Showing posts with label Import. Show all posts
Showing posts with label Import. Show all posts

Tuesday, November 16, 2010

Sultan Abdul Hamid II: Sang Pembela Sejati Palestina




REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Sejak zaman Kesultanan Turki Utsmani, bangsa Israel sudah berusaha tinggal di tanah Palestina. Kaum zionis itu menggunakan segala macam cara, intrik, maupun kekuatan uang dan politiknya untuk merebut tanah Palestina.

Di masa Sultan Abdul Hamid II, niat jahat kaum Yahudi itu begitu terasa. Kala itu, Palestina masih menjadi wilayah kekhalifahan Turki Utsmani. Sebagaimana dikisahkan dalam buku Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II karya Muhammad Harb, berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus dinding Kesultanan Turki Utsmani, agar mereka dapat memasuki Palestina.

Pertama, pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab Sultan dengan ucapan ''Pemerintan Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina''. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.

Kedua, Theodor Hertzl, Bapak Yahudi Dunia sekaligus penggagas berdirinya Negara Yahudi, pada 1896 memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di al-Quds. Permohonan itu dijawab sultan, ''Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri''.

Melihat keteguhan Sultan, mereka kemudian membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 Agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah. Karena gencarnya aktivitas Zionis Yahudi akhirnya pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.

Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah: uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; Membayar semua hutang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; Membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga; dan Membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.

Namu, kesemuanya ditolak Sultan. Sultan tetap teguh dengan pendiriannya untuk melindungi tanah Palestina dari kaum Yahudi. Bahkan Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan, ''Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam. Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka.''

Sultan juga mengatakan, ''Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya. Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat Tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.''

Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Dengan menggunakan jargon-jargon "liberation", "freedom", dan sebagainya, mereka menyebut pemerintahan Abdul Hamid II sebagai "Hamidian Absolutism", dan sebagainya.

''Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggungjawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini. Di Istanbul!'' Tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya.

Monday, October 25, 2010

Why Do I Feel So Bad? It’s All in the Mind..





Has the world gone mad? Walking down the street, it is not difficult to feel alone. Can this be so, even though we live in cities with so many people?



People seem to move along somewhere between reality and where we are. Is it just that we don’t see each other, appreciate each other, or care to do so? So many people no longer feel. Violence or injustice happens and people just move on like they never saw a thing.



The world now calls itself a global village. Maybe it’s become more like a global factory. It seems to be churning out more and more desensitized, materialistic individuals who suffer from compulsions to buy and fit into predetermined definitions of beauty and acceptability. Modern man is running a frantic race.

A ‘village’ implies a group of people who work together for the common good; people who communicate and perceive life in a similar way, sharing a common culture. If we truly belong to a village of any kind; global or otherwise, it would be impossible to see crime, poverty or injustice and just keep living as if nothing had happened. Have we forgotten the ties that bind us as humans?

Maybe we have just become numb. We rush to work, then rush home again, watch TV, eat something; junk, fast or processed food, drink too much but hardly enough water, socialize with people who think and live like us, ignore the ‘other’, ignore pain, (even our own), ignore problems and sleep. Then we awaken to the barbaric sound of an alarm clock only to do it all over again. How many people stop to think about life, how we live it, and why?

We live with pain. We do many things to suppress and hide it. As life becomes more and more complicated and expectations get more and more unrealistic, people suffer. So much energy is exerted trying to find joy and any amount of peace. We entertain ourselves with soul disturbing music, watch violent, blood thirsty, surrealistic films and live in the shadows of life. We seek to have more and more possessions, more status, and more wealth as we drift further from each other. All this enhances our already over-developed sense of unreality.

People complain of compulsive disorders, anxiety, depression, psychosis, and are given quick-fix drugs to push them back into the work force; to be good consumers and exist in a comatose state of non-being; pushed further into a vacuum where the masses exist; where everything is nice, peaceful, ‘enough’; an illusion of well-being.

The family is being slowly dismantled. The once loving, supportive extended family is often scattered throughout cities and sometimes spread out between countries. Time and space separates the hearts that need each other so much. Family members are so distant from each other that it hardly seems worth it to try and get to know each other all over again. The loving circle that used to form around the individual has been replaced with government help, community-based projects and pensions. Though such things help to cushion some of life’s blows, they can never provide the stable foundation on which children grow and learn to deal with reality with love and an open heart.

Are we losing the last strong handhold that will prevent us from sinking into the chaotic push and shove of the rat race of the modern world? We have courses teaching us how to cope with stress, tension, and the pressures of modern life but has no one thought of a way to actually get rid of all these pressures once and for all? Can anyone show us the way back to our roots; to our humanity?

In distancing ourselves from each other; in denying who we are and living in isolation; in succumbing to the pressures of this materialistic, individualistic world, we miss out on the love and joy we can share with each other. We miss out on learning from each other and giving each other chances, just by being our simple human selves, to show kindness and forgiveness. In comforting each other’s pain, in sharing our resources, in forgiving each other’s weaknesses and in offering a helping hand, we can rekindle our humanity and turn the tides.



(Quran, 78:40) “...on the Day when man shall [clearly] see what his hands have sent ahead…”


P.S copied from brother Ahmed Rahat on FB

Sunday, October 17, 2010

Kiat Berburu Do'a Mustajab



Hidup ini tak lekang dengan masalah, silih berganti dari masalah satu ke masalah lain. Akan tetapi jika kita mau berfikir sebenarnya dibalik masalah tersebut ada pelajaran yang berharga yang dapat kita petik. Rugilah kita tatkala menyia-nyiakan masalah, berlari dari masalah ataupun pura-pura mengaburkan masalah tersebut.



Sebagai manusia dengan kodrat yang mempunyai beragam peran tentunya tak jauh dari masalah. Terlebih lagi secara fitrah, sebagian dari diri kita sering mengedepankan emosi, hati atau perasaan untuk menilai sesuatu. Dengan demikian hendaknya kita mencari cara agar kita dapat mensiasati kelemahan itu agar menjadi lebih tegar tatkala kita dirundung masalah.



Saudaraku, berdoalah kepada Allah karena itulah kunci dari segala masalah kita, Allah telah berfirman:





وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ



“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al Baqarah: 186)






Apa susahnya kita mengadu kepada Allah yang telah mentakdirkan semua masalah yang telah menghampiri kita? Segala masalah akan ada kunci jawabnya meskipun entah kapan waktunya. Kita hanya bisa serahkan kepada Allah dan berusaha semaksimal mungkin untuk memecahkannya. Apapun masalahnya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.



أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ



“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (Qs Ar-Ra’d: 28)






Doa adalah kunci yang sangat ampuh dan mujarab untuk melepaskan kepenatan hati, rasa was-was ataupun segala masalah yang sedang kita hadapi. Ingatlah bahwa doa adalah inti ibadah. Kita percaya bahwa dengan terus dan terus memohon kepada Allah maka Allah akan memudahkan urusan kita.



Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata:

“Jika Allah akan memberi kunci kepada seorang hamba, berarti Allah akan membuka (pintu kebaikan) kepadanya dan jika seseorang disesatkan Allah, berarti ia akan tetap berada di depan pintu tersebut.”








Tentu saja tidak semua doa dapat diterima. Oleh karena itu pandai-pandailah dalam mensiasati agar doa terkabul. Dalam kesempatan kali ini akan kami jelaskan orang-orang yang beruntung karena doanya terkabul dan waktu-waktu mustajab untuk berdoa. Akan tetapi hal ini tidak berarti memvonis orang-orang yang tidak termasuk dalam golongan di atas, doanya tidak dikabulkan, Wallahu a’lam bishawab.

Serahkan semua usaha kita kepada Allah, karena Allah yang berhak menentukan hasil dari proses yang kita usahakan.





Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda:



يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً



"Allah Subhanahu wata’ala berfirman, ’Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, Aku bersamanya bila dia ingat Aku. Jika dia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Jika dia menyebut Nama-Ku dalam suatu perkumpulan, Aku menyebutkan dalam perkumpulan yang lebih baik dari mereka. Bila dia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika dia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR Bukhari Muslim)







DOA MANUSIA YANG TERKABUL


Ada beberapa golongan manusia yang doanya terkabul, antara lain;

* Doa seorang muslim terhadap saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya.

Dari Abu Darda’ Radhiyallahu’anhu, dia berkata bahwa Nabi Muhammamad Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Tidak seorang muslim berdoa untuk saudaranya yang tidak ada dihadapannya kecuali ada seorang malaikat yang ditugaskan berkata kepadanya:’Aamiin, dan bagimu seperti yang kau do’akan.” (HR Muslim)





* Orang yang memperbanyak berdoa pada saat lapang dan bahagia.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang ingin doanya terkabul pada saat sedih dan susah maka hendaklah memperbanyak berdoa pada saat lapang.” (HR At-Tirmidzi, Dishahihkan oleh Dzahabi dan dihasankan oleh Al-albani)



* Orang yang teraniaya.

Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Hati-hatilah dengan doa orang-orang yang teraniaya, sebab tidak ada hijab antaranya dengan Allah (untuk mengabulkan).” (HR Bukhari & Muslim)



* Doa orangtua kepada anaknya dan doa seorang musafir.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

”Tiga orang yang doanya pasti terkabullkan; doa orang yang teraniaya, doa seorang musafir dan doa orangtua terhadap anaknya.” HR Abu Daud dan dihasankan oleh Al-Albani




* Doa orang yang sedang berpuasa.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, dia Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Tiga doa yang tidak ditolak; doa orangtua terhadap anaknya, doa orang yang sedang puasa, dan doa seorang musafir.” HR Baihaqi dan dishahihkan oleh Al-Albani







WAKTU MUSTAJAB UNTUK BERDOA

Kemudian lebih baik lagi tatkala kita tahu waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa sehingga kita bisa maksimal dalam berdoa. Antara lain:

* Sepertiga Akhir Malam.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Rabb kami yang Maha Berkah lagi Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia pada sepertiga akhir malam terakhir, lalu berfirman: Barangsiapa yang berdoa, pasti akan Kukabulkan, barangsiapa yang memohon pasti akan Aku perkenankan dan barangsiapa yang meminta ampun, pasti akan Ku ampuni.” (HR Bukhari)




* Tatkala berbuka puasa bagi orang yang berpuasa.

Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu’anhu, dia mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa pada saat berbuka ada doa yang tidak ditolak.” (HR Ibnu Majah)




* Pada setiap dubur shalat fardhu (sesudah tasyahud akhir, sebelum salam).

Dari Abu Umamah Radhiyallahu’anhu, Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam ditanya tentang doa yang paling didengar oleh Allah Subhanahu wata’alla, beliau menjawab:

“Dipertengahan malam yang akhir dan pada setiap dubur shalat fardhu.” (HR At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani).




* Pada saat perang berkecamuk.

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Ada dua doa yang tidak tertolak atau jarang tertolak; doa pada saat adzan dan doa tatkala perang berkecamuk.” (HR Abu Daud dishahihkan oleh Imam Nawawi dan Al-Albani)




* Sesaat pada hari Jum’at.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Abul Qasim Shalallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya pada hari Jum’at ada sesaat yang tidak bertepatan seorang hamba muslim shalat dan memohon sesuatu kebaikan kepada Allah melainkan akan dikabulkan. Beliau berisyarat dengan tangannya untuk menunjukkan sebentarnya waktu tersebut.” (HR Al Bukhari)




* Pada waktu bangun tidur malam hari bagi orang yang bersuci dan berdzikir sebelum tidur.

Dari ‘Amr bin ‘Anbasah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Tidaklah seorang hamba tidur dalam keadaan suci lalu terbangun pada malam hari kemudian memohon sesuatu tentang urusan dunia atau akhirat melainkan Allah akan mengabulkannya.” (HR Ibnu Majah)




* Diantara adzan dan iqamah.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Doa tidak akan ditolak antara adzan dan iqamah.” (HR Abu Daud, dishahihkan Al-Albani)




* Pada waktu sujud dalam shalat.

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Adapun pada waktu sujud, maka bersungguh-sungguhlah berdoa sebab doa saat itu sangat diharapkan untuk terkabul.” (HR Muslim)




* Pada saat sedang turun hujan.

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

“Dua doa yang tidak pernak ditolak; doa pada waktu adzan dan doa pada waktu turun hujan.” (HR Hakim dan dishahihkan oleh Al-Albani)




* Pada saat ada orang yang baru saja meninggal.

Dari Ummu Salamah Radhiyallahu’anha, Rasulullah Shallallahu’alahi wasallam bersabda tatkala Abu Salamah sakaratul maut:

“Susungguhnya tatkala ruh dicabut, maka pandangan mata akan mengikutinya.” Semua keluarga histeris. Beliau bersabda:”Janganlah kalian berdoa untuk diri kalian kecuali kebaikan, sebab para malaikat meng-amini apa yang kamu ucapkan.” (HR Muslim)




* Pada malam lailatul qadr.

Allah Subhanahu wata’alla berfirman:

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam penuh kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Qs Al Qadr: 3-5)




* Doa pada hari Arafah.

Dari ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu’anhu dari bapaknya dari kakeknya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Sebaik-baik doa adalah pada hari Arafah.” (HR At Tirmidzi dishahihkan Al-Albani)

Friday, September 24, 2010

Tips Lindungi Anak dari Dampak Negatif Internet


Internet saat ini sudah menjadi kebutuhan pokok. Banyak keluarga berlangganan internet, sehingga anggota keluarga dapat mengaksesnya dengan mudah. Selain itu, kehadiran telepon seluler juga memungkinkan seseorang dapat mengakses internet kapan saja dan dari mana saja. Tak terkecuali anak-anak.

Terlebih munculnya jejaring sosial seperti facebook dan twitter, membuat anak-anak ketagihan internet. Mengapa? Karena mereka mendapatkan pengalaman baru dan kenyamanan dengan berinternet. Mereka mendapat sesuatu dari dunia maya yang tidak bisa didapatkan di dunia nyata.

Di dunia maya, seseorang bisa menjadi orang lain yang diinginkannya. Misal, seorang anak yang pemalu atau bahkan minder, menjadi agresif ketika berkenalan melalui chatting, e-mail atau faceebook. Ia lebih percaya diri karena temannya di dunia maya tidak tahu dia dalam dunia nyata. Anak-anak itu juga dapat membuat diri mereka menjadi karakter ideal, seperti cantik, kaya, atau hal lain yang mungkin berbeda dengan kehidupan nyata mereka.

Pertemanan tanpa batas pun terjadi, termasuk yang menjurus pada masalah intim.Ya, internet telah menjadi media bagi maniak seks bebas untuk mencari mangsa. Bayangkan, menurut data, ada 750.000 predator seksual setiap hari yang memanfaatkan ruang rumpi (chatting room) untuk berkenalan, kemudian merayu untuk melakukan hubungan seks. Mereka umumnya membidik para ABG yang belum berpengalaman dalam interaksi sosial. Bukankah sudah banyak remaja yang hilang kegadisannya setelah kopi darat dengan teman chatting-nya di dunia maya?

Karena itu, wajib bagi orang tua melindungi anak dari bahaya penggunaan internet, seperti pornografi dan para predator seksual. Beberapa tips berikut bisa dicoba:

1. Pahamkan tentang hukum internet dan pemanfaatannya.

Memang, dari sisi teknologi internet tidak haram, tapi kalau dimanfaatkan untuk hal-hal yang diharamkan akan menjadi haram. Tanamkan rasa takut pada Allah SWT, sehingga walau orang tua tidak ada, dia tahu bahwa Allah SWT memperhatikan dan melihat apa yang dilakukannya. Misal saat muncul situs porno, mereka dapat mengambil tindakan yang tepat. Mereka juga dapat memilah teman-temannya di facebook.

2. Orang tua jangan gaptek

Jangan mengganggap diri terlalu tua atau terlalu bodoh untuk mempelajari internet. Jadi, jangan gaptek (gagap teknologi). Kalau perlu, berbagilah dengan anak untuk sama-sama memahami teknologi. Kalau anak punya akun facebook, hubungkan dengan akun Anda agar tahu apa isinya, walau mungkin pakai nama samaran.

3. Letakkan komputer di tempat yang mudah dilihat.

Kadang orang tua merasa bangga dapat memajang komputer yang terhubung internet di kamar anaknya. Hal ini sebenarnya akan membahayakan anak karena mereka dapat leluasa mengakses situs-situs yang tidak baik tanpa diketahui orang tua. Sebaliknya, dengan meletakkan di tempat terbuka, misalnya di ruang keluarga, Anda dapat memantau situs apa saja yang dibuka anak.

4. Batasi penggunaan internet

Jangan biarkan anak-anak terlalu asyik di dunia maya. Tetapkan berapa lama internet boleh digunakan dan situs apa saja yang boleh diakses. Jelaskan juga, mengapa Anda melakukan hal ini dan bantu anak untuk memahami keputusan ini. Tanamkan bahwa itu semua demi kebaikan anak, bukan mengekang.

5. Jaga komunikasi yang baik dengan anak

Luangkan waktu untuk bercanda dengan anak dan berkomunikasi dengan terbuka. Komunikasi yang baik dan keakraban akan memudahkan Anda untuk menanamkan nilai-nilai moral. Anda dapat menjelaskan kepada anak apa saja bahaya penggunaan internet agar mereka tidak mudah terkecoh.

6. Antisipasi agar anak tidak kecanduan.

Ciri anak yang kecanduan internet antara lain melupakan aktivitas sehari-hari, seperti belajar, mandi, dan salat. Umumnya anak akan marah bila dibatasi dalam menggunakan internet. Dia juga cenderung enggan berkomunikasi dengan orang lain dan bersifat tertutup, atau hanya mau berteman dengan orang tertentu saja. Bila kondisi ini sudah menggejala, perlu perlakuan khusus untuk menyadarkan anak agar memahami dampak buruk kecanduan internet. Ajak anak bicara dari hati ke hati, pahamkan bahwa ini semua demi kebaikan dan masa depannya

Wallaahu a'lam

Saturday, September 18, 2010

Rasul Menangis Karena Rabbnya





Hakikat menangis, Rasul SAW juga sebagai tauladan yang mutlak bagi semua umatnya dalam segala segi, termasuk dalam praktek menangis karena Rabbnya.

Beliau terbukti sering menangis baik sedang berada di tempat sepi ataupun di depan orang banyak, baik sewaktu membaca, atau mendengar ayat-ayat al-Qur’an bahkan disebabkan hal lain. Untuk lebih jelas mari kita perhatikan beberapa riwayat di bawah ini:


Menangis sewaktu shalat karena bacaan Al Qur’an



عن ابن عمر قال إخبرينا بأعجب ما رأيته من رسول الله صلى الله عليه وسلم
فبكت وقالت كل أمره كان عجبا أتاني في ليلتي حتى مس جلده جلدي ثم قال
ذريني أتعبد لربي عز وجل قالت فقلت والله إني لأحب قربك وإني أحب أن تعبد
ربك فقام إلى القربة فتوضأ ولم يكثر صب الماء ثم قام يصلى فبكى حتى بل
لحيته ثم سجد فبكى حتى بل الأرض ثم اضطجع على جنبه فبكى حتى إذا أتى بلال
الصبح قالت فقال يا رسول الله ما يبكيك وقد غفر الله لك ما تقدم من ذنبك
وما تأخر فقال ويحك يا بلال وما يمنعني أن أبكي وقد أنزل علي في هذه
الليلة إن في خلق السماوات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي
الألباب ثم قال ويل لمن قرأها ولم يتفكر فيها.

Dari Ibnu Umar RA (hai Aisyah!) beritahu kami tentang apa yang paling mengagumkan dari yang kamu lihat pada Rasulullah SAW, maka ia menangis dan berkata: Semua tingkah lakunya selalu mengagumkan. Pada suatu malam beliau datang kepadaku hingga bersentuhan kulitnya dengan kulitku, kemudian beliau bersabda: Perkenankan aku menyembah Rabbku Azza wa Jalla, maka aku berkata: demi Allah sungguh aku sangat senang engkau berada di dekatku, dan aku juga segan engkau menyembah Rabbmu.

Maka beliau berdiri untuk mengambil air wudlu dalam gariba, dan beliau tidak banyak menggunakan air, kemudian beliau melakukan shalat maka menangis hingga air matanya membasahi jenggotnya, kemudian sujud maka menangis hingga air matanya membasahi lantai, kemudian beliau berbariang dan terus menangis hingga tiba waktu shubuh terdengar suara Bilal.

Aisyah berkata: Bilal berkata: hai Rasulallah apa yang membuat engakau menangis, padahal Allah telah mengampuni semua dosamu baik yang dahulu ataupun yang akhir. Aduhai Bilal! Bagaimana aku tidak menangis sedangkan pada malam ini telah turun kepadaku inna fii khalqissamawat … Kemudian belliau bersabda: sungguh rugi orang yang membacanya tanpa disertai dengan tafakkur. Dengan hadis di atas maka jelaslah bahwa menangis sewaktu shalat karena membaca al-Quran adalah sunah Rasul yang mesti diikuti ummatnya.



Menangis karena mendengar Al-Qur’an dibacakan



عن عمرو بن مرة قال قال لي النبي صلى الله عليه وسلم اقرأ علي قلت آقرأ
عليك وعليك انزل قال فإني أحب أن أسمعه من غيري فقرأت عليه سورة النساء
حتى بلغت فكيف إذا جئنا من كل أمة بشهيد قال أمسك فإذا عيناه تذرفان

Dari Amr bin Murrah, Rasulullah SAW bersabda: Bacakan kepadaku (Al Qur’an)! Apakah patut aku membacakan kepadamu, padahal kepadamu diturunkannya? Beliau bersabda: Aku ingin mendengar dari yang lain. Maka aku bacakan surat al-Nisa hingga sampai bacaan ku pada ayat كيف إذا جئنا من كل أمة بشهيد beliau bersabda: "tahanlah (berhenti)!"
Ternyata kedua mata mencucurkan air mata.


Rasulullah saw tidak saja mudah menangis sewaktu membaca al-Quran, akan tetapi dikala beliau mendengar pun ternyata begitu mudah meneteskan air mata hingga tidak sanggup melanjutkannya.


Menangis karena kondisi lain


Jika ada yang berpandangan bahwa menangis hanya dinilai baik bila sedang sendirian pada waktu sunyi maka sesungguhnya Rasulullah saw suka menangis tidak hanya pada waktu sendirian dan ditempat sunyi. Beliau sebagai hamba yang paling dicintai Allah, ternyata tidak hanya menangis karena membaca al-Qur’an atau mendengarnya di tempat yang sepi pada malam hari akan tetapi beliau terkadang menangis juga di ruang terbuka dan didengar oleh para sahabat, hingga membuat mereka menangis karena terbawa tangisannya.



عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم لما أقبل من غزوة تبوك واعتمر
فلما هبط من ثنية عسفان أمر أصحابه أن يستندوا إلى العقبة حتى أرجع
إليكم فذهب فنزل على قبر أمه فناجى ربه طويلا ثم إنه بكى فاشتد بكاؤه
وبكى هؤلاء لبكائه وقالوا ما بكى نبي الله صلى الله عليه وسلم بهذا
المكان إلا وقد حدثت في أمته شئ لا يطيقه فلما بكى هؤلاء قام فرجع إليهم
فقال ما يبكيكم قالوا يا نبي الله بكينا لبكائك قلنا لعله حدث في أمتك
شئ لا تطيقه قال لا وقد كان بعضه ولكن نزلت على قبر فدعوت الله أن يأذن
لى في شفاعتها يوم القيامة فأبى الله أن يأذن لي فرحمتها وهي أمي فبكيت
الحديث

Dari Ibnu Abbas RA bahwa Nabi SAW ketika kembali dari perang Tabuk dan melakukan umrah dan ketika sammpai di Asfan beliau menyuruh para sahabat untuk menunggu di Aqabah hingga aku (Rasul) datang kepadamu. Maka beliau pergi dan turun menuju kuburan ibunya, maka bermunajat (merintih) kepada Rabbnya demikian lama, kemudian beliau menangis dan semakin menjadi menangisnya, maka merekapun pada menangis karena tangisannya. Dan mereka berkata: Nabi SAW tidak akan menangis di tempat ini kecuali ada yang menimpa ummatnya yang beliau tidak mampu memikulnya.

Ketika mereka semua menangis beliau berdiri dan kembali menghadap kepada mereka seraya bersabda: mengapa kalian menangis? Meraka berkata: hai Nabiyullah kami menangis karena engkau menangis. Kami berkata: boleh jadi ada sesuatu yang menimpa ummatmu yang engkau sanggup menghadapinya. Beliau bersabda: ya itu diantara penyebabnya, tapi juga karena aku turun menuju kuburan maka aku berdo’a kepada Allah mohon diizinkan untuk membersyafaat kepadanya pada hari kiamat, maka Allah menolaknya maka aku mengasihaninya karena dia adalah ibuku maka aku menangis……(alhadits)




Hadits diatas menjelaskan tentang tangisan Rasul yang terdengar oleh para sahabat yang membuat mereka hanyut dalam kesedihan. Artinya para sahabat menangis karena terpangaruh oleh Rasulullah Saw. Dan pada kondisi lain terjadi sebaliknya, yaitu Rasulullah menangis karena mendengar para sahabat menagis, sebagaimana keterangan Abu Hurairah:



قال أبو هريرة لما نزلت أفمن هذا الحديث تعجبون قال أهل الصفة إنا لله
وإنا إليه راجعون ثم بكوا حتى جرت دموعهم على خدودهم فلما سمع النبي صلى
الله عليه وسلم بكاءهم بكى معهم فبكيت لبكائه فقال النبي صلى الله عليه
وسلم لا يلج النارمن بكى خشية الله ولا يدخل الجنة مصر على معصية الله
ولو لم تذنبوا لذهب الله بكم ولجاء بقوم يذنبون فيغفر لهم ويرحمهم إنه هو
الغفور الرحيم

Abu Hurairah berkata: ketika turun ayat “afamin haadzal hadiitsi ta’jabuun” Ahi Shuffah berkata: “innaa lillah wainnaa ilaihi raji’un”. Kemudian mereka menangis hingga pipi mereka penuh dengan air mata. Ketika Rasulullah mendengar tangisan mereka, beliaupun menangis bersama mereka, maka akupun menangis. Maka Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah dan tidak akan masuk surga orang terus menerus ma’siat kepada Allah. Sekiranya kamu tidak berdosa pasti Allah akan mewafatkanmu dan Dia akan mendatangkan satu kaum yang berdosa kemudian mengampuni dan menyayangi mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang"





Dua hadits ini menjelaskan bahwa suasana sangat mendukung untuk mencapai kekhusyuan. Dua peristiwa yang sangat mengagumkan. Pertama gambaran bahwa para sahabat mendengar Rasul menangis maka mereka pun menangis padahal mereka belum mengetahui apa yang membuat Rasul menangis. Pada hadis kedua dapat kita saksikan bahwa para sahabat sangat peka dan sensitif dikala mendengar ayat al-Quran.

Mereka merasa bahwa setiap kali ayat diturunkan maka merekalah yang menjadi sasaran utama. Seolah-olah ayat ini menegur mereka hingga mereka merasa sebagai yang terancam dengan siksa. Abu Hurairah menangis terpengaruh oleh tangisan Rasul, dan Rasul menangis ketika mendengar para sahabat menangis sementara sahabat menangis karena menengar ayat dibacakan kepada mereka.

Karena itu muhasabah bersama sangat diperlukan untuk mendidik dan melatih diri kita agar hati kita menjadi lembut. Mudah-mudahan dengan kedua hadits ini, hamba-hamba Allah yang merasa ragu akan keshahihan muhasabah bersama kiranya dapat menjalin hubungan dan meningkatkan ukhuwwah Islamiyah dengan yang biasa melakukan muhasabah bersama.

Karena hal tersebut sudah jelas bermanfaat untuk silaturrahim antar sesama muslimin muslimat, meski latar belakang mereka berbeda namun dapat berkumpul pada waktu yang sama ditempat yang sama untuk membina diri meraih hakikat takwa kepada Allah SWT.


Wallahu 'alam.

Sunday, June 27, 2010

Menajamkan Mata Hati


Suatu hari Baginda Rasulullah SAW melewati seorang sahabat yang sedang membaca Alquran. Sampailah ia pada ayat yang artinya: Jika langit terbelah dan memerah seperti kulit merah (TQS ar-Rahman [55]: 37). Seketika tubuhnya gemetar dan ia menangis seraya bergumam, “Duh, apa yang bakal terjadi dengan diriku sekiranya langit terbelah (terjadi kiamat)? Sungguh malang nasibku!” Mendengar itu, Nabi SAW bersabda, “Tangisanmu menyebabkan para malaikat pun turut menangis.”

Dikisahkan pula, Abdullah bin Rawahah ra suatu ketika tampak sedang menangis dengan sedihnya. Melihat itu, istrinya pun turut menangis hingga Abdullah bertanya, “Mengapa engkau menangis?” Istrinya menjawab, “Melihatmu menangis, itulah yang menyebabkan aku menangis.” Abdullah bin Rawahah ra lalu bertutur, “Saat aku membayangkan bahwa aku bakal menyeberangi shirâth, aku tidak tahu apakah aku akan selamat atau tidak. Itulah yang membuatku menangis.” (al-Kandahlawi, Fadhâ'il A'mâl, hlm. 565.)

Kisah-kisah semacam ini yang menggambarkan rasa takut para sahabat, juga generasi salafush-shalih, terhadap azab Allah SWT sangatlah banyak. Wajarlah jika mereka adalah orang-orang yang selalu bersungguh-sungguh dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dan dalam menjauhi kemaksiatan kepada-Nya karena begitu dahsyatnya rasa takut mereka kepada-Nya. Benarlah Fudhail bin Iyadh saat berkata, “Rasa takut kepada Allah SWT selamanya akan membawa kebaikan.”


*****

Bagaimana dengan generasi Muslim saat ini? Sayang, rasa takut kepada Allah SWT sepertinya begitu sulit tumbuh pada kebanyakan kita. Yang terjadi sering sebaliknya. Kita seolah-olah menjadi orang yang paling berani menghadapi azab Allah SWT kelak pada Hari Kiamat. Bagaimana tidak? Perilaku kebanyakan kita menunjukkan demikian. Menerapkan hukum-hukum kufur, mencampakkan hukum-hukum Allah, menerapkan hukum secara tidak adil dan berlaku lalim terhadap rakyat tak lagi dipandang sebagai maksiat. Korupsi, kolusi dan suap-menyuap tak lagi dipandang sebagai dosa. Riba, judi, dan berlaku curang dalam bisnis tak lagi dianggap tindakan salah. Mengobral aurat, bergaul bebas, selingkuh dan zina tak lagi dipandang sebagai perbuatan laknat. Demikian seterusnya. Perilaku demikian nyata sekali menunjukkan bahwa kebanyakan generasi Muslim saat ini adalah orang-orang yang berani menantang azab Allah SWT yang sesungguhnya mahadahsyat! Padahal jika ada setitik saja pada diri kita rasa takut kepada Allah SWT, kita tentu akan selalu berusaha meninggalkan semua perbuatan terkutuk tersebut.

Sepantasnyalah kita malu dengan generasi shalafush-shalih sebagaimana direpresantasikan oleh secuil kisah sahabat di atas. Bagaimana tidak. Sebagian mereka sudah mendapatkan jaminan Allah SWT untuk masuk surga. Namun, toh rasa khawatir dan takut kepada Allah SWT yang luar biasa sering menyelimuti sebagian besar kalbu mereka. Simaklah kembali kekhawatiran dan rasa takut Umar ibn al-Khaththab ra., salah seorang sahabat besar Rasulullah SAW yang telah dijamin masuk surga, saat beliau bertutur, “Pada Hari Kiamat nanti, apabila diumumkan bahwa semua manusia akan masuk surga, kecuali seorang saja yang masuk neraka, maka aku sangat khawatir bahwa yang seorang itu adalah aku karena begitu banyaknya dosa-dosaku.”

Bagaimana dengan kita? Meski jelas kita sangat jauh lebih banyak dosanya daripada Umar bin al-Khaththab ra dan belum pasti mendapatkan 'tiket' masuk surga, rasa khawatir dan takut kepada azab Allah SWT sepertinya sulit tumbuh dalam diri kita. Kebanyakan kita santai-santai saja, bahkan sepertinya sudah kebal dengan rasa takut kepada Allah SWT, dan tidak khawatir dengan azab-Nya yang pasti siapapun mustahil sanggup menanggungnya.

Jika sudah demikian, sepertinya kita perlu kembali merenungkan firman Allah SWT dalam sebuah hadis qudsi, “Aku tidak akan mengumpulkan dua ketakutan pada seorang hamba. Jika ia tidak takut kepada-Ku di dunia maka Aku akan memberinya rasa takut di akhirat. Jika ia takut kepada-ku di dunia maka Aku akan menghilangkan rasa takut pada dirinya di akhirat.”

Karena itu, benarlah Abu Sulaiman Darani saat berkata, “Kecelakaanlah bagi jiwa yang kosong dari rasa takut kepada Allah SWT!”

Lantas mengapa kebanyakan generasi Muslim saat ini begitu hampa dari rasa takut kepada Allah SWT? Tidak lain, sebagaimana dinyatakan Allah SWT sendiri, “Sesungguhnya bukanlah mata-mata lahiriah mereka yang buta, tetapi yang buta ialah mata-mata hati mereka yang ada di dalam dada.” (TQS al-Hajj [22]: 46).

Ya, kebanyakan mata hati kita memang sudah dibutakan oleh gemerlap dunia yang sesungguhnya bersifat sementara dan cenderung menipu. Akibatnya, kita tak sanggup lagi melihat pahala dan dosa, serta tak berdaya lagi menatap nikmat surga dan azab neraka yang sesungguhnya kekal dan abadi serta benar-benar 'nyata'.

Alhasil, marilah kita kembali menajamkan mata hati

Monday, June 7, 2010

Kastanisasi Pendidikan


Kasihan anak-anak Indonesia sekarang. Memang bukan masa yang teramat indah bila dibandingkan dengan setelah mengetahui bagaimana kekhilafahan menjamin pendidikan rakyatnya, tetapi setidaknya masa SMP saya tidak semenyedihkan anak-anak sekarang. Setiap murid masih bisa duduk di bangku yang seragam, mengecap fasilitas laboratorium bersama, berjalan-jalan untuk studi sekolah di tempat yang sama. Ternyata ini tidak bisa dirasakan semua murid sekarang.

Meski banyak dibantah para penyelenggara pendidikan dan negara, tetapi fakta kastanisasi pendidikan semakin terasa. Harian Kompas (Kamis, 3 Juni 2010) memberitakan kondisi sekolah internasional dengan sekolah regular yang amat mencolok.

Di SMP 19 Jakarta, misalnya, kursi yang digunakan siswa kelas reguler hanyalah kursi kayu yang keras. Sementara siswa internasional duduk nyaman di kursi plastik dengan rangka stainless steel dan meja terpisah. Saya pernah mendengar pembedaan (bukan perbedaan, untuk menekankan kesengajaan membedakan) juga pada ruangan berpenyejuk udara dengan yang cukup berjendela di tengah udara Jakarta yang panas. Tidak hanya itu, siswa kelas internasional juga memiliki ruang khusus yang digunakan sebagai klinik, berikut dokter umum dan dokter spesialis gigi, yang siap sedia memeriksa setiap senin hingga kamis. Soal kunjungan kegiatan juga belum tentu dinikmati siswa sekolah reguler, karena mereka harus membayar kalau mau ikut kegiatan. Belum lagi guru-guru siswa kelas internasional adalah tenaga ahli atau guru outsourcing, yang konon ahli mengajar dengan dua bahasa, tentunya Inggris dan Indonesia.

Soal biaya, nah di sanalah masalahnya. Biaya masuk di sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) atau SBI (Sekolah berstandar Internasional) ini memang tarifnya juga internasional. Biaya masuknya Rp 8 juta- Rp 10 juta, sementara biaya bulanan Rp 450.000 hingga Rp 850.000.

Di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang sangat sulit seperti sekarang ini, tentu sekolah-sekolah ini hanyalah memunculkan kalangan elit saja. Wajar kalau banyak pengamat pendidikan menyebut, perilaku pemerintah Indonesia sekarang seperti pemerintah Kolonial Belanda. Masyarakat terpilah menjadi ningrat dan kebanyakan, kaya dan miskin. Yang kaya diperlakukan baik, yang miskin diabaikan. Lama-kelamaan yang miskin akan tersingkir juga.

Kini sejumlah sekolah mulai menghapuskan kelas reguler. Kenyataannya RSBI dan SBI memang menguntungkan para penyelenggara pendidikan yang mencintai uang.

Bicara soal berita Kompas, saya mengenang keindahan belajar di sebuah SMP yang disebut dalam berita tadi. Letaknya di jalan Bumi, bilangan Kebayoran Baru, Jakarta.

Semua sudut bisa dirasakan. Tidak ada perasaan terbedakan. Kami mengagumi mereka-mereka yang berprestasi. Teman-teman kami, banyak yang tinggal di pelosok-pelosok kumuh Jakarta. Para juara kelas putra seorang tambal ban dan putra pejabat eselon satu duduk bersama.

Tak ada beda kawasan perumahan pondok indah, permata hijau, dan wilayah kumuh belakang gedung-gedung bertingkat. Semua murid bisa saling menyapa, duduk bersama dan menikmati keindahan bersekolah. Para guru menikmati mengajar dan selalu memacu para siswa untuk berprestasi.

Kini semua sudah tidak dirasakan lagi. Pemerintah telah membangun kastanisasi di antara kami. Saya tidak bisa membayangkan sosok yang menyebabkan kesalahan-kesalahan ini terjadi. Apakah dia sedang merenungi kesalahan kebijakannya? Atau tertawa puas melihat pendidikan Indonesia di ambang kehancuran!
(Lathifah Musa)

Saturday, May 22, 2010

TeRoRisMe dan NegaRa IsLam




Kita tentu tidak bisa menolak takdir perubahan, kalau ternyata rakyat Indonesia yang mayoritas Islam ini kemudian mendukung penegakan negara Islam

Presiden SBY dalam keterangan persnya Bandara Halim Perdanakusumah, Senin (17/5) sebelum bertolak ke Singapura dan Malaysia menegaskan tujuan dari para teroris adalah mendirikan negara Islam. Padahal, menurut SBY, pendirian negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia. Aksi teroris juga bergeser dari target asing ke pemerintah. Ciri lain, menurut Presiden, para teroris menolak kehidupan berdemokrasi yang ada di negeri ini. Padahal, demokrasi adalah sebuah pilihan atau hasil dari sebuah reformasi. Karena itu menurut presiden keinginan mendirikan negara Islam dan sikap anti demokrasi tidak bisa diterima rakyat Indonesia .

Ada beberapa catatan penting kita dari pernyataan SBY ini. Antara lain , masalah pendirian negara Islam. Negara Islam adalah negara yang menjadikan Islam sebagai asasnya dan syariat Islam sebagai aturan segala aspek kehidupan. Hal ini bukanlah persoalan sejarah, atau masalah diterima oleh mayoritas rakyat banyak atau tidak. Tapi ini adalah masalah kewajiban dalam agama. Sudah seharusnya siapapun yang menjadi muslim terikat pada syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupannya termasuk bernegara, politik, ekonomi, dan pendidikan. Kewajiban ini merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim kepada Allah dan juga cerminan dari kecintaan kepada Allah SWT dan Rosul-Nya yang seharusnya dijadikan teladan. Semuanya itu diwujudkan dengan terikat pada hukum-hukum Allah SWT yang bersumber dari Al Qur’an dan as Sunnah.

Bukankah dalam berbagai kesempatan presiden SBY sering mengatakan kita harus menjadikan Rosulullah SAW sebagai teladan kehidupan kita ? Kita tentu masih ingat ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membacakan sambutan pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) V, Jum’at (7/5) di Jakarta. Dalam pidatonya, presiden sendiri mengatakan Islam hadir sebagai jalan kehidupan manusia dan rahmat bagi seluruh alam. Tuntunan Alquran dan Sunnah adalah pedoman hidup dan jalan yang lurus untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.Rasulullah pun telah mencontohkan tatanan peradaban yang dibangun atas dasar iman dan takwa. “Kita memiliki tugas sejarah untuk membangun dan mengembalikan kejayaan Islam!” tegas Presiden saat itu.

Kita juga ingat, ketika SBY memberikan kata sambutannya dalam Forum Ekonomi Islam Sedunia di Jakarta (2 /3/2009),SBY juga mengajak negara Islam bersatu atasi krisis dengan bersatu, negara-negara Islam akan bisa mengenang kembali kejayaan abad 13. Kalau bicara kejayaan Islam abad 13, tentu tidak bisa dipisahkan bahwa saat itu negara Islam yang dikenal dengan Khilafah Islam tegak dan menjalankan syariah Islam.

Menjadikan Al Qur’an dan as Sunnah sebagai pedoman hidup tentu bukan hanya dalam masalah ibadah ritual, moral, atau individual saja tetapi dalam seluruh aspek kehidupan. Disinilah urgensi negara Islam yang akan menerapkan syariah Islam secara keseluruhan. Adalah mustahil menerapkan syariah Islam secara keseluruhan kalau negaranya tidak berdasarkan kepada Islam.

Tentu saja meskipun mendirikan negara Islam adalah kewajiban agama (syar’i), kita sepakat secara realita sosiologis, apakah negara Islam tegak atau tidak, sangat tergantung kepada masyarakat, dalam pengertian dukungan dan kesadaran masyarakat. Sistem apapun akan berjalan akan tegak dan berjalan baik kalau di dukung oleh kesadaran masyarakat. Sistem demokrasi yang saat ini masih kita jadikan panutan karena masyarakat kita masih mendukungnya. Artinya, kita tentu tidak bisa menolak takdir perubahan, kalau ternyata rakyat Indonesia yang mayoritas Islam ini kemudian mendukung penegakan negara Islam.

Namun, kita setuju bahwa upaya membangun kesadaran masyarakat untuk menegakkan negara Islam dilakukan bukan dengan jalan teror. Jalan ini , bukanlah jalan yang ditempuh oleh Rosulullah SAW. Jalan ini bahkan bisa kontraproduktif. Bagaimana mungkin rakyat akan mendukung syariat Islam kalau mereka ditakut-takuti dengan bom atau pembunuhan ? Hizbut Tahrir sendiri yang memang menginginkan negara Islam global berupa Khilafah dengan sangat tegas menggariskan metode perjuangannya yang tidak menggunakan jalan kekerasan atau angkat senjata (non violence)

Takdir perubahan ini tidak bisa dicegah, apalagi kalau perubahan ini mengantarkan kepada kebaikan. Adalah sangat bodoh siapapun yang tidak mau berubah, gigih mempertahankan status-quo yang buruk padahal ada sistem yang lebih baik di depan matanya. Justru kita mempertanyakan sikap-sikap mempertahankan sistem demokrasi dan kapitalisme yang jelas-jelas didepan mata tampak kebobrokannya. Berbagai persoalan yang diderita rakyat sekarang ini seperti kemiskinan ,pengangguran yang tinggi, kebodohan ,kriminalitas, adalah buah dari sistem kapitalisme dimana diantara pilar pentingnya adalah sistem demokrasi?

Alih-alih mensejahterakan masyarakat , sistem demokrasi justru telah menjadi alat penjajahan baru yang melahirkan berbagai UU dan kebijakan yang mengokohkan penjajahan asing. Demokrasi ternyata juga melahirkan corporation state, hanya menguntungkan segelintir pemilik modal dan elit politisi bermoral bejat yang menumbuh suburkan praktik suap menyuap dan tipu menipu .

Disisi lain, adalah suatu kebohongangan sekaligus kebodohan mengkaitkan kewajiban penegakan negara Islam dengan tindakan terorisme. Kita melihat ada agenda busuk dibalik pengkaitan ini, agenda agar masyarakat kemudian takut , tertipu dan akhirnya tidak setuju dengan penegakan negara Islam. Upaya ini memang secara sistematis dilakukan oleh kekuatan-kekuatan imperialism yang khawatir akan kebangkitan Islam.

Upaya memberikan citra jelek terhadap syariah Islam ini disebutkan dalam rekomendasi Ariel Cohen (The Heritage Foundation). Dia menulis : AS harus menyediakan dukungan pada media lokal untuk membeberkan contoh-contoh negatif dari aplikasi syariah, seperti potong tangan untuk kejahatan ringan atau kepemilikan alkohol di Chechnya, keadaan Afghanistan di bawah Taliban atau Saudi Arabia, dan tempat lainnya. Perlu juga diekspose perang sipil yang dituduhkan kepada gerakan Islam di Aljazair. (Hizb ut-Tahrir: An Emerging Threat to US Interests in Central Asia )

Memang tegaknya negara Islam apalagi dalam wujud negara Islam global (al Khilafah al Islamiyah) sangat ditakuti oleh Barat. Mereka tahu persis tegaknya Khilafah akan menghentikan agenda penjajahan mereka di negari Islam. Pada 14/5/2010, salah seorang mantan petinggi Angkatan Bersenjata Inggris yang baru saja pensiun, Jenderal Richard Dannat dalam BBC’s Today Program dengan sangat gamblang menyatakan perang di Afghanistan adalah perang melawan Islam.

Ketika ditanya tentang alasan pendudukan Afghanistan dengan tegas dinyatakan untuk mencegah agenda Islamist yang ingin menegakkan Khilafah Islam abad ke 14 dan 15, yang sekarang bergerak tumbuh dari Asia Selatan, Timur Tengah hingga Afrika Utara. Karena itu kita tentu sangat kita sayangkan kalau SBY terjebak dalam propaganda Barat ini yang mengkaitkan terorisme dengan upaya penegakan syariah Islam atau negara Islam. (Farid Wadjdi)


Komentar : Terorisme bukan dari Islam tetapi pesan sponsor dari pemerintah AS yang tercantum dalam dokumen NSS 2006 untuk menciptakan phobia Islam dan agar perjuangan menegakkan Islam dibawah naungan Islam bisa dihentikan dengan phobia tersebut. Padahal suka atau tidak suka, jika Allah menghendaki dien dan pejuangNya menang dengan lahir dan tegaknya khilafah kembali atas manhaj kenabian untuk kedua kalinya sebelum kiamat tiba, maka kehendak Allah pasti terjadi meski manusia membencinya. Tinggal mau atau tidak kita mendukung dan memperjuangkannya. Mau atau tidak kita termasuk orang-orang yang beruntung berada di samping perjuangan dan pejuang dienNya

Saturday, March 20, 2010

Soal Kebenaran, Benarkah Relatif?


SELAIN mengatakan bahwa tentang sesat yang tahu hanya Tuhan, kaum Islam liberal-pluralis juga mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif. Dengan ini, seolah-olah mereka ingin menyimpulkan: bahwa manusia itu tidak bisa membedakan mana yang sesat dan mana yang benar, karena yang sesat tak dapat diketahui dan yang benar juga tak jelas yang mana. Akibat cara berpikirnya ini, maka tak aneh jika mereka tak pernah khawatir kalau berbuat salah.

Ada sebuah pertanyaan yang yang meski dijawab oleh mereka: jika Tuhan dengan tegas memerintahkan umat manusia untuk menghidari kesesatan karena akan dibalas neraka bagi pelakunya dan Tuhan juga memerintahkan untuk mengikuti kebenaran dengan balasan surga dan neraka bagi yang menolaknya, lalu bagaimana jika kesesatan dan kebenaran itu sendiri tidak bisa dimengerti dan diketahui oleh manusia. Dengan demikian, bagi Allah, perintah tersebut menjadi sia-sia, dan bagi manusia hal itu adalah tanggung jawab yang tidak akan sanggup mereka lakukan (taklif bima la yutoq), karena mereka diberi perintah dan akan diberi sanksi jika melanggar, tapi tak jelas isi perintahnya.

Jika sesat dan kebenaran tak jelas maksudnya, maka bagi manusia keduanya ibarat sebuah nama tanpa ada pemiliknya (al Ismu biduni al musamma) atau sifat tapi tak ada yang disifati (as sifat biduni al mausuf) atau lafadz tak bermakna.

Hal semacam ini sebenarnya bertentangan dengan pernyataan kaum liberal sendiri; bahwa lafadz adalah pertanda dari sebuah realitas atau ma'na dan realitas itu lebih dahulu ada dari lafadznya tsb.

Mencari Kebenaran

Faham relativisme kebenaran adalah bagian dari pluralisme agama yang mengatakan bahwa kebenaran pemahaman tentang Tuhan bagi setiap pemeluk agama adalah relatif, karena mereka sama-sama ingin mencari Tuhan, tapi Tuhan bersifat metafisik dan transendental, hingga akhirnya manusia menjadi beragam dalam memahami Tuhan yang absolut tersebut. Pemahaman manusia ini kemudian diwujudkan dengan nama-nama dan simbol-simbol yang saling berbeda antara pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya.

Agama-agama, menurut Fritjhof Schuon, penggagas faham Kesatuan Transenden Agama-agama (transcendent unity of religions) dibagi menjadi dua: tingkat eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (batiniyah). Pada tingkat eksoterik agama-agama mempunyai Tuhan, teologi, ajaran yang berbeda. Namun pada tingkat esoterik agama-agama itu menyatu dan memiliki Tuhan yang sama yang abstrak dan tak terbatas.

Dari keterangan di atas dapat kita fahami bahwa kaum pluralis mengangap bahwa akidah semua agama adalah hasil karya manusia, dan pemahaman tentang Tuhan adalah hasil pencarian dan spekulasi manusia sendiri, tidak ada sumber dari Tuhan sendiri yang menjelaskan atau kalau boleh dikatakan manusialah yang menciptakan Tuhan-Tuhan mereka sendiri. Karena setiap agama membuat definisi sendiri-sendiri tentang siapa Tuhan, seperti apa sifat dan nama-Nya, sehinngga wajar jika hasilnya berbeda-beda.

Jika anggapan mereka demikian, maka teori pluralisme agama ini sebenarnya sudah dengan sendirinya tidak berlaku bagi agama Islam, karena asumsi kaum pluralis adalah bahwa pemahaman Tuhan oleh semua agama adalah hasil ciptaan manusia, dan asumsi tersebut ternyata berbeda dengan kenyataan yang ada di dalam agama Islam. Pengetahuan umat Islam tentang Allah, dengan nama-nama-Nya dalam asmaul husna dan segala sifat-Nya adalah bersifat "tauqifiyah", yaitu dari Allah sendiri yang diperkenalkan ke manusia lewat wahyu yang Dia turunkan kepada para Nabi yang Dia utus, mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. Bukan ciptaan umat Islam atau Nabi itu sendiri, dan di dalam agama Islam tidak ada lahan spekulasi untuk berkata tentang Tuhan

Oleh karena itu, Allah swt. dalam Al-Quran mengatakan bahwa orang yang berkata tentang Tuhan tanpa ada landasan wahyu adalah orang yang berkata tentang Tuhan tanpa pengetahuan.

"Dan di antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa Kitab (wahyu) yang bercahaya (yang menjelaskan antara yang hak dan yang batil).” (QS, Al Hajj:08)

"Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS, Al Baqoroh:169)

"Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempuyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah yang Maha Kaya; Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?." (QS, Yunus:68)

Orang yang ingin memahami sesuatu tanpa didasari ilmu pengetahuan maka tiada cara kecuali dengan mengira-ngira, berhipotesa atau bersepekulasi, karena kalau sudah ada ilmu pengetahuan yang meyakinkan pasti tidak perlu bersepekulsi. Dan orang yang meyakini sesuatu dari hasil spekulasi maka sebenarnya dia telah meyakini sesuatu yang dia sendiri sebenarnya tidak yakin dengan hal tersebut. Meyakini sesuatu yang tidak meyakinkan adalah keyakinan problematik, lalu kenapa diyakini?!

Dari masalah ini dapat kita metahui pula tentang pentingnya diuutusnya seorang Rasul sebagai penerima wahyu Tuhan. Keyakinan awal umat manusia adalah sama, bahwa alam dunia ini memiliki sang pencipta, yang menciptakan dan yang mengatur alam dunia ini atau mereka sebut Tuhan. Tapi, manusia tak bisa mengetahui secara pasti tentang siapa itu Tuhan, siapa nama-Nya dan bagaiman sifat-sifat-Nya. Akhirnya mereka saling berspekulasi tentang Tuhan. Dengan ini menjadi pentinglah diutusnya Rasul sebagai utusan Tuhan yang menujukan tentang siapa sebenarnya itu Tuhan, dan segala hal terkait dengan keberadaan-Nya agar manusia tidak terus-menerus bersepekulasi.

Selain itu para Rasul lewat wahyu memberi tahu umat manusia bahwa di balik alam nyata ini ternyata ada alam lain, alam yang sekarang tak mampu diketahui oleh panca indera, tapi hal itu ada dan ternyata mempunyai hubungan dengan manusia, yaitu alam ghaib, seperti malaikat, jin, syaitan, surga, neraka, surga, alam mahsar, hisab. Dari semua hal yang bersifat transendental dan metafisik tersebut semuanya tidak bisa diketahui kecuali dengan informasi yang dapat dipercaya(al khobar as shodiq), yaitu wahyu dari yang Maha Mengetahui (Allah swt.) yang diturunkan kepada orang yang jujur, terpercaya dan terjaga dari kesalahan, yaitu para Rasul. Jika tidak, maka tiada pilihan lain bagi manusia kecuali tidak mengakui adanya yang transenden dan metafisik tersebut atau mengakuinya tapi dengan jalan hipotesa atau spekulasi dan hal ini tidak meyakinkan karena hipotesa tidak bisa dipastikan kebenarannya.

Bukti Kebenaran

Telah kita kita ketahui sebelumnya bahwa pengetahuan umat Islam tentang Tuhan dan yang lain yang bersifat metafisik adalah dari al khobar as shodiq, karena manusia tidak bisa mengetahui secara langsung dengan panca indera. Dan di antara hal yang membuktikan bahwa isi khobar tersebut adalah benar-benar meyakinkan, di antaranya sebagai berikut:

1. Khobar tersebut. telah diterima dari sekian banyak Rasul yang dapat dipercaya, mulai dari Nabi Adam as. Sampai Nabi Muhammad saw. dan kondisi antar satu Nabi dengan Nabi yang lainnya adalah sangat plural baik dari segi masa, tempat atau negara, tabiat umat mereka, kondisi sosial dan budaya waktu itu, dan lain-lain. tapi khobar tersebut tetap sama isinya. Hal ini bisa terjadi karena yang menurunkan wahyu tersebut adalah satu (Allah swt.) dan yang menerima(para Rasul) orang yang jujur, dan isi sebuah berita, selama tetap asli, berita tersebut tidak terpengaruh oleh kondisi waktu, tempat, sosial, dan kultur sang penerima berita, dan juga bila ada sebuah berita yang dikabarkan kepada semisal "si A", kemudian diberitakan lagi yang lain semisal ke "si B", tapi isinya ternyata berbeda, berarti ada salah satu dari keduanya yang dibohongi. Dan mustahil Allah swt berbohong kepada Rasulnya.
2. Dan sangat mustahil seandainya setiap Nabi dan Rasul berspekulasi secara sendiri-sendiri, tapi mampu menghasilkan hasil spekulasi yang sama dari segala sisi dari masalah yang dispekulasikan.
3. Masalah akidah adalah nauu' al khobar (jenis berita), oleh karena itu akidah para Nabi dan Rasul adalah sama. Berbeda dengan syari'at, syari'at adalah nuu' al insa (jenis pengadaan) sehingga bisa berbeda-beda, karena untuk mengatur kehidupan umat yang berbeda-beda.


Kesimpulan

Relativitas kebenaran pengetahuan tentang Tuhan oleh umat beragama hanya bisa terjadi bila seluruh umat beragama "tanpa terkecuali" memperoleh pengetahuan tersebut lewat akal budi mereka, dengan berhipotesa, spekulasi atau sejenisnya, tanpa ada wahyu yang dapat dijadikan petunjuk, hingga tidak bisa dipastikan mana yang benar dan mana yang salah, seperti yang dianggap kaum pluralis sendiri. Tapi, telah kita ketahui bahwa pengetahuan tentang yang transendental tersebut tidak dapat diketahui dengan benar kecuali dengan al khobar as shodiq dan sejak dahulu para Rasul telah menerima khobar tersebut.

Maka dengan ini, dari sekian banyak pengetahuan tentang Tuhan yang tadinya mungkin relatif, menjadi tidak relatif lagi, karena yang lain masih berhipotesa, dan belum bisa memastikan benar tidaknya dan al khobar as shodiq yang pasti benar telah memastikan hipotesa-hipotesa tersebut salah.

Dan realitas yang ada bahwa dari sekian banyak pemahaman umat beragama tentang Tuhan semuanya saling kontradiksi, dan sifat di antara dua hal atau lebih yang saling kontradiksi adalah saling membatalkan di antara yang satu dengan yang lainnya, tidak bisa benar secara bersamaan. Dan al khobar as shodiq telah menunjukan mana yang benar.

Di dalam akidah Islam tidak ditemukan dan diterima keyakinan yang kontradiksi, karena hal itu tidak rasional. Pluralisme agama adalah keyakinan penuh kontradiksi dan problematik, maka tidak selayaknya diyakini oleh orang yang masih mampu berpikir rasional. Dan pernyataan kaum liberal/pluralis yang mengatakan bahwa akidah Islam terpengaruh sosial dan kultur waktu turunnya wahyu adalah pernyataan yang keluar karena tidak faham objek masalah.

Ingat! Kondisi sosial dan kultur antarsatu Nabi dengan yang lainnya adalah lebih plural dari kondisi sekarang, tapi kenapa tidak berpengaruh, hal ini yang harus mereka jawab. Dan seandainya mereka mengatakan bahwa relativitas kebenaran terletak pada pemahaman wahyu tersebut, bukan pada kebenaran wahyunya, maka dengan ini ilmu matematika bukan lagi ilmu pasti lagi bagi mereka, karena wahyu mengatakan Tuhan itu hanya satu. Jika pemahaman hanya satu masih relatif kebenarannya, maka satu tambah satu belum tentu dua, tapi masih relatif, mungkin dua, tiga, dan seterusnya. Wallahu a'lam bisshowab.

Tuesday, March 9, 2010

10 aLasaN MenoLaK ObaMa, PreSideN NegaRa ImpeRiaLis


10 aLasaN MenoLaK ObaMa, PreSideN NegaRa ImpeRiaLis:

1. Obama adalah kepala negara dari negara penjajah Amerika Serikat bertentangan dengan sikap politik Indonesia yang anti penjajahan

2. Kedatangan Obama untuk memastikan dan mengokohkan Indonesia sebagai negara kapitalis sekuler yang telah menjadi sumber berbagai persoalan di Indonesia.

3. Kedatangan Obama untuk mengokohkan penjajahan ekonomi lewat perusahaan Amerika yang merampok kekayaan alam Indonesia di Aceh, Riau, hingga Papua.

4. Kedatangan Obama merupakan sebagai bagian dari politik belah bambu di dunia Islam yang menampilkan citra positif Amerika untuk menutupi kejahatannya di negeri Islam lainnya.

5. Obama memerangi kaum muslimin di Afghanistan bahkan mengirim 30 ribu pasukan tambahan yang telah menewaskan ribuan umat Islam termasuk anak-anak dan ibu-ibu.

6. Obama tidak sepenuhnya menarik pasukan AS dari Irak yang selama pendudukan AS telah membunuh lebih 1 juta umat Islam

7. Obama hingga saat ini belum menutup penjara Guantanamo sesuai dengan janjinya yang menjadi tempat penahanan dan penyiksaan banyak muslim yang tidak bersalah dan tempat penghinaan terhadap Islam dan Al Qur’an

8.Obama dengan setia menjadi pendukung setia Zionis Israel yang hingga saat ini terus membantai umat Islam di Palestina.

9. Obama tidak mengecam sama sekali ketika Israel membantai lebih kurang 1300 muslim di Gaza sebaliknya bahkan mendukung tindakan kejam Zionis Israel itu

10.Status negara Amerika adalah Muhariban Fi’lan karena secara langsung membunuh umat Islam, haram melakukan hubungan dalam bentuk apapun. Islam mengharamkan kaum muslimin menyambut pembunuh umat Islam yang merupakan musuh Allah SWT dan musuh Umat Islam apalagi menjadikannya sebagai sahabat dan tamu terhormat

Thursday, January 21, 2010

Prohibition Of Nationalism In Islam


Nationalism is a concept alien to Islam because it calls for unity based on family and tribalistic ties, whereas Islam binds people together on the `Aqeedah, that is belief in Allah (swt) and His Messenger (saw). Islam calls for the ideological bond.

Grouping the Muslims on tribalism is clearly forbidden. It is narrated by Abu Da'wud that the Messenger of Allah (saw) said:

"He is not one us who calls for Asabiyyah, (nationalism/tribalism) or who fights for Asabiyyah or who dies for Asabiyyah."

And in another Hadith, the Messenger of Allah (saw) referring to nationalism, racism, and patriotism said:

"Leave it, it is rotten." [Muslim and Bukhari]

And in the Hadith recorded in Mishkat al-Masabith, the Messenger of Allah (saw) said:

"He who calls for Asabiyyah is as if he bit his father's genitals"

Also, the Messenger of Allah (saw) said, narrated by At-Tirmidhi and Abu Dawud,

"There are indeed people who boast of their dead ancestors; but in the sight of Allah they are more contemptible than the black beetle that rolls a piece of dung with its nose. Behold, Allah has removed from you the arrogance of the Time of Jahiliyyah (Ignorance) with its boast of ancestral glories. Man is but an Allah-fearing believer or an unfortunate sinner. All people are the children of Adam, and Adam was created out of dust."

Also, the Messenger of Allah (saw) said:

"Undoubtedly Allah has removed from you the pride of arrogance of the age of Jahilliyah (ignorance) and the glorification of ancestors. Now people are of two kinds. Either believers who are aware or transgressors who do wrong. You are all the children of Adam and Adam was made of clay. People should give up their pride in nations because that is a coal from the coals of Hell-fire. If they do not give this up Allah (swt) will consider them lower than the lowly worm which pushes itself through Khara (dung)."
[Abu Dawud and Tirmidhi]

There are many examples in the Seerah where the Messenger of Allah (saw) had rebuked those who upheld nationalism. One one occasion a party of Jews conspired to bring about disunity in the ranks of the Muslims after seeing the Aus and Khazraj within Islam. A youth from amongst them was sent to incite remembrance of the battle of Bu'ath where the Aus had been victorious over the Khazraj, and he recited poetry to bring about division between them. As a result there was a call to arms.
When the news reached the Messenger of Allah, he (saw) said:

"O Muslims, remember Allah, remember Allah. Will you act as pagans while I am present with you after Allah has guided you to Islam, and honored you thereby and made a clean break with paganism; delivered you thereby from disbelief; and made you friends thereby?"

When they heard this they wept, and embraced each other. This incident clearly highlights how the messenger of Allah (saw) rebuked any forms of tribalism. Allah (swt) then revealed:

"O you who believe! Fear Allah as He should be feared and die not except in a state of Islam with complete submission to Allah. And hold fast, all of you together, to the rope of Allah (i.e. Qur'an), and be not divided among yourselves; and remember with gratitude Allah's favors on you; for you were enemies and He joined your hearts in love, so that by His Grace you became brothers; and you were on the brink of the pit of fire, and He saved you from it. Thus Allah make His signs clear to you that you may be guided."
[Surah Al'Imran (3); ayah 102-103]

It is narrated by Qatada that Ibnu Abi Hathim said that in the verses quoted above Allah (swt) has ordered the Muslims to hold fast to the book of Allah, His Deen, and to his covenant, and He has forbidden the Muslims to divide amongst themselves and to dispute with each other.

In another incident, Jabir ibn `Abd Allah al Ansari, narrated what happened at the watering place of al Muraysi which led to the Munafiqun stirring up the traces of `Asabiyyah and seeking to destroy the unity of the Muslims. He said: "We were on a raid when one of the Muhajirun kicked one of the Ansar. The Ansar said, `O Ansar! Help me! (calling his tribe) and the Muhajir said, `O Muhajirun! Help me! (calling his tribe). The Messenger of Allah (saaw) heard them and said:

"Why are you stirring up something which belongs to Jahilliyah?"

The Messenger of Allah (saw) did not deal with the situation only by speaking to his men, but he walked with the men all that day until nightfall, and through the night until morning and during the following day until the sun distressed them. Then he halted them, and as soon as they touched the ground, they fell asleep. He did this to distract their minds from what had transpired.

It is transmitted by at-Tabarani and al-Hakim that in one incident some people spoke very lowly about Salman al-Farsi. They spoke of the inferiority of the Persian in relation to the Arabs, and upon hearing this the Messenger of Allah (saw) declared:

"Salman is from us, the ahl al-bayt (the Prophet's family)."

This statement of the Messenger of Allah (saw) disassociates all links based on lineage and tribal considerations.

It was also transmitted, in two different versions, by Ibn al-Mubarak in his two books, Al-Birr and As-Salah, that some disagreement occurred between Abu Dharr and Bilal and Abu Dharr said to Bilal, "You son of a black woman." The Messenger of Allah (saaw) was extremely upset by Abu Dharr's comment, so he (saaw) rebuked him by saying:

"That is too much, Abu Dharr. He who has a white mother has no advantage which makes him better than the son of a black mother."

This rebuke had a profound effect on Abu Dharr, who then put his head on the ground swearing that he would not raise it until Bilal had put his foot over it.
These incidents demonstrate that tribal ties have no place in Islam. Muslims are commanded to stick together and not to disassociate themselves from each other just because they come from different tribes. The Messenger of Allah (saw) also said:

"The believers, in their love, mutual kindness, and close ties, are like one body; when any part complains, the whole body responds to it with wakefulness and fever." [Muslim]

"The faithful are like one man: if his eyes suffers, his whole body suffers." [Muslim]

"An Arab is no better than a non-Arab. In return, a non-Arab is no better than an Arab. A red raced man was not better than a black one except in piety. Mankind are all Adam's children and Adam was created out of clay."
[Al-Bukhari and Muslim, on the authority of Abu Musa]

Meaning that the Muslims, whether they are of Chinese, African, European or Asian origin, are one Ummah and they cannot be separated from each other. No tribalistic ties should ever break their unity.
Furthermore, Allah (swt), says:

“The Faithful are but brothers..."
[Surah Al-Hujurat (49): ayah 10]

And the Messenger of Allah (saw) said:

"The Faithful are to one another like [parts of] a building - each part strengthening the others"

and

"Every Muslim is a brother to a Muslim, neither wronging him nor allowing him to be wronged. And if anyone helps his brother in need, Allah will help him in his own need; and if anyone removes a calamity from [another] Muslim, Allah will remove from him some of the calamities of the Day of Resurrection; and if anyone shields [another] Muslim from disgrace, Allah will shield him from the disgrace on the Day of Resurrection."
[Al-Bukhari and Muslim, on the authority of `Abd Allah ibn `Umar]

Some people claim that the Messenger of Allah (saw) approved of nationalism because during the migration to Madinah, he (saw) said about Makkah with tears in his (saw) eyes:

"You are the most beloved land of Allah to me."

However, this saying has nothing to do with nationalism, and this can be seen from the full saying which people often do not quote:

"You are the most beloved land of Allah to me because you are the most beloved land of Allah to Allah."

The Messenger of Allah's (saw) lover for Makkah was based on the noble status that Allah (swt) has given to Makkah, and not because he (saw) was born there. All Muslims should have this love and affection for Makkah because it is the most beloved land in the sight of Allah (swt). After all, the Muslims pray towards Makkah and go there to perform Hajj there as it houses the Ka'ba. The above saying of the Messenger of Allah (saw) therefore has nothing to do with nationalism. If Rasoolillah (saw) and the Muhajireen amongst the Sahabah (ra) were tied to the homeland (of Makkah), they would have settled in Makkah after it became part of the Islamic State.

Not only does Islam forbid people from grouping on nationalistic ties, but it also prohibits the establishment of more than one state, whether these states are based on nationalism or otherwise. The only state that is allowed for the Muslims is the Islamic State, which is a state that is governed exclusively by Islam. Allah (swt) addressed the Messenger (saw):

"And rule between them by that which Allah revealed to you, and do not follow their vain desires away from the truth which came to you"
[Surah Al-Madinah (5): ayah 48]

and

"And rule between them by that which Allah revealed to you and do not follow their whims, and beware (be on the alert) that they may deviate you away from even some part of what Allah revealed to you."
[Surah Al-Maidah (5): ayah 49]

The speech of Allah (swt) to the Messenger (saw) is a speech to his (saw) Ummah unless specific evidence comes to restrict this. In this case, there is no such restriction, and so it becomes obligatory for the Muslims to rule according to Islam. And ruling according to Islam leaves no room for nationalistic constitutions whatsoever because what is applied, and what forms the criteria for judgement, is the Book of Allah (swt) and the Sunnah of the Messenger (saw).

Ruling according to Islam can only be achieved in one state, with one Khalifah. It is reported in Muslim that Abdullah ibn Amr ibn al-'As (ra) narrated that he heard the Messenger of Allah (saw) say:

"He who gave the bay'ah to an Imam, giving him the clasp of his hand and the fruit of his heart has to obey him as long as he can. If another comes to dispute with him (his authority) strike the neck of that person."

Abu Said al-Khudri narrated that the Messenger of Allah (saw) said:

"If a bay'ah is taken for two Khalifahs, kill the latter one."

And `Arfaja said that he heard the Messenger of Allah (saw) say:

"If someone comes to you when you are united over one man and wants to break your strength and divide your unity, kill him."

This unity of the Muslims was clearly highlighted in the document that the Messenger of Allah (saw) wrote when he established the Islamic State in Madinah. In this document, which was to regulate the relationships of Muslims and non-Muslims in the Islamic State, the Messenger of Allah (saw) said regarding the Muslims:

"Allah's covenant amongst them is one" and "The Believers are brothers to the exclusion of others" and "The peace of the believers is indivisible. No separate peace shall be made with believers are fighting in the way of Allah."

These statements serve to indicate that Muslims are one body and they are not to be treated separately. Furthermore, the obligation of having one state, and not many nationalistic states, also comes from the Ijma' of the Sahabah. When the Messenger of Allah (saw) died, the Sahabah (ra) convened to discuss the appointment of the Khalifah in the courtyard of Bani Sa'ida. One person had proposed that the Ansar should elect their own Amir and the Muhajireen their own, but Abu Bakr (ra) narrated the Hadith that forbids the Ummah from having more than one leader. Thus, the Sahabah (ra) never allowed more than one ruler and their consensus is a legitimate evidence for us.

Islam therefore leaves no room for the Saudi state, and Egyptian state, a Malaysian state, an Iraninan state, or a Pakistani state. Islam calls for one state with one ruler where all Muslims are bound by the Aqeedah of Islam. And this is a matter deciddd by Islam to which we must submit to, for Allah (swt) says:

"O mankind, verily We have created you from a male and a female, and made you peoples and tribes, so that you may recognize each other. Verily, the most honored of you to Allah is (he who) safeguards himself against evil with full awareness of Divine Laws. Verily, Allah is All-Knowing, All-Aware."
[Surah Al Hujurat (49): ayah 13]

This verse was revealed immediately after the triumphant entry of the Prophet (saw) into Makkah. After the declaration of immunity to the Quraysh, the Prophet (saw) requested Bilal (ra) to give the Adhan. A group of three new Muslims were observing the proceedings when Bilal (ra) was asked to make the Adhan. One of them remarked how happy he was that his parents were not present to see such a disgusting sight. Another one, Harith bin Hisham commented that the Prophet (saw) couldn't find anybody other than a black crow to make the Adhan. The third one, Abu Sufyan, abstained from making any adverse comment, stating that if he said anything, Allah (swt) would send a revelation to Muhammad (saw) addressing his statement.

Allah (swt) sent Jibreel (as) to inform the Prophet (saw) of the discussion that had just taken place. The prophet (saw) asked the three men about their conversation, who confirmed to the Prophet (saw) what Jibreel (as) told him. The verse of the Qur'an was subsequently revealed.
Because these individuals from the Quraysh were differentiating between themselves and Bilal (ra), Allah (swt) revealed this verse, concluding that the only criteria that Allah (swt) uses to judge between Muslims is that of Taqwa, which Bilal (ra) had and of which they were devoid of. This verse destroys the basis of nationalism in Islam.

In the first part of the Ayah, Allah (swt) revealed to humanity that all human beings were created from a single pair - Adam and Eve. This statement clearly refutes any claim of certain people that humans came from animals through the process of evolution or any other such claim.

The part of the Ayah, "..and made you peoples and tribes, so that you may know each other..." is usually misinterpreted as `nations and tribes' to justify the differences created by the existing borders, specifically in the Muslim World. In addition, such misinterpretations are also used to encourage Muslims to foster pride in these affiliations.

Unfortunately, these Muslims quickly jump to conclusions without looking at what Allah (swt) says. The errant understanding of this Ayah attempts to legitimize the current situation of the Muslim Ummah as many nations - divided and powerless - resulting from the destruction of the Khilafah state on March 3rd, 1924 by the puppet of the Kuffar, Mustafa Kamal.

Furthermore, such a misunderstanding lends legitimacy to the continued division of the already divided Muslim lands that occurred throughout the twentieth century, with the division of the Indian Subcontinent into Indian, Pakistani and Kashmiri regions; the further division of Pakistan into two countries with the creation of Bangladesh; and the renting asunder of the last Islamic Khilafah by the British agent Sykes and the French agent Picot during World War I in which they used the pencil and ruler to divide the Muslim Ummah.

"It is not for a believer (male or female) that when Allah and His Messenger have decreed a matter that they should have any choice in their decision. And whoever disobeys Allah and His Messenger, he has indeed strayed in plain error."
[Surah Al-Ahzab (33): ayah 36]

And those who still uphold nationalism, remember what Allah (swt) says,

"And let those who oppose the Messenger's commandment beware, lest some Fitnah (disbelief, trials,afflictions,...) befall them or a painful torment be inflicted on them."
[Surah An-Nur (24): ayah 63]

Thursday, January 7, 2010

PluraLisme BerTentaNgan denGan IsLam, HaRam MenyeBarkan daN MenerapKanNya


Bersamaan dengan meninggalnya Gus Dur, isu pluralisme kembali menjadi perbincangan. Presiden SBY pun secara khusus memberikan gelar “Bapak Pluralisme” untuk Gus Dur. Padahal MUI sendiri dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 telah dengan jelas-jelas menyebutkan bahwa pluralisme adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut. Bagaimana sesungguhnya pluralisme itu dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya ?

Pluralisme didefinisikan sebagai paham yang mengakui adanya pemikiran beragam -agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-lain. Kadang-kadang pluralisme juga diartikan sebagai paham yang menyatakan, bahwa kekuasaan negara harus diserahkan kepada beberapa golongan (kelompok), dan tidak boleh dimonopoli hanya oleh satu golongan. Merujuk pada definisi kedua ini, Ernest Gellner menyebut model masyarakat yang menjunjung tinggi hukum dan hak-hak individu sebagai masyarakat sipil (civil society). Gellner juga menyatakan bahwa civil society merupakan ide yang menggambarkan suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang mampu mengimbangi kekuasaan negara.

Kemunculan ide pluralisme –terutama pluralisme agama- didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan truth claim yang dianggap sebagai pemicu munculnya ekstrimitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan antar umat agama atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim). Adapun dilihat dari cara menghapus truth claim, kaum pluralis terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama berusaha menghapus identitas agama-agama, dan menyerukan terbentuknya agama universal yang mesti dianut seluruh umat manusia. Menurut mereka, cara yang paling tepat untuk menghapus truth claim adalah mencairkan identitas agama-agama, dan mendirikan apa yang disebut dengan agama universal (global religion). Sedangkan kelompok kedua menggagas adanya kesatuan dalam hal-hal transenden (unity of transenden). Dengan kata lain, identitas agama-agama masih dipertahankan, namun semua agama harus dipandang memiliki aspek gnosis yang sama. Menurut kelompok kedua ini, semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Gagasan kelompok kedua ini bertumpu pada ajaran filsafat perennial yang memandang semua agama menyembah Realitas Mutlak yang sama, dengan cara penyembahan yang berbeda-beda.

Inilah gagasan-gagasan penting seputar ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di dunia Islam melalui berbagai cara dan media, misalnya dialog lintas agama, doa bersama, dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan pemerintah yang harus mengacu kepada HAM dan asas demokrasi. Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga Negara untuk beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru. Setiap orang wajib menjunjung tinggi prinsip kebebasan berfikir dan beragama, seperti yang dicetuskan oleh para penggagas paham pluralisme.

Argumentasi Para Penggagas Pluralisme Agama dan Koreksinya

Meskipun ide pluralisme –baik yang beraliran agama global maupun kesatuan transenden — ditujukan untuk meredam konflik akibat adanya keragaman agama, dan truth claim, namun ide ini ujung-ujungnya malah menambah jumlah agama baru dengan truth claim yang baru pula. Wajar saja jika ide ini mendapat tantangan keras dari agama beserta pemeluknya, terutama Islam dan kaum Muslim. Oleh karena itu, para pengusung gagasan pluralisme berusaha dengan keras mencari pembenaran dalam teks-teks agama agar paham ini (pluralisme) bisa diterima oleh kaum Muslim. Adapun alasan-alasan yang sering mereka ketengahkan untuk membenarkan ide pluralisme tersebut adalah sebagai berikut:

a. Surat al-Hujurat Ayat 13

Allah swt telah berfirman;

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah. “(al-Hujurat:13).

Menurut kaum pluralis, ayat ini menunjukkan adanya pengakuan Islam terhadap ide pluralisme.

Koreksi:

Pada dasarnya, ayat ini sama sekali tidak berhubungan dengan ide pluralisme agama yang diajarkan oleh kaum pluralis. Ayat ini hanya menjelaskan keberagaman (pluralitas) suku dan bangsa. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Islam mengakui ‘klaim-klaim kebenaran” (truth claim) dari agama-agama, isme-isme, dan peradaban-peradaban selain Islam. Ayat ini juga tidak mungkin dipahami, bahwa Islam mengakui keyakinan kaum pluralis yang menyatakan, bahwa semua agama yang ada di dunia ini menyembah Satu Tuhan, seperti Tuhan yang disembah oleh kaum Muslim. Ayat ini juga tidak mungkin diartikan, bahwa Islam telah memerintahkan umatnya untuk melepaskan diri dari identitas agama Islam, dan memeluk agama global (pluralisme). Ayat ini hanya menerangkan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku dan bangsa, serta identitas-identitas agama selain Islam; dan sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme.

Agar kita bisa memahami makna ayat tersebut di atas, ada baiknya kita simak kembali penjelasan para mufassir yang memiliki kredibilitas ilmu dan ketaqwaan.

Dalam kitab Shafwaat al-Tafaasir, Ali al-Shabuniy menyatakan, “Pada dasarnya, umat manusia diciptakan Allah swt dengan asal-usul yang sama, yakni keturunan Nabi Adam as. Tendensinya, agar manusia tidak membangga-banggkan nenek moyang mereka. Kemudian Allah swt menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling mengenal dan bersatu, bukan untuk bermusuhan dan berselisih. Mujahid berkata, “Agar manusia mengetahui nasabnya; sehingga bisa dikatakan bahwa si fulan bin fulan dari kabilah anu’. Syekh Zadah berkata, “Hikmah dijadikannya kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar satu dengan yang lain mengetahui nasabnya. Sehingga, mereka tidak menasabkan kepada yang lain….Akan tetapi semua itu tidak ada yang lebih agung dan mulia, kecuali keimanan dan ketaqwaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Barangsiapa menempuhnya ia akan menjadi manusia paling mulia, yakni, bertaqwalah kepada Allah.”

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa surat Hujurat ayat 13 hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku, bangsa, agama, dan lain-lain. Adanya keragaman suku, bangsa, bahasa, dan agama merupakan perkara alami. Hanya saja, Islam tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya. Islam juga tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Bahkan, Islam menolak klaim kebenaran yang dikemukakan oleh penganut-penganut agama selain Islam, dan menyeru seluruh umat manusia untuk masuk ke dalam Islam, jika mereka ingin selamat dari siksa api neraka. Perhatikan ayat-ayat berikut ini;

لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ(٦٧)وَإِنْ جَادَلُوكَ فَقُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا تَعْمَلُونَ(٦٨)اللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ(٦٩)أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ(٧٠)وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَمَا لَيْسَ لَهُمْ بِهِ عِلْمٌ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ(٧١)

“Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan. Rabb akan memutuskan apa yang kami perselisihkan di hari akhir. Apa mereka tidak tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi. Semua itu ada di dalam pengetahuanNya , semua itu mudah bagi Allah. Mereka menyembah selain Allah tanpa keterangan yang diturunkan Allah, tanpa dasar ilmu. Mereka adalah orang-orang dzalim yang tidak mempunyai pembela.” (al-Hajj:67-71).

Ayat ini dengan tegas menyatakan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) agama. Hanya saja, Islam tidak pernah mengakui kebenaran (truth claim) agama-agama selain Islam. Tidak hanya itu saja, ayat ini juga menegaskan bahwa agama-agama selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah swt. Lalu, bagaimana bisa dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya, dan menyembah kepada Tuhan yang sama?

Di ayat yang lain, al-Quran juga menegaskan bahwa agama yang diridloi di sisi Allah swt hanyalah agama Islam.

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imron:19).

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imron:85).

Pada tempat yang lain, Allah swt menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam, baik Yahudi dan Nashrani, Zoroaster, dan lain sebagainya. Al-Quran telah menyatakan masalah ini dengan sangat jelas.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ

“Dan diantara manusia ada yang mendewa-dewakan selain daripada Allah, dan mencintainya sebagaimana mencintai Rabb, lain dengan orang yang beriman, mereka lebih mencintai Allah. Kalau orang lalim itu tahu waktu melihat adzab Allah niscaya mereka sadar sesungguhnya semua kekuatan itu milik Allah, dan Allah amat pedih siksaNya.”(al-Baqarah:165).

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (al-Taubah:30)

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah:31)

وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ قُلْ فَلِمَ يُعَذِّبُكُمْ بِذُنُوبِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بَشَرٌ مِمَّنْ خَلَقَ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah: “Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?” (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (al-Maidah:18)

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ

“Sungguh telah kafir, mereka yang mengatakan, “Tuhan itu ialah Isa al-Masih putera Maryam.”(al-Maidah:72)

Ayat-ayat di atas –dan masih banyak ayat yang lain– menyatakan dengan sangat jelas (qath’iy), bahwa Islam telah menolak truth claim semua agama selain Islam. Islam juga menyatakan dengan tegas, bahwa konsepsi Ketuhanan Islam berbeda dengan agama selain Islam yang ada pada saat ini, alias tidak sama. Sedangkan agama Yahudi dan Nashraniy sebelum disimpangkan oleh penganutnya, dahulunya masih memiliki konsepsi ketuhanan yang sama dengan agama Islam, yakni tauhid. Hanya saja, karena keculasan para penganutnya, akhirnya dua agama menyimpang jauh dari konsepsi tauhid. Dari sini bisa dipahami, bahwa Islam tidak sama dengan agama yang lain yang ada pada saat ini, baik dari sisi cara penyembahan (bentuk empirik), maupun konsepsi ketuhanannya (aspek gnosis). Fakta nash telah menunjukkan kesimpulan ini dengan sangat jelas. Oleh karena itu, menyamakan Islam dengan agama selain Islam jelas-jelas keliru dan menyesatkan, bahkan terkesan dipaksakan.

Seandainya ide pluralisme agama ini memang diakui di dalam Islam, berarti, tidak ada satupun orang yang masuk ke neraka dan kekal di dalamnya. Padahal, al-Quran telah menjelaskan dengan sangat jelas, bahwa orang Yahudi, Nashrani, dan kaum Musyrik, tidak mungkin masuk ke surganya Allah, akan tetapi mereka kekal di dalam neraka. Perhatikan ayat berikut ini.

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (al-Baqarah:111)

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa surat al-Hujurat ayat 13 bukanlah pembenar bagi ide pluralisme agama. Ayat tersebut hanya berbicara pada konteks pluralitas suku, bangsa, dan agama, dan sama sekali tidak berbicara pada konteks gagasan pluralisme, seperti yang diklaim para pengusung ide pluralisme. Bahkan, nash-nash al-Quran jelas-jelas telah menyatakan pertentangan Islam dengan ide pluralisme.

Demikianlah, Islam sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme, baik ide agama global maupun kesatuan transenden. Islam hanya mengakui adanya pluralitas agama dan keyakinan, serta mengakui adanya identitas agama-agama selain Islam. Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan memeluk keyakinan dan agama mereka. Hanya saja, pengakuan Islam terhadap pluralitas agama tidak boleh dipahami bahwa Islam juga mengakui kebenaran (truth claim) agama selain Islam.

Adapun untuk memecahkan masalah pluralitas agama dan keyakinan, Islam memiliki sikap dan pandangan yang jelas; yakni mengakui identitas agama-agama selain Islam, dan membiarkan pemeluknya tetap dalam agama dan keyakinannya. Islam tidak akan melenyapkan identitas agama-agama selain Islam, seperti gagasan kelompok pluralis pertama (global religion).

Akhirnya, pluralisme adalah paham sesat yang bertentangan ‘aqidah Islam. Siapapun yang mengakui kebenaran agama selain Islam, atau menyakini bahwa orang Yahudi dan Nashrani masuk ke surga, maka dia telah murtad dari Islam.

b. Islam Tidak Memaksa Manusia untuk Masuk ke Dalam Agama Islam

Ayat lain yang sering digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme adalah ayat;

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah:256)

Surat al-Baqarah ayat 256 ini sering dieksploitasi untuk membenarkan ide pluralisme. Mereka menyatakan, Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk ke dalam Islam, bahkan mereka dibiarkan tetap dalam agama mereka. Ini menunjukkan, bahwa Islam mengakui kebenaran agama selain Islam (pluralisme), tidak hanya sekedar mengakui pluralitas (keragaman) agama.

Koreksi:

Sesungguhnya, ayat ini tidak bisa digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme. Ayat ini hanya berbicara pada konteks “tidak ada pemaksaan bagi penganut agama lain untuk masuk Islam”. Sebab, telah tampak kebenaran Islam melalui hujjah dan dalil yang nyata. Oleh karena itu, Islam tidak akan memaksa penganut agama lain untuk masuk Islam. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan, bahwa Islam membenarkan keyakinan dan ajaran agama selain Islam. Bahkan, ayat ini telah menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa kebenaran itu ada di dalam agama Islam, sedangkan agama yang lain jelas-jelas bathilnya. Hanya saja, kaum Muslim tidak diperbolehkan memaksa penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.

Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan al-diin pada ayat di atas (al-Baqarah:256) adalah al-mu’taqid wa al-millah (keyakinan dan agama). Sedangkan kandungan isi ayat ini, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, adalah; sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam. Sebab, kebenaran Islam telah terbukti berdasarkan hujjah yang terang dan gamblang; sehingga, tidak perlu lagi memaksa para penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.

Ayat ini tidak berhubungan sama sekali dengan ide pluralisme yang diusung oleh kaum pluralis. Bahkan, ayat ini menyatakan dengan jelas, bahwa Islam adalah agama yang paling benar, sekaligus menolak truth claim agama-agama selain Islam. Tidak adanya pemaksaan atas penganut agama lain untuk masuk Islam hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui identitas agama mereka. Akan tetapi, Islam tidak mengakui sama sekali truth claim agama mereka. Bahkan, kaum Muslim diperintahkan untuk mengajak orang-orang kafir masuk ke dalam agama Islam dengan hujjah dan hikmah.

لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلَا يُنَازِعُنَّكَ فِي الْأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ

“Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” (al-Hajj:67)

c. Surat al-Maidah : 69 dan Surat al-Baqarah: 62

Dua ayat ini juga sering digunakan dalil oleh kaum pluralis untuk membenarkan paham pluralisme. Mereka menyatakan, bahwa dua ayat ini menyatakan dengan sangat jelas, bahwa Islam mengakui kebenaran agama-agama selain Islam, bahkan mereka juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt. Dua ayat tersebut adalah:

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(al-Maidah:69)

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah:62).

Sesungguhnya, ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan penganut agama lain yang ada pada saat ini. Sebab, topik yang diperbincangkan ayat tersebut adalah umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa umat-umat terdahulu, baik Yahudi, Nashrani, Shabi’un, yang taat kepada ajaran agamadan Rasulnya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Akan tetapi, ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa Islam mengakui truth claim agama-agama lain yang ada pada saat ini, baik Yahudi, Nashrani, Zoroaster, dan sebagainya. Dua ayat di atas tidak menunjukkan pengertian, bahwa pemeluk agama lain yang ada pada saat ini juga memiliki kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt, seperti halnya pemeluk agama Islam. Sebab, nash-nash al-Quran dan Sunnah dengan jelas menyatakan, bahwa setelah diutusnya Mohammad saw, seluruh manusia diperintahkan untuk meninggalkan agama mereka. Bahkan, Islam telah menjelaskan kesesatan dan kekafiran semua agama yang ada pada saat ini; baik agama Yahudi, Nashrani, maupun agama kaum Musyrik (Budha, Hindu, Konghucu, dan lain-lain).

Untuk menafsirkan surat al-baqarah ayat 62, ada baiknya kita simak penuturan ahli tafsir berikut ini:

Menurut al-Sudiy, ayat ini (al-Baqarah: 62) turun berkenaan dengan shahabat-shahabatnya (pendeta-pendeta) Salman al-Farisi; tatkala ia menceritakan kepada Nabi saw kebaikan-kebaikan mereka. Salman ra bercerita kepada Nabi saw, “Mereka mengerjakan sholat, berpuasa, dan beriman kepada kenabian Anda, dan bersaksi bahwa Anda akan diutus oleh Allah swt sebagai seorang Nabi.” Tatkala Salman selesai memuji para shahabatnya, Nabi saw bersabda, “Ya Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka.” Selanjutnya, Allah swt menurunkan ayat ini. Lalu hal ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi; yaitu, siapa saja yang berpegang teguh terhadap Taurat, serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as (maka ia selamat). Ketika Isa as telah diangkat menjadi Nabi, maka siapa saja yang tetap berpegang teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk agama Isa as, dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Demikian pula orang Nashraniy. Siapa saja yang berpegang teguh kepada Injil dan syariatnya Isa as hingga datangnya Mohammad saw, maka ia adalah orang Mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun, setelah Mohammad saw datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Mohammad saw, dan tetap beribadah seperti perilakunya Isa as dan Injil, maka ia akan mengalami kebinasaan.”

Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah swt menurunkan surat, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.”[Ali Imron:85]. Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan (agama, kepercayaan, dll), ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syari’atnya Mohammad saw. Adapun, umat terdahulu sebelum nabi Mohammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan keselamatan.” Inilah pengertian surat al-Baqarah:62; dan surat al-Maidah:59.

Dari uraian di atas jelaslah, dua ayat di atas ditujukan kepada umat-umat terdahulu sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Topiknya sangat jelas, bahwa umat-umat terdahulu yang mengikuti agama nabinya dengan konsisten pada zaman itu; semisal umat Yahudi yang konsisten mengikuti kitab Taurat, menyakini dan menjalankan isinya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Adapun setelah Nabi Mohammad saw diutus di muka bumi ini, maka tidak ada satupun agama –selain Islam—yang mampu menyelamatkan pemeluknya dari kekafiran, kecuali jika mereka mau memeluk Islam. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan, bahwa ahlul kitab dan kaum musyrik –setelah diutusnya Mohammad saw—terkategori muslim, dan berhak memperoleh pahala dari Allah swt.

Selain itu, pemelintiran makna yang dilakukan oleh kelompok pluralis terhadap ayat-ayat itu [al-Baqarah:62 dan al-Maidah:69], tentu saja akan bertolak belakang dengan sabda Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda, “Demi Dzat yang jiwa Mohammad ada di tanganNya, tidaklah seseorang dari manusia yang mendengar aku, Yahudi, dan Nashrani, kemudian mati, sedangkan ia tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepadaku, kecuali ia menjadi penghuni neraka.” [HR. Muslim dan Ahmad]

Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada nabi, di antara aku dan ia, yakni ‘Isa as, sesungguhnya ia adalah tamu. Bila kalian melihatnya, maka kalian akan mengenalnya sebagai seorang laki-laki yang mendatangi sekelompok kaum yang berwarna merah dan putih, seakan kepalanya turun hujan, bila ia tidak menurunkan hujan, maka akan basah, Dan ia akan memerangi manusia atas Islam, menghancurkan salib, membunuhi babi, mengambil jizyah, saat itu Allah menghancurkan seluruh agama kecuali Islam, sedangkan ‘Isa as menghancurkan Dajjal. Dan ia berada di muka bumi selama 40 tahun, kemudian wafat dan kaum muslimin mensholatkannya.” (HR. Abu Dawud)

Al-Quran sendiri telah memberikan predikat Ahli Kitab –Yahudi dan Nashrani—sebagai orang-orang musyrik. Allah swt berfirman: “Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah:31). Redaksi sebelumnya dinyatakan, bahwa orang-orang Yahudi berkata, “‘Uzair adalah putera Allah” dan orang Nashrani berkata,” Al Masih putera Tuhan”.

Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani terkategori kaum musyrik, bukan Muslim. Lantas, bagaimana bisa disimpulkan; kaum Yahudi dan Nashrani yang ada sekarang ini terkategori Muslim dan berhak mendapatkan pahala dari Allah swt, sementara itu mereka telah kafir dan musyrik? Bukankah Allah swt telah berfirman di dalam al-Quran:

“Oleh karena itu, siapa yang mempersekutukan Allah, maka ia tidak diperkenankan oleh Allah masuk surga, dan tempat kembalinya adalah neraka.”(al-Maidah:72).

“Sungguh telah kafir mereka yang mengatakan bahwa Tuhan itu ketiga dari yang ke tiga, padahal Tuhan itu hanya satu. Jika mereka belum berhenti berkata demikian, tentulah mereka yang kafir itu, akan mendapat siksa yang sangat pedih.” (al-Maidah:73)

“Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.”(Ali Imron:19)

“Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imron:85).

Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa surat al-Baqarah ayat 62 dan surat al-Maidah ayat 59 sama sekali tidak berhubungan dengan paham pluralisme.

d. Ayat Tentang Kalimatun Sawa’

Para pengusung ide pluralisme juga menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang kalimatun sawa’.

قُلْ يَاأَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Ali Imron:64])

Para pengusung gagasan pluralisme mengatakan, bahwa agama Yahudi, Kristen, dan Islam merupakan agama langit yang memiliki prinsip-prinsip ketuhanan dan berasal dari Tuhan yang sama. Lebih jauh mereka juga menyatakan, bahwa umat Islam, Yahudi, dan Kristen berasal dari keturunan Ibrahim as; sehingga ketiga pemeluk agama besar itu memiliki akar kesejarahan dan nasab yang sama. Mereka pun menyimpulkan, bahwa tidak ada perbedaan antara Islam, Yahudi, dan Nashraniy dalam masalah ketuhanan. Semua menyembah kepada Allah, dan sama-sama berpegang kepada kalimat sawa’. Dengan kata lain, Islam pun pada dasarnya mengakui kebenaran konsep ketuhanan agama Yahudi dan Kristen sekarang ini. Akhirnya, agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah sama-sama benarnya dan sama-sama punya kans masuk ke surganya Allah swt. Sesungguhnya, penafsiran kaum pluralis tersebut, benar-benar telah menyimpang jauh dari makna sebenarnya.

Untuk mengetahui makna hakiki dari frase kalimat sawa’, kita dapat merujuk kepada ulama tafsir yang lebih kredibel dan netral dari kepentingan barat, diantaranya adalah Imam Ibnu Katsir.

Menurut Ibnu Katsir, frase “kalimat” di dalam surat Ali Imron ayat 64 tersebut dipakai untuk menyatakan kalimat sempurna yang dapat dipahami maknanya. Kalimat sempurna itu adalah “sawaa’ bainanaa wa bainakum” (yang sama, yang tidak ada perbedaan antara kami dengan kalian). Frase ini merupakan sifat yang menjelaskan kata “kalimat” yang memiliki makna dan pengertian tertentu. Adapun makna hakiki yang dituju oleh frase “kalimatun sawaa’ sawaa’ bainanaa wa bainakum” adalah kalimat tauhid, yaitu “allaa na’budu illaa Al-Allah” (hendaknya kita tidak menyembah selain Allah). Inilah makna sesungguhnya dari kalimat sawa’, yaitu kalimat Tauhid; yang menyatakan bahwa tidak ada sesembahan (ilah) yang berhak untuk disembah kecuali Allah swt; bukan patung, rahib, api, dan sebagainya. Kalimat ini (kalimat tauhid) adalah kalimat yang dibawa dan diajarkan oleh seluruh Rasul yang diutus oleh Allah swt, termasuk di dalamnya Musa as dan Isa as. Allah swt berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”.” (al-Nahl:36)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (al-Anbiyaa’:25)

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa surat Ali Imron ayat 64 di atas sama sekali tidak menyerukan kesatuan agama, atau pembenaran Islam atas truth claim agama-agama selain Islam. Sebaliknya, ayat tersebut justru berisikan ajakan kepada ahlul kitab (baik Yahudi dan Nashraniy) untuk kembali mentauhidkan Allah swt, sebagaimana yang telah diajarkan pertama kali oleh Musa as dan Isa as. Sebab, kaum Yahudi dan Nashrani telah menyimpang jauh dari konsepsi Tauhid. Mereka telah menjadikan ahbar (pendeta-pendeta) dan ruhban (rahib-rahib) sebagai sesembahan selain Allah swt. Hal ini telah dijelaskan di dalam al-Quran dengan sangat jelas. Allah swt berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (al-Taubah:31)

Walaupun ayat ini tidak menyatakan, bahwa ahbar itu ditujukan khusus untuk kaum Yahudi, dan ruhban untuk kaum Nashrani, akan tetapi konsensus pengguna bahasa Arab telah memahami, bahwa dua kata tersebut khusus untuk orang Yahudi dan Nashrani.

Dari sinilah bisa dipahami, bahwa ayat ini merupakan seruan kepada orang Yahudi dan Nashrani agar mereka kembali ke jalan Tauhid, setelah mereka menyimpang jauh dari jalan tersebut (tauhid); yaitu ketika orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah, dan tatkala orang Nashrani mengatakan bahwa Isa as adalah putera Tuhan. Surat Ali Imron di atas tidak lain tidak bukan adalah ajakan agar orang Yahudi dan Nashraniy meninggalkan kemusyrikannya dan kembali menyembah kepada Allah swt semata, dan mengikuti ajaran Mohammad saw.

Demikianlah, ayat ini sama sekali tidak berbicara pada konteks kesatuan dan kesamaan agama seperti yang dinyatakan oleh kaum pluralis. Ayat ini sama sekali juga tidak menunjukkan, bahwa Islam mengakui gagasan pluralisme yang dijajakan di negeri kaum Muslim. Sebaliknya, ayat ini merupakan ajakan dan seruan kepada ahlul kitab agar mereka kembali kepada jalan yang lurus, yakni agama Tauhid seperti yang telah diajarkan oleh Musa dan Isa as. WaLlâh a’lam bi al-shawâb (Syamsuddin Ramadhan - Lajnah Tsaqafiyyah HTI).