Verry Idham Henyaksah alias Ryan (30) sudah selayaknya dihukum mati karena telah melakukan pembunuhan berantai. Tersangka yang ditangkap dalam kasus pembunuhan dengan mutilasi, Heri Santoso, beberapa waktu lalu, ternyata juga telah membunuh secara keji sekitar sepuluh korban lainnya, termasuk pembunuhan terhadap teman fitnes tersangka serta putrinya beberapa waktu lalu. Sepuluh korban lainnya itu dikubur di sekitar halaman rumahnya di Dusun Maijo, Desa Jatiwates, Kecamatan Tembelang, Jombang, Jawa Timur.
Dari bebeberapa kasus pembunuhan sadis yang marak belakangan ini, pembunuh yang dilakukan sang jagal Ryan yang juga seorang homo, memang termasuk kasus pembunuhan yang paling banyak mendapat perhatian publik. Karena korban yang dibunuh Ryan terbilang cukup banyak dan sadis. Bahkan halaman rumah Ryan pun seolah menjadi kuburan masal bagi para korban. Karena itu banyak pihak yang meminta Ryan dihukum mati. Pernyataan itu di antaranya datang dari ketua umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi Rabu (30/7) di Jakarta.
Tentu kita sangat setuju dengan pernyatan pak Hasyim Muzadi itu. Selain balasan hukuman itu setimpal dengan yang telah diperbuat pelaku, juga untuk mencegah munculnya kasus serupa di masa yang akan datang.
Kita tahu beberapa pembunuhan sadis lainnya juga marak sekarang ini di antaranya adalah perampokan yang disertai pembunuhan, kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri, pembunuhan ibu kandung, hingga pembunuhan korban yang kemudian tubuhnya disimpan dalam koper seperti yang terjadi di Jakarta dan Bogor.
Pembunuhan biadab tersebut benar-benar sudah di luar akal sehat kita. Apalagi kita hidup di negara yang katanya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ironis. Bagaimana mungkin di negara yang penduduknya mengaku beragama ini ada ibu yang rela membunuh anak kandungnya sendiri. Atau anak bunuh ibu kandungnya sendiri. Atau ada orang yang melakukan pembunuhan secara berantai di mana salah seorangnya dipotong-potong tubuhnya, seperti yang dilakukan sang jagal Ryan.
Kasus pembunuhan sadis seperti itu sejatinya pernah terjadi dulu. Kita ingat di tahun 1978 Nurdin Koto tewas terpotong-potong dan jenazahnya di buang ke kali kresek, Jakarta utara
Kemudian pada 1980 an di sekitar jalan Sudirman, Jaksel ditemukan mayat terpotong 13 bagian yang tidak teridentivikasi hingga kini. Pada tahun 1989 Diah, wanita paro baya tewas dipotong-potong oleh suaminya. Pada 1994 kita dengar terjadi pembunuhan sadis keluaga Herbin Hutagulung. Pada 1995 terjadi pembunuhan keluaga Acan di Bekasi.
Maraknya peristiwa pembunuhan sadis belakangan ini membuat kita bertanya-tanya, ada apa dengan negeri ini? Kenapa peristiwa itu belakangan ini kerap terjadi? Apakah nilai dan norma agama sudah pudar di tengah-tengah masyarakat? Lalu hukuman apa yang efektifitas diberlakukan kepada para pembunuh untuk meredam maraknya berbagai pembunuhan sadis belakangan ini? Tulisan ini mencoba untuk mengurai masalah ini.
Akar Masalah
Benar, masalah ekonomi adalah satu penyebab maraknya tindak kejahatan sekarang ini, termasuk pembunuhan. Naiknya harga BBM yang berakibat pada naiknya berbagai kebutuhan pokok membuat tingkat daya beli masyarakat kian berkurang. Di sisi lain masyarakat pun mengalami kesulitan untuk mencari lapangan penghidupan, karena terbatasnya lapangan kerja. Ketika berbagai bebutuhan masarakat, baik ekonomi maupun kesehatan tak terpenuhi, maka tidak sedikit warga masyarakat terutama kelas menengah ke bawah kehilangan kontrol atas emosi mereka. Akibatnya mereka gampang tersinggung dan gampang marah bila menghadapi masalahnya baik itu terkait ekonomi atau hubungan sosial. Dalam kasus Ryan, pembunuhan itu diduga dilakukan untuk menguras harta para korban, di samping juga karena cemburu seperti dalam kasus Heri Santoso.
Namun munculnya ketidakstabilan emosi sebagian masyarakat kita ini utamanya diakibatkan oleh kondisi lingkungan mereka baik di rumah, di masyarakat tempat tinggal, dan di tempat bekerja mereka yang jauh dari ajaran agama. Maka wajar bila pemandangan sehari-hari masyarakat kita adalah individualistis, hedonis, dan jauh dari agama. Hampir bisa dikatakan tidak ada suasana iman dalam kehidupan masyarakat kita saat ini.
Tidak adanya suasana iman itu kita temukan di hampir semua tempat seperti rumah, sekolah, tempat olahraga, jalanan, tempat mereka bekerja, tempat parawitasa, apalagi di tempat hiburan. Suasana iman itu mungkin hanya akan terasa di tempat-tempat ibadah seperti masjid, mushola, pesantren, atau majelis-majelis taklim. Namun keberadaan tempat ibadah atau lembaga pendidikan agama lainnya itu kadang tidak memberikan efek meningkatnya suasana iman sebagian besar masyarakat kita karena tidak optimalnya para pengurus atau para dai dalam menyampaikan pesan dakwahnya. Isi dakwah mereka cuma sekadar petunjuk-petunjuk dan tidak menyentuh perasaaan dan pemikiran masyarakat. Nasihat-nasihat yang disampaikan para tokoh agama tidak memberikan solusi praktis atas masalah yang dihadapi masyarakat. Di samping itu orang yang mau memenuhi masjid, mushola atau majelis taklim pun sedikit. Sebagaian besar masyarakat kita hidup di luar tempat-tempat tersebut.
Sementara itu rumah yang seharusnya bisa menjadi benteng terakhir untuk menjaga moral para penghuninya dari berbagi pengaruh negatif luar, malah tak berfungsi. Di rumah itulah kadang konflik terjadi. Baik antara suami istri, ibu dan anak atau dengan kerabat lainnya. Selain tradisi saling menasihati di antara para anggota keluarga atau dalam istilah agama Amar ma’ruf dan nahyi munkar pun hampir tidak ada. Kehidupan di rumah kita lebih banyak diisi dengan obrolan tentang masalah hidup dan materi yang tak di dasarkan pada tuntunan agama. Atau kehidupan di rumah kita lebih banyak diisi dengan menonton berbagai acara di TV yang jauh dari nilai-nilai agama. Tontonan-tontonan TV lah yang akhirnya lebih banyak menjadi tuntunan hidup keluarga kita daripada tuntunan agama yang disampaikan para tokoh agama. Termasuk dalam mendidikan anak-anak mereka yang salah asuh.
Namun selain faktor ekonomi dan faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap meningkatnya kejahatan di negeri ini, juga faktor yang tak kalah pentingnya adalah tidak adanya hukum yang bisa memberi efek jera kepada masyarakat. Kita tahu hukuman yang di berlakukan kepada para pelaku kejahatan di negeri ini sangat ringan, sehingga membuat mereka tidak takut untuk melakukan kejahatan seperti membunuh. Di satu sisi mereka sudah tidak merasa takut lagi kepada tuhan mereka akibat minimnya pengetahuan agama mereka dan lemahnya iman mereka, juga di sisi lain mereka tidak takut terhadap hukum yang diberlakukan pemerintah kepada para pelaku kejahatan. Bahkan di tengah kehidupan yang serba sulit, mereka merasakan lebih baik masuk penjara daripada hidup di luar penjara yang sangat keras. Maka tak aneh bila penjara-penjara sekarang ini penuh sesak oleh para pelaku kejahatan. Karena itu adanya hukum yang tegas dan memberi efek jera bagi masyarakat mutlak diperlukan di negeri ini.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa maraknya berbagai tindak kejahatan semisal pembunuhan sadis saat ini bisa disebabkan oleh tiga faktor. Pertama adalah dominannya kehidupan sekuler (kehidupan yang memisahkan agama dengan kehidupan dunia) dan gaya hidup hedonis serta semakin kuatnya gaya hidup materialistik, sehingga masyarakat menjauh dari ajaran-ajara agama. Karena mereka jauh dari ajaran agamanya, maka ketika menghadapi suatu masalah semisal ekonomi atau sosial maka mereka menyikapinya bukan berdasar pada ajaran agama, tapi pada nafsu seperti merampok disertai dengan pembunuhan dan lainnya.
Kedua adalah lemahnya kepedulian sosial dan tradisi amar ma’ruf nahyi munkar atau saling menasihati di antara warga masyarakat karena sikap hidup mereka yang individualistis. Ketiga adalah tidak diterapkannya sistem pidana Islam, yakni qishash alias balas mati. Padalah bila sistem ini dilaksanakan akan membuat publik berpikir seribu kali bila akan melakukan pembunuhan.
Hukuman Mati
Ada beberapa hal yang mesti dilakukan oleh bangsa ini agar tindakan kejahatan termasuk pembunuhan sadis ini tidak terulang lagi di masa yang akan datang. Salah satunya adalah dengan menerapkan hukum yang tegas seperti yang berlaku dalam pidana Islam. Di dalam hukum pidana Islam, hukuman bagi orang yang melakukan pembunuhan adalah qishash atau balas mati. Bila sistem pidana Islam ini benar-benar diterapkan maka ini akan membuat publik berpikir seribu kali bila akan melakukan pembunuhan.
Kita yakin penerapan hukum qishash itu jika diberlakukan di negeri ini akan efektif untuk mencegah maraknya pembunuhan sadis berikutnya. Ini juga sesuai dengan firman Allah Swt, walakum fil qishash hayatun yaa ulil albaab (sungguh di dalam qishash bagi kalian ada kehidupan).
Karena kita balasan setimpal untuk pelaku pembunuhan seperti yang dilakukan sang jagal sadis Ryan adalah hukuman mati. Alhasil kita sepakat dengan pernyataan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, ”orang yang membunuh apalagi pembunuhan secara berantai menurut Islam harus dihukum mati. Ini bukan kejam tapi pembelaan HAM atas orang yang dimatitiinnya,” ujar KH Hasyim Muzadi di Jakarta pada Rabu (30/7/2008).
Selain menerapkan hukuman mati, solusi lainnya adalah dengan menguatkan kesadaran agama di tengah-tengah masyarakat, sehingga selalu ada suasana iman dalam hidup mereka. Dengan adanya suasana iman itu dalam setiap langkahnya, maka masyarakat kita juga akan jauh dari cara hidup yang hedonis dan materialistik serta kehidupan yang menyimpang lainnya.
Di samping itu kita juga perlu menggiatkan tradisi saling menasehati, atau amar ma’ruf di tengah-tengah masyarakat. Dengan pembiasaan tradisi ini, maka akan muncul tradisi saling mengontrol dan mengawasi di antara anggota masyarakat. Ketika ada anggota masyarakat melakukan tindakan menyimpang dari tradisi atau keyakinan yang lazim dianut masyarakat, maka anggota masyarakat lainnya yang mengetahuinya segera memberi nasehat atau teguran pada pelaku.
Demikian beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk meredam maraknya tindakan pembunuhan sadis belakangan ini. Kita berharap pemerintah dapat menerapkan hukuman seberat-beratnya kepada Ryan dan pembunuh lainnya yakni hukuman mati sehingga kejadian serupa tidak terjadi di masa depan. Wallahu a’lamu.
No comments:
Post a Comment