Tuesday, October 14, 2008

KaPiTaLiSmE Di UjUnG tAnDuK,kHiLaFaH Di DePaN MaTa

Krisis keuangan global yang terjadi hingga detik ini belum menunjukkan tanda-tanda reda. Krisis yang dipicu oleh kredit macet di bidang properti (subprime mortgage) di AS itu kini menjalar ke mana-mana. Di negeri asalnya, rangkaian krisis tersebut sudah berlangsung sejak 147.708 nasabah KPR gagal bayar pada April 2007. Meningkat menjadi 239.851 nasabah pada Agustus tahun yang sama, dan naik lagi pada Agustus tahun berikutnya menjadi 303.879 nasabah. Korban pertama dari kredit macet tersebut adalah dua hedge fund (pengelola dana investasi) yang dikelola oleh Bear Stearns. Perusahaan tersebut ambruk pada Juli 2007. Disusul kemudian dengan ambruknya Morgan Stanley pada November 2007, dan meruginya bank-bank global senilai 55 miliar dolar AS. Sekalipun perusahaan milik Uni Emirat Arab telah menyuntikkan 9,5 miliar dolar AS ke Citigroup, namun tetap tidak mampu menyelamatkan keadaan. Tidak hanya itu, Cina pun menyuntikkan 5 miliar dolar AS ke Morgan Stanley, termasuk Temasek Holding Singapura juga melakukan hal yang sama ke Merrill Lynch. Bahkan hutang-hutang bermasalah itu sudah dihapus oleh bank-bank global (seperti Citigroup, UBS dan HSBC), yang nilainya mencapai 300 miliar dolar AS, pada Januari-Februari 2008.

Semua itu rupanya belum membuahkan hasil, hingga kaum Kapitalis yang mempunyai keyakinan negara tidak boleh intervensi pun terpaksa mengingkari keyakinannya sendiri. Adalah Inggris yang pertama kali menasionalisasi bank swasta, Northern Rock, 17 Februari 2008. Diikuti oleh Amerika dengan menasionalisasi perusahaan pembiayaan sektor properti, Fannie Mae dan Freddie Mac, 13 Juli 2008. Namun, rupanya pemerintah AS tidak mampu mengakuisisi semua perusahaan bermasalah. 15 September 2008, Lehman Broters Holdings Inc terpaksa dibiarkan ambruk. Setelah itu, 3 Oktober 2008 yang lalu, DPR AS menyetujui paket penyelamatan yang diajukan oleh Menkeu AS, Henry Paulson, dengan mengeluarkan dana talangan 700 miliar dolar AS.

Krisis kali ini memang luar biasa. Krisis yang terjadi di AS itu menimbulkan efek domino bagi perekonomian dunia. Negara-negara Eropa pun terkena getahnya, karena itu empat negara besar Perancis, Jerman, Inggris dan Italia pun mengadakan pertemuan darurat guna mengkaji sistem moneter mereka. Bahkan, 10 Oktober 2008, Rusia mengajukan proposal aliansi Eropa-Rusia anti AS. Efek domino itu kini secara kasat mata menerjang perekonomian Indonesia. Ini terlihat dari anjloknya bursa saham dan pasar uang Indonesia, yang mengakibatkan penutupan BEI (Bursa Efek Indonesia) sejak Rabu, 8 Oktober lalu, setelah terjadi penurunan indeks yang besar, yaitu 10,30 persen. Selain itu, krisis tersebut juga menyebabkan turunnya ekspor dan berkurangnya arus modal masuk, yang menyebabkan kurs rupiah melemah. Inilah yang terjadi pada hari Jum’at, 10 Oktober, di mana rupiah melemah, dan diperdagangkan pada Rp. 10.300 per dolar AS. Dengan melemahnya rupiah, berarti cadangan devisa Indonesia akan menguap, karena menggunakan dolar AS. Jika rupiah melemah Rp. 9.500 per dolar saja, sekitar Rp 500 triliun aset Indonesia telah menguap begitu saja, lalu berapa aset kita yang menguap dengan kurs rupiah saat ini?

Namun sayang, krisis yang terjadi ini tetap tidak mampu membuka mata hati dan pikiran para penguasa negeri ini. Meski Presiden menyatakan, bahwa kita harus menghadapi krisis ini dengan tenang dan rasional, namun langkah-langkah yang dilakukan pemerintah justru menunjukkan kepanikan dan tidak rasional. Bagaimana tidak, sehari setelah mengumumkan BEI akan dibuka (9/10), ternyata dengan alasan beredar rumor tidak sehat, besoknya (10/10) keputusan itupun dibatalkan. Belum lagi kebijakan buyback saham BUMN, yang ternyata lebih menguntungkan asing. Karena 600.000 pemain saham di bursa saham, 60 persennya adalah pemain asing. Dengan kata lain, jika uang BUMN itu digunakan untuk bailout, maka yang diuntungkan jelas bukan Indonesia, melainkan pihak asing. Lalu di mana rasionalnya?

Meski dalam berbagai kesempatan Presiden dengan jajarannya selalu mengatakan, bahwa krisis keuangan ini tidak identik dengan krisis ekonomi, namun fakta krisis tahun 1997-1998 juga membuktikan hal yang sama, dan disebabkan oleh faktor yang sama: bursa saham, bank konvensional, mata uang dan perseroan terbatas (PT). Bursa saham ada dan berkembang karena adanya PT yang menjual saham, obligasi dan surat berharga lainnya di pasar modal. Di pasar inilah bisnis non-riil dan segala bentuk spekulasi dan penipuan terjadi. Sementara bank konvensional, dengan sistem bunga ribawinya memang merupakan bisnis yang sangat menggiurkan, meski faktor spekulasi dan resikonya juga sangat tinggi. Hal yang sama juga terjadi pada mata uang, ketika cadangan yang digunakannya bukan emas dan perak, melainkan mata uang negara lain. Inilah yang menyebabkan terjadinya fluktuasi kurs tukar mata uang, yang juga bisa berdampak pada menguapnya cadangan devisa negara. Kondisi ini diperparah dengan privatisasi kekayaan milik umum dan negara, yang menyebabkan hilangnya kekayaan yang seharusnya bisa menopang perekonomian rakyat dan negara.

Hizbut Tahrir sendiri telah mengingatkan berkali-kali, dan menyerukan para penguasa untuk berpikir rasional. Dengan cara meninggalkan Kapitalisme dan kembali kepada syariat Islam. Tahun 1997, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan booklet, Hazzat al-Aswaq al-Maliyah: Asbabuha wa Hukm as-Syar’i fi Hadzihi al-Asbab (Goncangan Pasar Modal: Sebab dan Hukum Syara’ terkait dengan Sebab ini), yang diterjemahkan dan diterbitkan di seluruh dunia. Bukan hanya itu, Hizbut Tahrir pun secara terbuka melakukan perdebatan intelektual dengan otoritas IMF tentang krisis, penyebab dan solusinya. Setelah sepuluh tahun berlalu, krisis yang sama terulang kembali. Hizbut Tahrir pun tidak lupa mengingatkan kembali kaum Muslim, khususnya para penguasa mereka, tentang hal yang sama. Namun, sayangnya mereka tidak pernah mau berpikir out of the box, keluar dari pakem Kapitalisme dan menggunakan Islam? Bahkan delegasi DPP HTI juga pernah menawarkan kajian sistem ekonomi Islam di kantor Menko Ekuin, ketika masih dijabat Aburizal Bakri, namun tawaran itu pun tak penah mendapatkan sambutan.

Momentum ini seharusnya menyadarkan kita, bahwa hanya Islam-lah satu-satunya ideologi yang bisa menyelamatkan dunia. Inilah saatnya Islam memimpin dunia, dan kepemimpinan itu pun akan hadir kembali dengan berdirinya Khilafah. Kini, umat pun semakin yakin, bahwa tidak ada harapan lagi, kecuali kepada Islam, setelah runtuhnya Sosialisme-Komunisme, dan rontoknya ekonomi Kapitalisme. Maka, the chalipate dream bukan hanya mimpi umat Islam, apalagi Hizbut Tahrir, tetapi telah menjadi mimpi dunia. Mimpi itu pun tinggal selangkah. Semoga. (KH. Hafidz Abdurrahman)

No comments: