubuh TNI dan peremajaan peralatan militer TNI.
Pada waktu yang sama,presiden SBY menerima kunjungan menhan AS,Robert Gates. Pertemuan itu membahas tiga diantaranya : harmonisasi hubungan militer AS-Indonesia (termasuk pembelian 6 pesawat tempur AS F-16 senilai 30 juta $ dalam jangka waktu 5 tahun mulai tahun depan),isu terorisme,dan komitmen Indonesia terhadap perjanjian antara kedua negara.
Selain agenda lain yang dibicarakan,wajar juga muncul pertanyaan, 'apa kaitan pemangkasan anggaran pertahanan RI dengan kunjungan menhan AS?'
PRAGMATISME POLUGRI INDONESIA
Pertanyaan diatas mungkin tidak sesederhana yang kita duga dengan realitas percaturan politik luar negeri (polugri) Indonesia. Bukan pertama bahkan berulang kali negeri kita didikte oleh pemerintah AS maupun pemerintah negara-negara besar lainnya. Ketika presiden Rusia Vladmir Putin berkunjung ke Indonesia,muncul pertanyaan, 'akankah Indonesia berkiblat ke Rusia?'. Pasalnya,seak September 2007,presiden SBY menjalin hubungan intensif dengan Rusia. Dugaan ini dibantah oleh jubir presiden Dino Patti Jalal. Menurut Dino, hubungan Rusia-Indonesia adalah dalam rangka politik keseimbangan (ekuilibrium). "Presiden selalu mengatakan ekuilibrium,tapi ada istilah lain yang digunakan oleh presiden : 'all forum policy' yang artinya : semua orang kita temani dan dari semua orang,kita petik manfaat dari kemitraan atau partnership",tegas Dino.
Pendapat berbeda datang dari ketua Lajnah Siyasiyah HTI, MR Kurnia. Menurutnya, pernyataan Dino Patti Jalal sejatinya menunjukkan sikap pragmatis pemerintah dalam polugri-nya. "Melalui paradigma ini, wajar belaka,apapun dilabrak,yang penting semua pihak ditemani asal ada manfaatnya",ujarnya. MR Kurnia mengkritisi manfaat apa yang diperoleh dari partnership yang dijalin pemerintah dengan pemerintah asing. Selama ini,hubungan luar negeri Indonesia dengan negara asing terutama negara-negara besar justru lebih banyak merugikan daripada menguntungkan rakyat Indonesia. Disintegrasi Timor Timur adalah bukti nyata kegagalan polugri Indonesia. Pada waktu itu,pemerintah Indonesia hanya tunduk pada kebijakan PBB dan tekanan asing yang mengakibatkan Timor Timur lepas dari NKRI setelah diadakan referendum. Hal senada diungkapkan oleh Budi Mulyana, staf pengajar hubungan internasional UNIKOM Bandung. Indonesia lebih banyak dirugikan tidak hanya secara politis tapi juga ekonomis. Budi mencontohkan lepasnya blok Cepu dari Indonesia setelah mendapat tekanan dari pemerintah AS. Bukan suatu kebetulan, ketika terjadi perundingan alot blok Cepu, petinggi AS seperti menlu AS kala itu, Condoleeza Rice (14-15 Mei 2006) dan menhan AS kala itu, Donald Rumsfeld (6 Juni 2006) segera berkunjung ke Indonesia.
Kasus perjanjian DCA Singapura-Indonesia adalah contoh lain meskipun akhirnya dibatalkan. Awalnya, pemerintah bersikeras merealisasikan perjanjian tersebut meskipun amat merugikan terutama aspek pertahanan dan keamanan. Perjanjian DCA membuka peluang bagi Singapura dan AS untuk bebas keluar masuk wilayah NKRI.
Kini perjanjian yang mengancam aspek pertahanan dan kemanan serta ekonomi juga sedang dan akan terus berlangsung. Dengan kunjungan menhan AS, dalam bidang pertahanan, AS dan Indonesia sepakat menjalin kerjasama militer dan memerangi para teroris dalam rangka 'war on terrorism' selain membahas persoalan selat Malaka. Dalam bidang ekonomi, kunjungan menhan AS terkait erat dengan rencana pemerintah RI membatalkan perjanjian Exxon mobil dengan AS. Tentu hal ini amat merisaukan pemerintah AS.
Lalu, dimana peran politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif? Melihat ketergantungan Indonesia pada kepentingan asing, ternyata politik luar negeri Indonesia tidak bebas-aktif.
POLUGRI BEBAS AKTIF? POLUGRI KHILAFAH
Kondisi politik luar negeri Indonesia sangat memprihatinkan. Padahal, jika pemerintah berani menolak untuk 'say no' kepada kebijakan pemerintah asing yang merugikan rakyat dan bangsa sendiri, niscaya 'Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman'. Umat,sadar atau tidak,kini mendambakan pemimpin seberani dan setegas Sultan Abdul Hamid II yang dengan tegas menolak upaya Theodore Hertzel, pemimpin zionis yahudi, untuk mendirikan negara Israel di bumi Palestina. Namun, kini tak ada satu pun pemimpin di dunia yang berani menolak bahkan mereka bermanis muka dengan melayani nafsu para imperialis yang beramai-ramai menjarah sumber daya alam dan mengancam kedaulatan negeri-negeri islam. Sikap ini diakibatkan paradigma polugri yang keliru : all forum policy : semua orang kita temani dan dari semua orang kita petik manfaat dari kemitraan atau partnership. Akibatnya, kita salah menilai siapa kawan dan lawan. Penjajah kita jadikan kawan dan teman kita jadikan lawan.
Kini sudah saatnya pemerintah mengembalikan polugrinya yang bebas aktif dan tidak tergantung pada kepentingan asing,serta mencintai rakyatnya dengan berani menolak segala bentuk perjanjian internasional yang merugikan rakyat dan bangsa sendiri.
Namun ketegasan dan independensi polugri pemerintah semacam ini sulit direalisasikan kecuali dalam naungan daulah khilafah islam yang menerapkan syariah Islam kaffah (total). Polugri pemerintah yang bebas aktif telah dibuktikan dalam sejarah oleh daulah (khilafah) Islam selama 13 abad. Kini tak ada salahnya bahkan wajib bagi kita untuk mencobanya kembali.
No comments:
Post a Comment