Di antara semua masalah kehidupan tak berujung solusi yang mendera bangsa ini, salah satunya yang sangat serius adalah ketidakseriusan pemerintah dalam menanggulangi luapan lumpur panas PT Lapindo Brantas,inc. Masalah ini sangat serius karena sudah satu tahun lumpur lapindo menyembur dan berbagai dampak destruktif akibat semburan lumpur ini telah memaksa masyarakat untuk beraksi menuntut ganti rugi dan solusi tuntas. Seperti aksi peringatan satu tahun lapindo yang di adakan oleh 300 warga perumahan Taman Anggun Sejahtera (perum TAS) dengan tabur bunga di lokasi semburan lumpur lapindo. Atau aksi warga desa Besuki yang menutup jalan masuk truk pembawa sirtu dan unjuk rasa warga dari 4 desa di spillway yang menuntut pemerintah untuk segera memasukkan 4 desa mereka dalam daftar area yang terkena dampak dari semburan lumpur panas. Bukannya gayung bersambut. Jerit dan tangis warga seolah tak pernah di gubris bahkan di sambut dingin dan tidak serius oleh pemerintah pusat (Metro,29/5/07).
Seperti kita ketahui dampak destruktif akibat semburan lumpur lapindo selain merusak lingkungan fisik juga sangat membahayakan kesehatan masyarakat setempat, yaitu bisa mengakibatkan infeksi saluran pernafasan dan iritasi kulit. Lumpur itu mengandung bahan karsinogenik yang jika menumpuk di dalam tubuh bisa mengakibatkan penyakit kanker dan menurunkan tingkat perkembangan kecerdasan otak, terutama pada anak-anak. Hasil penelitian ITS Surabaya beberapa waktu silam menunjukkan bahwa dari 10 kandungan fisika dan kimia yang di jadikan parameter, 9 di antaranya telah jauh melampaui baku mutu limbah cair. Misalnya, kandungan logam berat Hg mencapai 2,565 mg/liter, padahal batas baku mutunya adalah 0,002 mg/liter.
Menurut greenomics (11/8/06), sebuah LSM lingkungan hidup, kerugian akibat semburan lumpur di perkirakan menembus Rp 33,27 triliun. Angka itu meliputi kerugian yang harus di tanggung untuk memulihkan kembali (restorasi) 180 hektar lebih lahan yang tergenang lumpur, penanganan sosial, ekologi hingga dampak terhambatnya potensi pertumbuhan ekonomi dan bisnis warga serta dunia usaha yang menjadi korban luapan lumpur. Perhitungan yang di buat greenomics ini hanya meliputi kerugian jangka pendek. Artinya, kerugian ini masih berpeluang lebih besar lagi jika jika terjadi perluasan dampak turunan luapan lumpur dalam jangka menengah dan panjang.
Selama ini, hak pengelolaan migas di Porong tersebut di berikan oleh pemerintah pusat kepada PT Lapindo Branta,inc. Sementara izin konsesinya di berikan oleh pemerintah provinsi Jawa Timur. PT Lapindo Brantas sendiri merupakan operator pertambangan migas yang sahamnya di kuasai oleh Energi Mega Persada Tbk (EMP), perusahaan migas yang berafiliasi dengan Group Bakrie.
Pemberian hak pengelolaan sumber gas di Porong oleh pemerintah pusat kepada Lapindo termasuk bagian dari privatisasi/swastanisasi, yaitu pengalihan kekayaan publik (rakyat) kepada kekayaan swasta, yaitu para pengusaha yang memegang saham PT Lapindo. Privatisasi ini jelas berdampak buruk bagi rakyat. Pertama, perusahaan swasta kapitalis, dimanapun dan kapanpun, sering berorientasi pada keuntungan semata. Dalam kasus kekayaan migas yang di kelola oleh PT Lapindo, miliaran rupiah hanya mengalir kepada perusahaan tersebut, sementara masyarakat tak bisa menikmatinya. Kedua, perusahaan swasta kapitalis, dimanapun dan kapanpun, sering menghalalkan cara untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Karena demikianlah yang telah,sedang,dan akan terus kita pelajari dalam sekolah-sekolah hingga perusahaan-perusahaan tentang prinsip ekonomi kapitalis : "meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan mengeluarkan modal/menanggung resiko sekecil-kecilnya"-tanpa peduli apakah cara yang di tempuh akan melanggar hak orang lain ataukah tidak.
Melihat dampak buruk privatisasi pengelolaan kekayaan migas milik publik oleh swasta ini, sudah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk ikut bertanggung jawab dalam menanggulangi permasalahan lumpur Lapindo. Menyerahkan sepenuhnya beban pada pihak Lapindo atau timnas penanggulangan lumpur semata adalah suatu kemustahilan. Pemerintah pusat sebagai pemegang otoritas tertinggi memiliki kewajiban melindungi rakyatnya dari berbagai ancaman, termasuk banjir lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Seperti yang di ungkapkan satu tahun yang lalu oleh wakil ketua MPR RI, A.M Fatwa di Jakarta, Senin (27/11/06),"meski ini hak prerogatif presiden, namun sampai saat ini belum terlihat adanya ketegasan dari presiden.....siapa yang menanggung beban hidup korban lumpur Lapindo, dan kapan luapan lumpur itu berhenti, tidak ada kepastianya, pemerintah tidak bisa santai, harus bertindak cepat."(www.eramuslim.com)
Benar, pemerintah harus menunjukkan kewibawaannya dengan bersikap tanggap,sigap dan cepat dalam melayani urusan masyarakat. Namun, itikad itu belum muncul hingga sudah satu tahun lamanya lumpur Lapindo di biarkan menyembur dan mengorbankan lebih banyak kepentingan hidup orang banyak. Ada dua langkah yang mau tak mau harus di lakukan oleh pemerintah. Pertama, berkaitan dengan solusi jangka pendek, pemerintah wajib mengatasi suatu bencana sesegera mungkin. Karena banjir lumpur ini bukan bencana alam alami/biasa,seperti gempa, letusan gunung merapi, dsb, maka pihak yang menjadi penyebab utama bencana tersebut harus bertanggung jawab. Dalam hal ini, pihak yang 'berkontribusi' dalam bencana ini adalah PT Lapindo, pemerintah pusat, dan daerah. PT Lapindo sebagai pihak pengebornya, dan pemerintah yang memberikan izinnya. Kedua, berkaitan dengan solusi jangka menengah dan panjang, hendaknya pemerintah melakukan reformasi bahkan revolusi terhadap sektor ekonomi kapitalis yang di terapkan saat ini. Segala bentuk eksploitasi oleh swasta (swastanisasi/privatisasi) atas kekayaan publik harus di hapuskan. Sebab, dengan ini kekayaan masyarakat berpindah tangan ke pihak pribadi/privat/swasta. Kemudian pemerintah segera mengambil alih tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemelihara dan pengayom urusan rakyatnya sesuai dengan yang telah di ajarkan oleh islam sebagai syariah rahmatan lil alamiin bagi umat manusia, muslim dan non muslim. Karena "imam/penguasa adalah pengurus rakyat; ia bertanggung jawab atas rakyat yang di urusnya (HR Muslim)."
Sudahkah pemerintah kita menunjukkan itikad baiknya untuk melayani kebutuhan rakyatnya?....
No comments:
Post a Comment