Yang menarik bukan saja tokoh-tokoh yang dihadirkan pada acara tersebut, tetapi juga tema dan pembahasan yang diangkat di dalamnya: Syariah, Masa Depan Politik Indonesia: Membaca Trend Survei Syariah.
Pertanyaannya, benarkah syariah merupakan masa depan politik Indonesia? Jawaban untuk pertanyaan ini memang tidak mudah, dan masih membutuhkan pembuktian. Meski dari kecenderungan hasil survei yang menjaring suara publik membuktikan hal itu. Sayangnya, kecenderungan tersebut tidak mendapatkan respon yang memadai dari partai-partai politik, termasuk yang mengatasnamakan partai politik Islam sekalipun. Bahkan tidak jarang mereka yang justru termakan provokasi agar tidak cenderung ke kanan, untuk tidak menyebut lebih Islami. Malah, ada yang berhasrat ingin sekalian menjadi partai terbuka, dengan target sekedar untuk menang dan berkuasa.
Kecenderungan dukungan publik yang mayoritas Muslim pada syariah memang menggembirakan. Hasil survei Gerakan Mahasiswa Nasionalis di kampus-kampus utama di Indonesia tahun 2006 membuktikan, bahwa 80% mahasiswa menginginkan syariat Islam diterapkan. Survei SEM Institute tahun 2008, juga membuktikan hal yang sama, bahkan meningkat menjadi 83%. Trend ini ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir terjadi di seluruh negeri Islam.
Jika ini menjadi trend global, pertanyaannya apa yang menjadi pemicunya? Jawabannya tentu bisa dikembalikan kepada sikap umat yang sudah muak dengan praktik Kapitalisme dan Sekularisme dengan berbagai dampak yang selama ini harus mereka alami. Fenomena golput yang terus meningkat dalam Pilkada juga membuktikan hal yang sama. Rakyat sudah paham betul, bahwa proses-proses perubahan yang terjadi melalui pemilihan langsung, baik legislatif maupun eksekutif, nyatanya tidak mengubah sedikit pun nasib mereka. Umat sudah sadar, bahwa pergantian orang tidak akan mengubah apa-apa. Kini mereka menuntut, agar sistem Sekular yang selama ini membuat sengsara hidup mereka juga harus diganti. Gantinya adalah sistem syariah. Itulah kesimpulan yang bisa kita baca dari hasil survei tersebut.
Pertanyaannya, kalau betul rakyat menginginkan syariah, mengapa partai-partai Islam suaranya selalu kalah? Seharusnya, jika rakyat memang menginginkan syariah, partai-partai Islam itu pasti menang. Dari fenomena ini, kita bisa menarik dua hal. Pertama, hasrat rakyat untuk bersyariah memang sudah membuncah, tetapi ketika hendak disalurkan, mereka belum melihat adanya partai politik, termasuk partai Islam, yang meyakinkan mereka. Pada titik ini, mereka berdiri di persimpangan jalan; antara tidak memilih, karena memang tidak ada yang bisa dipilih, dan memilih yang ada dengan mengorbankan hasrat mereka, dengan pertimbangan daripada tidak memilih. Kedua, partai politik yang ada memang tidak pernah melakukan edukasi kepada umat, sehingga antara hasrat bersyariah dengan pilihan mereka pada akhirnya tidak sama.
Namun, apapun kenyataannya, umat jelas tidak bisa disalahkan, karena memang mereka hanyalah obyek. Yang harus disalahkan adalah partai politik dan para politikusnya, karena mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai agen perubahan. Sebagai entitas pemikiran (kiyan fikri), seharusnya partai politik dan politikusnya itu tahu problem yang dihadapi oleh umat, solusi dan langkah-langkahnya. Bukan menjadi bagian dari masalah. Politik juga tidak identik dengan kursi dan kekuasan, tetapi politik adalah melayani dan mengurus urusan umat. Menjadi partai politik dan politikus seharusnya adalah menjadi pelayan dan pengurus urusan umat, bukan minta diurus dan dilayani oleh umat. Itulah inti dari politik dalam pandangan Islam. Ri’ayatu syu’un al-ummah (mengurus dan melayani urusan umat).
Maka wajar, jika wajah politik identik dengan wajah kotor dan haram. Itulah kalau filosofi politik adalah kursi dan kekuasaan. Akibatnya, satu-satunya pertimbangan yang sah adalah maslahat dan kepentingan. Asal dapat kursi, siapapun bisa diajak berkoalisi. Soal prinsip dan ideologi itu belakangan, yang penting kursi. Kalau sudah begitu, jangan berharap mereka akan mengurus dan memperjuangkan kepentingan umat. Meski ungkapan itu selalu mereka kemukakan. Sebab, sejatinya yang mereka perjuangankan dan mereka urus adalah kepentingan mereka sendiri. Bukti real adalah lolosnya UU Migas, no 22 tahun 2001. Undang-undang yang nyata-nyata menyengsarakan rakyat, yang mengakibatkan naiknya harga BBM, langkanya minyak tanah, dan hilangnya gas di pasaran. Itulah hasil karya mereka. Kalau sudah begitu, wajar jika umat menilai, bahwa tidak ada bedanya antara partai Islam dengan partai Sekular. Jadi, kalau akhirnya mereka kalah, bukan karena kesalahan mereka semata, tetapi karena mereka dihukum oleh rakyat.
Belum lagi perselingkuhan partai politik dan politikusnya dengan kekuasaan, yang menyebabkan fungsi partai sebagai check and balance, atau muhasabah sama sekali tidak berjalan. Jikalau ada yang vokal, seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat, ujung-ujungnya adalah kepentingan dan kesejahteraan mereka sendiri. Untuk melakukan fungsi kontrol pun tidak berani, apalagi mengatakan tidak, dan menyuarakan syariah sebagai solusi.
Maka wajar, jika ada sejumlah tokoh yang menyarankan, agar kekosongan ini segera diisi oleh partai politik Islam ideologis dan juga politikus Islam ideologis yang berani, ikhlas dan benar-benar berjuang untuk melayani dan mengurus umat. Partai politik dan politikus yang bukan sekedar bermodalkan semangat, tetapi para pengemban ideologi Islam sejati, dengan gagasan dan metode praksisnya. Bukan para pedagang asongan, apalagi pecundang.
Kini umat membutuhkan generasi baru, dengan harapan baru. Itulah generasi Islam idoelogis. Bukan generasi baru sekuler dan pragmatis.
Wallahu rabb al-musta’an, wa ilaihi at-takilan
No comments:
Post a Comment